"Lina, bangun." Ujar seseorang yang membelai wajahnya lembut. Raflina secara perlahan membuka matanya. Terihat dewi yang sedang memandanginya dengaan tatapan penuh kecemasan. Dia memegang kepalanya yang terasa pusing. Dewi sangat iba dengan kondisi sahabatnya itu.
Bisa dibilang perjalanannya menyusup ke rumah ini sangat tidak mudah. Subuh buta, dia berjalan seorang diri, melawan rasa takutnya akan kegelapan malam di pinggir hutan itu, tetapi yang lebih dia takutkan adalah kalau ada warga yang sampai memergokinya, bisa-bisa dia di kucilkan atau bahkan bisa sampai di usir dari desa itu.
Dewi mengangkat kepala Raflina dia atas pahanya, sehingga posisi kepalanya agak sedikit menegak, "Minum dulu Lina." Tuturnya sambil menyodorkan botol minuman kepadanya. Raflina pun menegaknya dengan cepat. Air itu segera membasahi tenggorokannya yang terasa kering, sehingga botol itu sudah tidak tersisa lagi.
Raflina berusaha untuk bangkit tetapi dia merasakan perih yang terasa di sekitar pangkal pahanya. dia. Dia ingin melihat ke arah bawah, tetapi buru-buru di cegah oleh Dewi.
"Kamu terlalu capek Lina, lebih baik kamu istirahat dulu." Tuturnya yang berusaha tersenyum. walaupun hatinya merasa miris. Mahkota sahabatnya itu rusak dan berdarah-darah akibat kelakukan binatang Jupar dan pemuda lainnya. Sungguh dia sangat mengutuk perbuatan warga yang terkutuk itu.
"Apa yang terjadi denganku Dewi?" Raflina menatap Dewi dengan tatapan yang cemas, yang membuat hati dewi semakin teriris. Susah payah dia menahan air matanya untuk berlinang, tetapi gejolak yang ada didadanya membuat air matanya terus berjatuhan. Raflina merasakan firasat yang tidak enak. Dia berusaha untuk bangkit.
"Jangan Lina, kondisimu belum pulih." Ucap Dewi yang berusaha untuk menahannya. Tetapi dasarnya Raflina yang keras kepala, maka dia tidak bisa mencegahnya lagi. Begitu terduduk, Raflina tampak syok saat melihat liang kewanitaannya. Dia mengeleng-gelengkan kepalanya. Gejolak di dalam hatinya membara. Dia langsung teriak sekencang-kencangnya, Memecah keheningan malam pagi buta.
Raflina merebahkan kepalanya di pelukan Dewi. Dadanya sesak seakan dihimpit oleh batu yang teramat besar. Mahkota yang selalu dia jaga sekarang hancur tidak berbentuk lagi. Begitupun Dewi yang tidak menyangka jika nasib sahabatnya akan berakhir tragis sekali.
"Ibu, ibuku Mana Dewi?" Raflina teringat dengan ibunya yang dibakar massa itu. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Dewi merasa trenyuh. Dia teringat dengan keadaan terakhir ibu Lastri yang gosong. Lalu mayatnya di buang di jurang di dalam hutan.
"Bu Lastri..." suara Dewi tertahan. Raflina membelalakan mata. Dia berusaha untuk berdiri tetapi kondisi tubuhnya sangat lemas sekali. Dia menjerit histeris menerima kenyaataan hidup yang tidak adil kepadanya. Mulai dari neneknya yang diperbudak penjajah, ibunya juga merenggang nyawa dengan cara yang tidak manusiawi, terus dirinya yang diperkosa secara brutal.
Dewi tercenung sesaat. Sembari menenangkan sahabatnya, dia seakan teringat dengan perbuatan yang selama ini dilakukan Raflina. Mungkin ini adalah sebuah balasan atas apa yang dilakukan oleh Raflina selama ini. Seakan dia diperingatkan tentang insting sesatnya yang salah.
Tetapi hal itu tidak lantas membuat Raflina jera. Selain dendam yang membara kepada para ras penjajah, sekarang dendamnya bertambah. Iya, kepada seluruh warga desa yang ada di sana.
Tidak ada gunanya meratapi nasibnya. Kini dia hanya terfokus dengan dendam kesumat yang tersulut di hatinya. Kini semakin berkobar. Raflina membisikan sesuatu ke telinga sahabatnya. Terlihat raut wajah sahabatnya itu berubah pias. Tetapi dia tidak bisa menghentikan apa yang sudah menjadi keinginan Raflina.
***
Tama sudah kehabisan akal untuk mencari tunangannya itu. Sekarang dia sedang mengendarai mobilnya menuju ke desa Raflina. Meski kemungkinan sangat kecil bagi Raflina, karena tentu daerah tempat asal Raflina pasti akan di pantau oleh aparat keamanan.
Sesampainya di sana, Tama di hadapkan dengan iring-iringan mayat yang akan di bawa ke pekuburan. Tama tertegun karena ada sekitar empat keranda yang di bawa. Tama mencium hal-hal yang tida beres.
Dia menepikan kendaraannya sejenak. lalu dia berlari kecil mendekati warga yang berada di barisan terakhir iring-iringan itu.
"Permisi Pak, Mau tanya yang meninggal itu siapa ya Pak? kok sampai empat orang?"
"Oh itu keluarga dari Pak Sapri Mas. Kasihan almarhum, istrinya, dan kedua anaknya tewas dibunuh oleh perampok itu." sahut orang itu.
"Kalau begitu terima kasih Pak."
"Iya Pak. sama-sama, kalau boleh tahu Mas ini darimana?"
Terlihat Tama kelabakan untuk menjawabnya. tapi kemudian, sebuah ide terlintas di kepalanya.
"Saya dari kota Mas. Kebetulan saya mau ke rumah keluarga yang ada di dusun sebelah." Jawabnya berbohong. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dia ingin ke rumah Bu Lastri yang sangat di benci oleh orang-orang di desa itu.
"Kalau gitu saya, permisi dulu Mas. Sudah ketinggalan jauh." ucapnya sambil berlalu dari hadapan Tama. Dia bergabung kembali dengan iring-iringan pelawat.
Tama kembali beringsut ke mobilnya. Lalu dia mengendarai mobilnya menuju rumah Bu Lastri yang ada di pinggir hutan itu. sesampainya di sana dia tertegun karena rumah itu kosong dan berantakan. Tidak ada tanda-tanda Bu Lastri di rumah itu. Batin Tama bertanya-tanya kemana perginya Bu Lastri? Padahal dia bermaksud ingin menanyakan tentang keberadaan Raflina kepada beliau. Tapi justru Bu Lastri yang hilang entah kemana.
Dia berdecak kesal. Kemana dia harus bertanya tentang keberadaan Bu Lastri dan kenapa rumahnya bisa menjadi sangat kacau seperti ini. Kalau dia bertanya kepada Warga Desa. Pasti tidak ada yang peduli. bahkan mengacuhkannya layaknya sampah.
Tama menghembuskan nafas kasar. dia berjalan mondar-mandir di teras rumah itu sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. lalu dia menghempaskan pantatnya di kursi. Pikirannya sangat kacau sekali.
Pria tampan itu langsung kembali ke mobilnya, mengendarainya kembali masuk ke area desa. Walau bagaimanapun dia harus mencari tahu apa yang sebenernya terjadi dengan Lastri.
Mobilnya berhenti tepat di depan warung. Ketika dia turun dari mobilnya, dia menjadi perhatian orang-orang yang ada di sana. tetapi Tama bersikap cuek saja. Niat awalnya dia ingin ngopi di warung itu karena siapa tahu di sana dia akan mendengar berita-berita hangat yang terjadi di desa itu.
Tama memesan kopi hitam kepada Mbak penjual warung. lalu dia memilih duduk di kursi di tengah warung itu. pandangannya mengedar ke sekitar. warung itu masih sepi, hanya terlihat beberapa pemuda yang sedang mengobrol sembari menghisap batang rokok dengan sangat nikmatnya.
Beberapa saat kemudian, pesananya datang. terlihat kopi hitam pekat yang di letakan di cangkir kecil khas pedesaan. Tentu sangat berbeda dengan kopi modern yang biasa dia minum di cafe-cafe di kota.
Tama mencecap kopi itu. ternyata begitu nikmat sekali rasanya. Apalagi sambil melihat pemandangan persawahan yang tidak jauh dari warung itu semakin menambah kenikmatan saja. Pikirannya yang pusing pun mereda.
Tiba-tiba datanglah beberapa motor yang memarkirkan kendaraannya bersamaan. Lalu sambil bercanda mereka berjalan ke warung itu dan duduk di kursi yang terletak di sudut. Telinganya cukup menangkap perkataan mereka tentang Raflina, yang membuat lelaki itu tersendak.