-Live Tomorrow by Laleh-
Tidak disangka, Mark mengajak Abeth-nya ke salah satu tempat yang sangat dikenal di kawasan itu. Mark yang kini menatap Abeth-nya diam dalam posisi duduknya di bangku setir, melihat wanita itu tengah memejamkan penuh kedua matanya seakan dia sedang tertidur di bangkunya saat ini. Dan yang jelas, wanita itu memang tidak benar-benar tidur. Melainkan, memejamkan matanya sambil menghelakan penuh napasnya karena percakapan yang sejak tadi mereka buat.
"Kan vi gå ut nu?"[1] tanya Mark yang kini tersenyum kecil.
Lantas, Annabeth yang akhirnya langsung membuka kedua matanya menoleh langsung ke arah Mark untuk mengatakan sesuatu.
"Kau yakin jika tempat ini tidak akan membuat keberadaan kita terlihat mencolok?"
Tentu saja dia tahu betul di mana tempat ini. Di sana, di luar sana, di sekitaran tempat itu ada cukup banyak orang yang terlihat bersantai di beberapa bagian sisi taman Bosscha[2]. Dan yang pasti, Annabeth masih cukup menyadari jika tidak akan ada orang yang tidak mengenalinya nanti.
"Kau khawatir jika mereka akan menghampirimu?"
"Jadi kau membawaku pergi hanya untuk bertemu dengan mereka semua?"
Dan Mark pun tertawa kecil dibuatnya.
"Tycker du att det är något roligt, McCary?"[3] gerutu wanita itu kemudian.
"Tidak. Tapi, apa kau melihat bangunan putih itu?" tunjuk Mark akhirnya.
"Kenapa?"
"Kita akan ke sana sekarang."
"Dengan melewati banyak orang di sana?"
Yang mereka lihat, tidak lain adalah sekumpulan orang yang tampaknya sedang berlibur di kawasan tempat itu.
Mark pun menggeleng kecil. Dan kemudian, dia mengeluarkan sesuatu di bagian laci dash-nya, untuk dia tunjukkan kepada wanita kesayangannya ini.
"Kita akan mengenakan ini saat di luar nanti."
Melihat benda apa yang kini digenggam Mark-nya, Annabeth pun tersenyum miring dibuatnya. Dengan melihat benda itu juga, dia pun sesekalinya melirik pria itu dengan tatapan yang sedikit mengejek.
"Apa ini tandanya kita akan kembali kepada mereka?"
Senyuman miring pun Mark keluarkan sambil mengacungkan benda putih tersebut.
"Siapa sangka jika aku masih ingin menyimpannya sampai detik ini," jawabnya.
"Kupikir, kita akan kembali lagi kepada mereka. Bukankah dia masih memintamu untuk kembali?"
Sambil menyunggingkan senyuman miringnya, Mark juga menatap kembali wanitanya itu dengan tatapan penuh yang dia keluarkan. Lalu, memberikan elusan lembut di kepala wanita itu, dan mendekatkan penuh dirinya kepada wanita itu untuk bisa dia berikan sebuah ciuman di bibirnya.
"What?"
"Apa kau juga ingin kembali ke tempat itu?"
Bahkan, Mark justru malah bertanya balik.
"Cih. Itu tidak akan mungkin. Aku benar-benar ingin melupakan apa pun yang ada di sana," respons wanita itu dengan decakkan bahunya juga.
"Itu jawabanmu?"
"Kau ingin jawaban yang seperti apa?"
"Hm … kupikir, kau akan mengatakan jika kau masih ingin kembali karena— mungkin ada sesuatu yang ingin kau lihat kembali,"
Mendengar ucapan itu, Annabeth cukup terdiam hingga beberapa detik. Entah apa yang wanita itu pikirkan saat ini karena ucapan itu, justru membuatnya langsung mengalihkan pandangannya ke depan, dan melipat kemudian kedua tangannya di dada.
"Semua yang ada di sana sangat membosankan. Jadi, untuk apa aku mengingat yang membosankan itu kembali?"
"Jadi— apa itu berarti kau benar-benar memilih untuk tetap bersamaku?"
Annabeth memang tidak mengerti ke mana sebenarnya arah ucapan Mark saat ini diarahkan. Namun, setidaknya dia masih sadar benar jika beberapa kalimat ucapan yang dilontarkan Mark tadi, membuatnya membayangkani sesuatu yang sampai saat ini tidak bisa dia lupakan.
"Jika aku tidak memilih bersamamu, sampai detik ini aku tidak akan ada di sebelahmu."
"Jawaban yang bagus,"
"Maksudmu?"
"Jag är bara orolig för att du kommer att försöka komma ur min värld igen och igen."[4]
Yang kemudian, tanpa ragu Mark kembali memberikan kecupan penuhnya di bibir wanita itu dengan salah satu jemarinya yang mendekap utuh tengkuk leher wanita itu.
Merasa Mark-nya tidak ingin menghentikan kecupan itu dalam beberapa detik mereka melakukannya, Annabeth pun langsung menghentikannya dengan jemari telunjuk yang dia sentuhkan langsung di bibir pria itu.
"Hmm?"
"Kau mengajakku ke tempat ini hanya untuk melakukan ini? Hm?" lagi-lagi wanita itu memberikan gerutuan kecilnya. Yang ini dengan bisikannya terdengar.
Dan ringisan kecil dari Mark pun diperlihatkannya, hingga jemari lentik yang di lekatkan itu dikecupkannya saja kemudian.
"I need more," ucapnya dengan lembut.
"Tidak."
"Why?"
"Kau tidak melupakan sedang berada di mana kita saat ini, bukan?"
Lalu, Mark pun akhirnya terkekeh sendiri karena ucapan itu.
"Well, jadi kau akan ikut denganku ke sana?" tunjuknya kembali dengan dagunya. Kemudian, topeng yang sebelumnya digenggam juga kembali diraihnya. Dan salah satu topeng putih polos yang digenggamnya itu juga, langsung dia pakaikan kepada Annabeth yang membiarkan saja pria itu melakukannya.
"Jika kita ke sana, apa yang akan kita lihat? Bahkan, matahari saja masih ada di atas langit."
"Kita ke sana saat ini bukan untuk melihat bintang atau sebagainya."
"Lalu?"
"Aku telah mem-booking penuh seisi ruangan Bosscha untuk kita berdua. Jadi, kau bisa melakukan apa pun yang kau mau di sana."
Mendengar kata 'melakukan apa pun di sana' saja, langsung membuat pikiran agresif dari Annabeth mencuat begitu saja. Ketertarikannya yang pernah dia umbar sebelumnya mengenai tempat ini kepada Mark-nya, juga membuatnya berpikir penuh apa yang akan nantinya dia lakukan di tempat itu. Lalu, Mark yang bisa merasakan jika Annabeth tersenyum terkesan dari balik topengnya, juga kembali mengeluarkan senyumannya di kala inilah yang dia rasa hadiah terbaiknya.
"Jika kau benar-benar masih menyukai tempat itu, akan kubuat tempat itu menjadi milikmu seutuhnya."
Sekejap, Annabeth langsung membuka topengnya. Menatap penuh pria itu, dan memeluknya kemudian dengan bangga.
"Apa ini salah satu hadiah untukku yang kau maksud?"
"Kau suka?"
"Lebih dan sangat!"
"Sebentar lagi tempat itu akan menjadi milikmu."
"Bagaimana caranya?"
Annabeth langsung melepaskan pelukannya dan menatap pria itu dengan tatapan berbinarnya kemudian.
"Tidak ada yang tidak bisa aku dapatkan, My Love. Kau melupakannya?"
Tidak mungkin Annabeth melupakannya. Bahkan, karena dia juga sangat tahu apa saja yang akan Mark-nya perbuat demi menguasai tempat yang dijajahnya, yang menghalangi rencananya pun akan langsung berakhir dengan kematian. Dan itulah yang dibayangi Annabeth saat ini ketika memikirkan bagaimana menariknya jika melihat orang-orang yang mati karena hal tersebut.
"Aku tidak sabar menunggu!"
"Tidak perlu bersabar, Abeth. Dalam satu minggu ini, tempat itu akan seutuhnya menjadi milikmu."
Perasaan senang yang seutuhnya Annabeth rasakan, langsung membuatnya menatap bangunan putih itu dengan senyuman pekat yang semakin dia pancarkan. Entah akan berapa banyak orang yang akan mati karena menghalangi pemindahan kepemilikan itu nantinya, tentu Annabeth tetap hanya bisa menduga-duganya saja. Dan yang akhirnya, dengan perasaan menggebu yang telah dirasakannya kini, dengan cepat dia mengenakan kembali topengnya, dan mengeluarkan langsung dirinya dari mobil.
Sementara Mark yang tetap tersenyum memandangi langkah Abeth-nya karena alasan ini, dengan santainya juga dia langsung mengenakan topeng yang sama, dan keluar dari mobil untuk sedikit mengejar langkah Abeth-nya yang cukup cepat dilangkahkannya.
֎֎֎֎
Jakarta, Indonesia.
Malam yang kembali tiba.
Pria itu tengah menyusup penuh ke ruangan kejadian, di mana tampat kematian Githa berlangsung. Gelap dan sepi. Itulah yang tergambarkan penuh di ruangan itu.
Dengan pandangan serius nan hati-hatinya dia tunjukkan, tentu tidak ada satu pun tempat yang bisa dengan mudahnya luput dari pandangannya.
Jadi, apa yang sebenarnya dicarinya kali ini?
Entahlah.
Apa dia berada di pihak baik atau sebaliknya, masih belum tergambar jelas apa maunya pria itu. Dengan sikap tenangnya yang tetap melangkah memasuki tempat, hanya dengan dicahayai oleh cahaya lampu dari smartphone-nya saja, itu sudah cukup bisa menerangi keadaan yang gelap dilaluinya saat ini.
Lalu, saat di mana dia sedang memulai untuk mencari apa yang ingin didapatkannya, saat itu juga dia melangkah cepat dan bersembunyi di balik tembok ketika mendengar ada seseorang yang membuka pintu apartment. Yang diduganya, tidak lain adalah dua polisi patroli yang juga dilibatkan untuk kasus ini.
Seluruh lampu ruangan akhirnya dinyalakan oleh mereka. Membuat pria itu mulai mencari tempat lain yang lebih aman untuk bersembunyi. Karena tidak mungkin juga dia harus keluar begitu saja dari pintu masuk yang dilalui dua polisi, pria itu mulai mencari cara lain untuk mencari jalan keluar yang lebih aman dari yang dipikirkannya saat ini.
Dan baginya, hal ini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Dengan ide kecil dan tatapan yang diarahkan ke sisi atap yang berada di bagian dapur tertutup tersebut, dia pun mulai melangkah ke arah sana. Melangkah tanpa menyuarakan apa pun, di saat kedua polisi itu berada di kamar tidur si korban. Dan dengan sikap hati-hatinya juga, dia menaiki meja makan di tempat itu dan langsung menaiki atap dengan kedua tangan kuatnya memanjat. Dan pada akhirnya, dia pun berhasil pergi dari tempat itu tanpa ada satu pun yang menyadarinya.
Tapi sayangnya, kedatangan kedua polisi itu malah tidak membuatnya membawa hal apa pun untuk digeledah. Karena kegagalannya hari ini yang dia dapatkan, pria itu pun menggeram kecil dengan mengeluarkan helaan napas berat yang juga telah menyelimuti penuh perasaan kesal dirinya.
֎֎֎֎
[1] Kita bisa keluar sekarang?
[2] Tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia atau bisa disebut Observatorium Bosscha, di Bandung.
[3] Kaupikir ada yang lucu?
[4] Aku hanya cemas jika kau akan lagi dan lagi mencoba keluar dari duniaku.