-This World by Selah Sue-
Dua jam setelahnya.
Pria itu masih menunggu. Ya, dia terus menunggu kapan mobil itu akan berhenti. Namun, raut tak nyaman juga terlihat jelas di wajahnya ketika dirinya diapit oleh dua pria berpakaian formal yang sejak tadi bersamanya.
Bukan hanya mereka saja yang terus bersama dengannya di sana. Tidak lain, dua pria lain yang duduk di depan, dengan yang satunya menyetiri mobil tersebut.
Sebenarnya, mengapa suasananya terasa aneh seperti ini? Apa hanya dia saja yang merasakannya? Namun, pria itu hanya bisa mengalihkan lagi dan lagi kemelut kesalnya karena tak berada satu mobil dengan sang idola.
Hufh … pada akhirnya, karena heran juga dengan keempat laki-laki ini yang tak sekalipun berbicara dengannya selama berada di dalam mobil, pria itu mengalah dan membuka suara.
"Apa masih jauh?" tanyanya.
Di antara keempatnya, hanya satu saja yang menoleh. Namun, tak terlalu dihiraukannya. Dia melihatnya saja, tetap tak berkata apa-apa.
Gosh …! Cobaan apa ini? Dia nyeletuk di dalam hati, dengan decakan kesal.
Namun, dia tak menyerah begitu saja.
"Jadi, kalian siapanya Nona Annabeth? Bodyguard-nya? Apa kalian juga menyukainya? Bukankah dia sangat cantik? Dan—aku yakin. Tidak mungkin di antara kalian tidak menyukainya. Bukankah begitu? Hufh … aku jadi penasaran sendiri,"
Mendengar itu, yang menyopiri mobil pun memberikan rem dadakan saat lampu merah tengah menyala. Sudah pasti pria itu hampir saja terpental ke depan jika tidak menggenggam sesuatu untuk menahan dirinya.
"Damn! Kau ini bisa menyetir, tidak? Kalau tamu spesial Nona Annabeth ini kenapa-kenapa kalian bisa langsung dia pecat!"
Sepertinya pria itu masih belum tahu dengan siapa dirinya berhadapan. Hufh …. Sangat, sangat-sangat memprihatinkan, bukan?
Lalu, langsung saja pria itu membenarkan duduknya kembali, juga dengan rambut klimisnya yang disisir dengan kedua tangan. Bahkan, dia merapikan juga dasi hitam bercorak polkadot dan jas biru muda yang dia kenakan.
"Berapa lama lagi aku harus terus menunggu? Sudah hampir dua jam kita belum sampai juga di tempatnya." Dia mulai menggerutu. "Bukankah ini sudah yang ketiga kalinya kita berputar ke arah ini? Kalian sebenarnya tahu tidak di mana alamatnya, huh?" lanjutnya.
Sepertinya, pria itu sudah mulai menyadarinya. Namun, tetap tidak direspons oleh mereka yang bersama dengannya. Karena keheranan sendiri, pria itu menghela napas, mengeluarkan langsung ponselnya, tapi—
"Anda dilarang menggunakan ponsel di sini." Seseorang yang berada di sebelah kirinya langsung mengambil ponsel itu setelah mengatakannya. Terus merasa heran kepada semuanya, pria aneh itu langsung—
"Siapa yang melarang? Kau atau …"
"Nona Annabeth ingin kau mengikuti aturannya selama kau bersama kami." sahut yang duduk di bangku depan.
Tentu saja nama Annabeth membuat pria itu bungkam dan tak berkata apa-apa lagi setelahnya. Mengalah? Sepertinya ya. Jadi, kali ini dia hanya tampak seperti orang bodoh saja menatap ke arah luar jendela dengan—mulut yang dicemberutkan.
Lalu tak lama setelahnya, mobil itu pun akhirnya mulai berada di tempat tujuannya. Dengan lajuan sedang mobil, pria aneh itu juga mulai melihat sebuah bangunan yang terlihat tua seperti sebuah condo yang memiliki belasan lantai.
Di sekitar condo lebat oleh bermacam-macam pepohonan tinggi yang—seperti sengaja ditanam untuk menyembunyikan bangunan itu. Lalu, si pria aneh yang melihat sekitar tempat itu kawasannya memang cukup berjarak dengan bangunan-bangunan di sekitarnya itu hanya mengerutkan sedikit saja kedua alisnya. Pikirannya teralih cepat karena yang masih penuh dengan Annabeth Heller.
Antusiasmenya semakin memuncak walau langit sudah tampak mulai menggelap secara perlahan. Pikiran kotornya juga mulai mencuat di kala yang seharusnya tidak dia pikirkan, malah dipikirkannya langsung di saat ini juga.
"Jadi— ini tempat tinggalnya selama dia di sini?" tanyanya langsung.
Tidak ada yang kembali menjawab. Namun, pria aneh itu malah tak menghiraukannya kali ini.
Dan tak lama setelahnya, saat di mana mobil yang ditumpanginya akhirnya telah berhenti dan terparkir rapi, mereka yang ada di dalam pun satu per satu turun. Begitu juga dengan pria itu. Bertolak pinggang kemudian, sambil memandang sekitar wilayah condo dengan pandangan kagum dan—
"Selamat datang di Corbin Condoville kami, Mas Adi Erlangga."
Siapa dia? Pertanyaan kecil itu juga langsung dirautkan sendiri oleh pria tersebut. Memiliki perawakan yang cukup tua, tetapi masih terlihat sangat sehat dengan balutan pakaian berjas formal dan memiliki kumis hitam tebal yang dibentuk seperti para pria Belanda di zaman dahulu.
Pria tua itu memang tidak merautkan senyuman apa pun kepada pria aneh di depannya. Melangkah mendekatinya juga dan membiarkan pria aneh itu bertanya-tanya sendiri siapa dirinya ini.
"Senang bisa bertemu denganmu di hari ini." sambut kembali pria tua itu kepadanya.
Lalu—
"Kau siapa?" Dia menyipitkan sedikit kedua matanya.
"Ikutlah denganku." pinta pria tua itu kemudian. Dia tidak terlihat ingin memperkenalkan diri kepadanya.
"Apa— sekarang kau sedang ingin mengajakku ke ruangan Nona Annabeth?" Dia menyunggingkan senyuman anehnya.
Pria tua itu hanya mengangguk kecil menerima ucapannya. Lalu berbalik tanpa sepatah kata lainnya dan mengantarnya kemudian dalam langkah.
Namun, di sepanjang mereka melangkah, pria aneh itu mendadak mulai mengerutkan sedikit dahinya. Di sana, tepat ketika dirinya telah memasuki gedung condo tersebut, dia tidak merasa hanya ada satu saja yang memperhatikan langkahnya. Mereka yang dilewatinya satu per satu menatapnya secara terang-terangan dengan tatapan lekat secara bergantian.
Ada apa sebenarnya? Mengapa dirinya terlihat seperti makanan yang sudah siap untuk disantap? Ah …! Mungkin itu hanya prasangkanya saja. Ya, seperti itulah. Pria aneh itu berkali-kali menyatakan hal itu kepada dirinya sendiri. Dan sepertinya—dia terlihat tak menghiraukannya kembali walaupun terkadang pikiran itu masih termakan juga karena orang-orang di sana yang masih menatapnya seperti itu.
Namun, tetap saja rasa penasarannya cukup bisa mengalahkan semua alihannya.
"Ada apa dengan mereka?" tanyanya kepada si pria tua yang memandu perjalanan kecilnya. "Kenapa mereka semua melihatku seperti itu? Apa ada yang salah denganku hari ini?" Dia mengusap kecil pundak belakangnya kemudian.
Tak ada jawaban dari pria tua itu. Nyatanya, pria aneh itu dibuat kesal juga pada akhirnya karena setiap pertanyaan yang dia keluarkan kepada si pria tua dan—empat orang yang mengantarnya tadi, tidak ada satu pun di antara mereka yang menjawab pertanyaannya.
"Apa semua orang di sini bisu dan tuli? Ck. Kalian memiliki mulut dan telinga, tapi jika tidak dipakai—ya untuk apa?" ringisnya kemudian.
Untuk yang kesekian kalinya, dia tidak mendapatkan jawaban apa pun dari pria tua yang kini hanya berdiri tegap membelakanginya. Padahal dia berharap pria tua itu bisa terpancing oleh ucapannya tadi. Tapi … ck! Ya sudahlah.
Sambil menunggu pintu lift terbuka, orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar masih tetap memperhatikannya dengan tatapan yang sama. Hingga akhirnya mereka masuk ke lift. Pria tua yang memandu langkahnya berdiri tegap menghadap pintu. Lalu, si pria aneh yang masih tetap bersamanya ini menatapnya dari samping. Melipat juga kedua tangannya di dada dengan punggung yang disandarkan di dinding lift.
"Kau benar akan membawaku ke kamar Nona Annabeth? Kau tidak bohong, kan? Jika kau tahu, aku sudah sangat menunggu momen ini. Jadi, katakan kepadaku, apa yang kurang dariku saat ini? Apa aku terlihat berantakan? Atau … ayolah! Katakan sedikit saja apa pendapatmu tentang penampilanku saat ini. Aku hanya ingin dia benar-benar terkesan padaku di hari pertama aku dan dia—"
Belum sempat menyelesaikan ucapan panjang lebarnya, pria tua itu langsung menoleh kepadanya, menyunggingkan senyuman kecil, dan hanya mengatakan satu kalimat pendek dari mulutnya.
"Kau terlihat sempurna."
Dia sangat menyukai jawaban itu. Hanya direspons seperti itu, pria aneh itu langsung tersenyum malu. Merapikan sekali lagi rambut klimisnya dan … berdeham berlebihan seraya dia ingin tetap menjaga image terbaiknya di depan pria tua itu.
What…?
"Yah … aku sudah tahu. Dan— tidak perlu kau jelaskan serinci itu, eh … bagaimana aku harus memanggilmu?"
Belum sempat mendapatkan jawaban, pintu lift terbuka secara otomatis. Pria tua itu pun langsung terlihat melangkah kembali meninggalkan lift tersebut diikuti oleh pria berambut klimis di belakangnya. Tak ada yang terdengar selain suara tapakan sepatu mereka, membuat pria berambut klimis itu menoleh ke arah pintu demi pintu sambil melihat nomor yang terpaut di sana. Tidak ada pertanyaan apa pun lagi darinya sepanjang mereka melangkah.
Lalu, langkah itu akhirnya berhenti tepat di sebuah pintu yang keberadaannya sedikit memojok. Namun, ada yang aneh dengan nomor di pintu itu.
Bukankah ini lantai enam? Namun, mengapa dari semua pintu yang dilihatnya tadi, hanya pintu ini yang tak memiliki nomor kamar? Ditambah lagi, jarak pintu ini ke pintu lainnya juga lumayan cukup jauh.
Hufh … mungkin lagi-lagi hanya perasaannya saja. Dia membenarkan dasinya kali ini.
Mengikuti saja apa yang dilakukan si pria tua, mereka kini berdiri tepat di depan pintu. Si pria tua yang berdiri di samping pria aneh itu kini menoleh ke arahnya dengan senyuman kecil,
"Ini kamarnya?" Pria itu mulai kembali tak bisa menahan keinginannya.
Tapi—
"Kami sudah tiba, Nona." Itulah yang justru dikatakan pria tua itu sebagai sahutannya. Menghadapkan wajahnya ke depan pintu langsung, dengan dua kali ketukan ringan yang dia suarakan setelahnya.
Memang tak ada jawaban apa pun dari dalam. Namun, setelah mengatakan itu, pria tua itu langsung mundur satu Langkah, kembali memandang pria berambut klimis itu dengan senyuman kecilnya dan—
"Dia sudah cukup lama menunggu Anda di dalam sana, Mas Adi Erlangga. Dan—selamat menikmati."
Selamat menikmati? Hufh … apa lagi ini maksudnya.
"Benarkah?" Seringai kuat langsung dipancarkan. "Jadi, aku …"
Untuk yang kedua kalinya, ucapannya tak bisa dia katakan hingga selesai. Pria tua itu sudah melangkah meninggalkannya tanpa berucap apa pun lagi.
Jelas pria itu heran. Dan—tunggu, tunggu. Kenapa dia justru baru menyadarinya? Dari mana pria tua itu tahu namanya? Maksudnya, nama lengkapnya? Bahkan, sudah sebanyak dua kali dirasanya pria tua itu memanggil namanya dengan sangat benar.
Karena pertanyaan itu seutuhnya tak bisa terjawab saat ini, pria itu menundukkan sendiri wajahnya dengan helaan heran. Namun, justru dia malah tertawa sendiri karena sesuatu yang baru disadarinya.
Jelas saja pria tua itu tahu namanya. Tidak lain, dia masih mengalungkan sebuah tali berwarna biru yang digantungi oleh name tag.
Hufh … sepertinya, pertanyaan kecil yang dipikirkannya ini terjawab sudah. Dia langsung menjilati bibirnya sendiri dengan raut tak lagi tahan hanya karena berlama-lama berdiri di tempat itu. Merapikan sedikit pakaian dan rambutnya kembali agar Annabeth bisa lebih terkesan kepadanya. Itulah yang kembali dia pikirkan di benaknya.
"Apa— ini tandanya aku akan bersenang-senang malam ini dengan seorang artis ternama tanah air?" Dia berbicara kepada dirinya sendiri dengan nafsu yang tertahan. "Baiklah. Aku tidak mungkin membuang kesempatan besarku seperti ini. Kesan besar harus aku tunjukkan di hari ini. Dan siapa tahu dia ingin menemuiku kembali." Ia terkekeh kecil setelahnya.
Tanpa mengetuk pintu, pria itu langsung saja memasuki ruangan tersebut. Ternyata, pintunya tak terkunci. Gelap dan sedikit berangin. Itulah yang dirasakannya. Namun, ruangan itu tidak sesepi yang diperkirakannya. Dia mendengar ada lantunan sebuah biola yang menggema penuh di ruangan itu.
Bahkan, suara itu juga terdengar merdu di telinganya. Mazurka, Op. 67: Marzuka No. 4 in a minor.
Karena semakin penasaran saja kenapa dirinya disambut dengan cara yang seperti ini, sebisa mungkin pria itu meraba beberapa bagian tembok untuk mencari saklar lampu. Dan berhasil. Ruangan itu pada akhirnya lebih terang meskipun dengan tatanan cahaya yang sedikit redup.
Entah siapa yang memainkan biola itu. Si pria menyapukan pandangannya ke semua tempat, tetapi tak ada satu pun orang di sana. Dengan nalurinya, dia melanjutkan langkah mengikuti sumber suara itu berasal. Menyahutinya juga dengan beberapa kata dan—
"Kau di mana, Nona?"
"Aku sudah datang. Kau tidak ingin melihatku langsung, hm?"
Tak ada balasan sahutan. Yang menyahut, hanya tetap suara lantunan biola itu. Hingga akhirnya, semakin dia merasa penasaran sendiri di mana sebenarnya sumber suara itu, membuatnya melangkah lebih cepat dan— yang tak terduga justru terjadi.
Tepat ketika dirinya telah menemukan di mana sumber suara yang didengar, yaitu di bagian balkon, sesuatu yang tak pernah diharapkan kini menyambutnya. Seketika, kedua matanya memandang membulat. Wajahnya juga berubah memerah. Satu tangan menyentuh bagian leher belakangnya dan di sanalah dia menyadari ada sesuatu ditusukkan ke bagian tengkuknya. Sebuah suntikan yang dirasanya telah menyangkut dan langsung berbalik ketika rasa pening mulai merambah kepalanya secara perlahan.
Seketika itu juga dia melihat Annabeth tersenyum cantik kepadanya dengan tatapan menusuk, yang tentu bisa dia rasakan.
"Hai, handsome. Bukankah suatu kehormatan kita bisa bertemu kembali? Kudengar sudah lama kau menantikanku. Oh, bukan. Aku yang sudah lama menantikanmu. Dan … maukah kau bermain dengaku hari ini? Come on. Shall we start now?"
Pria itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Cairan pada suntikan yang ditusuk di lehernya secara perlahan mulai melumpuhkannya. Mulutnya hanya bisa bergerak tanpa bisa mengeluarkan kata apa pun. Hingga, secara perlahan, pria itu tumbang di lantai dan tak sadarkan diri. Di hadapannya Annabeth tertawa bahagia melihat pria itu tergeletak penuh.
֎֎֎֎
"Seharusnya aku memberikannya dosis yang ini."
"Oh, tidak, tidak. Dia tidak memerlukannya."
"Bagaimana kalau yang ini?"
"Hm … sepertinya akan lebih baik."
"Kurasa—tidak juga."
…
Saat Annabeth terus berdalih sendiri dengan sesuatu yang disibukkannya, di sana Adi Erlangga secara perlahan mulai membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemah. Ia tak sadar ada di mana. Semua di sekelilingnya terlihat begitu silau. Bahkan, kedua matanya harus menyipit ketika dia disinari langsung oleh sebuah lampu besar yang—yang, entahlah, tepat di atasnya. Bentuknya bulat besar dan terdapat beberapa bohlam menyala di dalamnya. Seperti lampu di ruangan operasi dan— shit …! Lampu di ruangan operasi?
Menyadari itu, pandangannya langsung membulat begitu saja melawan terangnya cahaya tersebut, dan berusaha untuk menggerakkan tubuhnya yang masih tak terasa setengahnya. Namun, kenapa kedua tangan dan kakinya harus diikat seperti ini? Lehernya juga. Diikat dengan ikatan yang menyatu dengan meja panjang yang tak dialasi kain ataupun kasur dan— pria itu mulai menunjukkan kepanikannya.
"Lalu, dia akan lebih baik menggunakan pisau ini."
"Hufh … kau memang cerdas, Anna."
"Setidaknya, aku akan memberikan semua yang terbaik untuknya. Hihihi …!"
Adi Erlangga menoleh cepat ketika mendengar suara itu. Terdengar seperti lantunan percakapan, tetapi hanya wanita itu saja yang ada di sana.
Lalu, dengan siapa wanita itu berbicara? Apa benar itu Annabeth? Tidak, tidak. Mungkin dia salah melihat. Namun, dia juga tidak mungkin salah melihat jika orang itu— ya. Tidak salah lagi, dia Annabeth. Annabeth Heller. Wanita yang sangat diidolakannya selama delapan tahun terakhir ini.
Tak tahu harus berbuat apa, gerakan berontak pun secara perlahan mulai ditunjukkannya. Ikatan yang mengikat bagian-bagian dirinya terasa begitu kuat, dia merasa tak mampu untuk melepaskannya. Tubuhnya secara perlahan mulai dirasa utuh setelah sedikit mati rasa.
Dan … inilah akhirnya yang dia katakan dengan suara yang masih terdengar cukup lemah dan sedikit serak.
"To … tolong aku …."
Mendengar sahutan kecil itu, Annabeth langsung menoleh. Menatapnya dengan pandangan datar sesaat dan tersenyum kemudian ketika satu tangannya menggenggam sebuah pisau bedah miliknya.
"Oh, kau sudah bangun? Glad to see you again, handsome."
Annabeth langsung beranjak dari duduknya. Mendekati pria itu, dan—
"Bagaimana keadaanmu saat ini? Kau jauh lebih baik? Hufh. Tapi … kupikir kau memang harus mendengar kabar tidak baik ini secara langsung, handsome."
Apa lagi ini? Apa yang sedang ingin dia katakan sebenarnya?
"To … tolong aku …. Please …." Pria itu memohon kepadanya.
"Ya, handsome. Aku akan menolongmu. Tenanglah." Wanita itu mencoba sedikit menenangkannya dengan menggenggam lengan pria itu. Tak lupa, senyuman itu masih terpoles penuh di bibirnya. "Tapi, kau harus mendengar apa yang memang seharusnya aku katakan kepadamu,"
Melihat gelagat yang cukup aneh diberikan Annabeth kepadanya, pria itu tak henti-hentinya juga berontak. Annabeth benar-benar terlihat aneh. Annabeth menari-nari kecil di sampingnya serta mendengungkan suara selayaknya— tunggu, tunggu. Apa benar dia Annabeth Heller yang selama ini diidolakannya?
Ah. Tidak mungkin!
Pria itu masih saja mencerna apa yang dilihatnya ini.
"Nona, ada apa ini? Kenapa aku harus diikat seperti ini? Aku mohon lepaskanlah, Nona. Aku mohon,"
Saat itu juga, Annabeth terdiam memadang pria itu tanpa ekspresi apa pun. Dia tampak sangat serius.
Lalu, selembar kertas yang dialasi oleh papan kaca plastik yang digenggamnya dia arahkan untuk dibaca kembali. Memandang bergantian kertas itu bersama si pria, dan mulailah Annabeth membuka suara kembali.
"Aku menemukan kalau kau memiliki beberapa komplikasi penyakit di tubuhmu. Kau lemah jantung, kau juga punya mag kronis, dan otakmu tidak berfungsi dengan cukup baik,"
DUG!
Adi Erlangga membulatkan penuh kedua matanya. Dia terkejut penuh mendengarnya.
"A-apa?!"
"Apa kau juga seorang perokok aktif? Ada baiknya kau menghentikan kebiasaan burukmu itu. Kau tahu kenapa? Paru-parumu sudah sangat kotor, Adi Erlangga. Jika kau tidak menghentikannya, kau bisa ada dalam bahaya," ucapnya kembali. Lalu mengambil name tag pria itu yang diletakkan di atas meja labnya, menatapnya sesaat, dan membuangnya langsung ke tempat sampah tepat di sebelahnya.
Lucunya, tempat sampah itu seperti telah hampir penuh oleh benda-benda lainnya. Ada beberapa name tag yang entah milik siapa lagi, juga beberapa dompet kulit yang sepertinya masih menyimpan beberapa identitas orang lain di dalamnya.
"A-apa maksudmu, No-nona? Aku. A-aku tidak memiliki penyakit apa pun. Ada apa denganmu, Nona? Kau benar Annabeth Heller?" Dia berusaha untuk membenarkan dan meyakinkan dirinya. Namun, dia semakin panik.
"Aku juga sudah melakukan x-ray terhadap tubuhmu ketika kau tertidur tadi. Kurasa, tidak hanya organ-organ vitalmu saja yang memiliki komplikasi yang seperti itu. Dan ternyata, aku juga menemukan jika ginjalmu juga ada dalam masalah yang serius."
"Nona. Nona Annabeth!"
"Apa kau merasa ada yang sakit juga di bagian ginjalmu?"
"Nona! Kumohon sadarlah! Ada apa denganmu?! Aku mohon, Nona …. Aku mohon lepaskan aku …!"
Ucapan itu tak dihiraukannya. Terus saja Annabeth bersikap tenang seolah dia adalah seorang dokter yang sangat bisa diandalkan.
"Kau benar-benar menakutiku, Nona. Aku mohon …. Aku mohon lepaskan aku … sekarang!" Dia terus meminta dalam rontaannya.
"Ssssh. Ya, aku Annabeth. Wanita yang sangat kau puja, handsome." gumamnya genit, satu mata dia kedipkan untuk menggoda pria itu. Jelas jika perkiraan itu membuat si pria menjadi semakin sadar dengan siapa yang dihadapinya ini. Dan ternyata— Annabeth bukanlah seseorang yang manis seperti yang selama ini dia kira.
"Kumohon … please, please, please …,"
"Kau juga butuh perawatan yang sangat intensif untuk kesembuhanmu, Adi Erlangga. Dan— jangan terlalu banyak bersuara." Lalu Annabeth melirik kecil ke sekitarnya. Hal itu langsung diikuti oleh pria itu dengan tolehan cepat yang dia arahkan ke semua tempat. "Yang lain nanti akan terbangun karena mendengar suaramu, handsome." lanjutnya kemudian dengan tatapan membulat yang dia berikan utuh kepada pria itu.
Sepertinya Annabeth terlihat akan memulai kegilaan lainnya hari ini.
Jelas ucapan yang sedikit berbisik itu telah membuat Adi Erlangga terdiam seketika. Keringat di tubuhnya mulai mengalir deras. Begitu juga keringat di wajahnya. Raut wajah panik semakin dia tunjukkan ketika melihat apa yang seharusnya tidak dia lihat. Entah itu nyata atau hanya rekayasa saja, tetapi kedua matanya bisa melihat jelas apa yang terjadi di sekitarnya.
Ada hampir enam tubuh yang dibiarkan berbaring penuh di meja yang serupa seperti dirinya. Tubuh-tubuh itu terlihat tak mungkin lagi bernyawa karena darah kering sudah mengotori mereka. Namun, tempat itu sama sekali tak mengeluarkan bau apa pun yang mungkin bisa saja tak sengaja tercium olehnya. Dan apakah ini tandanya … dia akan menjadi yang selanjutnya?
"Kau lihat apa? Mereka? Hufh …. Aku janji kali ini aku akan lebih gentle kepadamu. Dan mereka … setidaknya itu bukan salahku. Mereka sendiri yang meminta agar aku melakukan permainan yang— membahayakan mereka sendiri," kekehnya kemudian.
"Ti-tidak, Nona …. Please … aku mohon lepaskan aku. Aku janji aku akan tutup mulut. Ak-aku …. Aku juga berjanji akan merahasiakan penuh rahasiamu kepada orang lain. Aku mohon, Nona. Berikan aku kesempatan untuk hidup. Ma-maafkan aku jika aku memang memiliki salah kepadamu. Ta-tapi … tapi …."
"Ssssh … hari ini kau terlalu banyak bicara, handsome. Hmm … baiklah. Bagaimana jika kita memulainya sekarang?"
Annabeth mulai mengambil ancangan kecilnya. Pria itu terus menunjukkan ketidaktenangannya. Rontaan demi rontaan semakin dia keluarkan agar bisa terlepas dari ikatannya. Tetap tak ada hasil. Rintihan kuat, permohonan, dan bentakan yang dia berikan kepada Annabeth juga tak membawa hasil apa pun. Annabeth beralih darinya dan mengarahkan langsung dirinya ke mejanya yang semula, dia langsung mengambil dan mengacungkan sebuah pisau bedah yang begitu tajam hingga membuatnya mendongak kagum. Ia juga mengambil sebuah gunting bedah yang digenggamnya langsung di tangan kirinya dan ikut diacungkannya seperti memang itulah dua benda yang dipilihnya saat ini.
Melihat itu, tidak main-main juga pria itu mengeluarkan rontaannya. Air mata juga mulai dikeluarkannya. Begitu juga isakan yang menyatu dengan kemarahan.
Tak menunggu terlalu lama, wanita itu datang kembali kepadanya. Menatapnya dengan senyuman untuk beberapa saat, dan—
"Ini tidak akan sakit. Percayalah …"
Anehnya, dia justru menyimpan dua benda tajam itu ke saku jaket putih yang dia kenakan dan mengeluarkan sesuatu dari saku lainnya. Benda lain itu tidak lain adalah sebuah tang kakaktua yang seutuhnya biasa digunakan untuk mencabut paku bangunan. Ia mengacungkan benda itu juga setinggi mungkin, lalu—
"Apa kau bisa membuka mulutmu untukku?" pintanya kali ini.
Sekuat tenaga Adi Erlangga menutup mulutnya. Menggelengkan juga wajahnya untuk menolak. Namun, Annabeth memiliki caranya sendiri untuk membuat pria itu mengikuti apa yang diinginkannya.
Dia mencubit lengan pria itu dengan benda tersebut sekuat mungkin, dan berhasil. Pria itu membuka mulutnya untuk berteriak. Annabeth tertawa gemas melihat pria itu. Dengan cepat, tang itu dimasukkannya ke dalam mulut hingga satu gigi yang diincarnya langsung dicabutnya dengan kuat. Aliran darah dari gusi mulai mengalir dengan sendirinya.
Tak lama setelahnya pria itu terbatuk karena tersedak darahnya sendiri dari gusi.
"Well done, handsome …. Well done ...!" katanya dengan tatapan kagum. Dengan kekagumannya juga, dia mengacungkan gigi depan pria itu dengan masih dijepit oleh tang yang digenggamnya.
"Ak-ak … Aku. Ak-aku …"
"Ssssh … tunggulah sebentar. Aku akan segera kembali." kata Annabeth, segera berbalik ke arah meja dan membelakangi pria itu. "Hmm … apa kau lapar? Aku bisa memesan makanan untukmu jika kau menginginkannya. Dan— kau ingin makan apa?"
Memang benar-benar tak berperasaan wanita itu. Di saat yang seperti ini masih saja dia menawarkan makanan untuknya. Di saat seperti ini juga masih saja dia bersikap tenang sambil membersihkan gigi itu dengan cairan kimia yang dia tampung di dalam bejana kecil transparan. Dia merendamnya kemudian dan—menatapnya dengan penuh kebanggaan.
"Aku hanya meminjamnya sebentar. Nanti aku akan mengembalikannya kepadamu kembali." sahut lembutnya kemudian.
Tak lama setelahnya, dia berbalik dan mendekati pria itu dengan mengeluarkan kembali dua benda kecil nan tajamnya untuk si pria yang diikatnya.
"Please, Nona. Tolong lepaskan aku. Aku mohon …,"
"Aku janji ini tidak akan sakit. Dan … kupikir kau juga tak membutuhkan anastesi,"
"Nona! Nona! Nona …!"
Saat itulah dengan santainya Annabeth mengarahkan sisi tajam dari mata pisau ke arah dada pria itu. Menusuknya di awal, dan—
Hufh … sepertinya tak perlu dijelaskan lagi detailnya. Wanita itu benar-benar membedah tubuh pria itu tanpa rasa takut sama sekali. Bahkan, dia terlihat sangat menikmatinya dan— pada akhirnya pria itu meregang nyawanya di sana dengan dada yang terbelek hingga perut, dan … ck. Whatever …!
Tanpa merasa terbebani juga, Annabeth memainkan organ dalamnya dengan tangannya sendiri. Darah mengotori dirinya hingga tawa dari terdengar. Itulah permainan kecil yang selalu bisa membuatnya sangat puas dan selalu merasa bahagia.
Puas dirinya telah membuat satu orang lagi berakhir, dia kembali merautkan wajah tanpa ekspresi. Mengarahkan dirinya ke sudut ruangan dan melihat sebuah biola yang masih berada di dalam case tergeletak di atas meja. Dia mengambilnya dan memainkannya langsung dengan lagu yang didengar sama oleh pria tadi sebelumnya.
Ia menari kecil mengikuti alunannya, lalu kembali tersenyum puas seperti menikmati apa yang masih sedang dia rasakan sampai saat ini.
"Kuharap, kau mendengarku, Adi Erlangga. Jika kau bertemu dengannya di surga, sampaikan salamku kepadanya. Katakan jika aku… merindukannya. Kau dengar?" ucapnya di sela tarian kecilnya.
Kemudian dia kembali terdiam dan lebih menghayati permainan biolanya.