Raka membawa tubuh Kiya ke kamar yang sudah ditunjukkan sebelumnya oleh Bi Anah. Sekarang Bi Anah sedang mengambil handuk dan pakaian ganti untuk Kiya. Raka mendudukan Kiya pada sofa yang tergeletak di sudut ruangan. Kiya memeluk tubuhnya sendiri yang makin dingin akibat dari pendingin ruangan yang menyala.
Raka yang menangkap situasi itu segera mencari remote AC yang tertempel dibawahnya. Ia menekan tombol bulat untuk mematikannya. Kemudian berjalan lagi kearah Kiya dan disusul oleh Bi Anah yang juga memasuki kamar sembari membawa baju salin untuk Kiya.
Raka menyelimuti Kiya dengan handuk yang tadi diberikan oleh Bi anah. Ia merengkuh kedua pundak Kiya kemudian menuntun tubuh Kiya ke dalam kamar mandi, dan menutupnya.
"Bi, tolong tungguin Kiya, ya? Aku mau salin dulu."
Bi Anah tersenyum lembut. "Iya, Raka."
Raka berjalan keluar kamar meninggalkan Bi Anah yang duduk di ujung kasur. Senyuman di bibirnya tidak menghilang sedari tadi. Dia merasakan rasa bahagia yang kini dirasakan oleh keponakannya itu.
Selang waktu beberapa menit, akhirnya Kiya keluar dari dalam kamar mandi sembari menggosokkan handuk yang berada dilehernya ke rambut. "Makasih ya, Bi," ucapnya seraya tersenyum tipis.
Bi Anah mengangguk. "Kalau begitu Bibi keluar dulu, ya? Gak apa-apa kan?"
"Iya Bi, aku gak apa-apa kok."
Kiya tersenyum memandangi punggung Bi Anah yang sudah menjauh dan hilang dibalik pintu. Namun, digantikan oleh sosok Raka yang memasuki kamar. Dia sudah mengganti bajunya dengan celana pendek bermotif loreng dan baju putih yang mencetak jelas otot tangannya. Raka mengusap rambutnya yang basah ke belakang, membuat Kiya tidak berkedip beberapa saat, sebelum akhirnya deheman Raka mampu membuyarkan keterpakuannya pada sosok yang tadi menolongnya.
Kiya mengambil kantong kresek yang tadi diambilkan oleh Bi Anah, kemudian berjalan kearah kamar mandi dan keluar dengan kantong kresek yang sudah diisi dengan bajunya yang basah. "Gue mau pulang."
"Oke."
Saat Raka hendak berjalan terlebih dahulu dengan niat mengambil kunci mobilnya, tiba-tiba Kiya kembali bersuara.
"Sendiri."
Raka berbalik, matanya menatap Kiya dengan heran. "Hah?" dia melangkah lebih dekat kearah Kiya yang sibuk dengan kantong plastiknya. "Kamu marah karena kejadian tadi?" tanyanya.
"Enggak! Gue emang lagi mau sendiri."
Alis Raka bertautan. "Kita kesini bareng. Pulang juga harus bareng dong!"
Kiya tidak menggubris perkataan Raka yang menahannya. Ia berjalan melewati Raka yang masih menatapnya bingung. Dia berjalan kearah ruang tengah dan mengambil sling bag nya yang berada disofa. Kemudian kembali melangkah menuju pintu utama.
Raka berlari dari belakang dan menarik tangan Kiya dengan kuat hingga tubuh Kiya ikut berbalik menghadap kearahnya.
"Apa lagi?!"
"Ayo, kamu pulang sama aku."
Kiya menepis tangan Raka. "Gue bisa naik taksi!" ia berbalik dan tangannya sudah terangkat memegang knop pintu.
"Gak jelas banget jadi cewek!"
Kiya terdiam dari aktifitasnya. Ia menghembuskan napas lelah kemudian berbalik dengan muka yang memerah. "Gue denger."
Raka kembali menyentuh tangan kiri Kiya. "Ayo pulang sama aku, ya?"
"CUKUP!"
Kiya kembali menepis tangan Raka. Telunjuknya terangkat keatas tepat didepan wajah Raka. "Lo siapa?" Dengan tatapan tajamnya, Kiya menatap Raka. Menusuk mata lelaki itu dengan ucapan pedasnya. "Kurang kerjaan. Ngurusin gue terus kerjaannya. Kayak baby sitter lo lama-lama! Lo harus inget satu hal. Elo itu bukan siapa-siapa gue! Lo gak berhak atas semua keputusan yang gue pilih. Jadi orang gak usah keras kepala, bisa gak?"
Raka terdiam. Iya gue emang bukan siapa-siapa, batinnya menjawab.
"Hanya karena kemarin gue berbaik hati sama lo bukan berarti lo berhak atas semua kendali. Gue bisa sendiri, tanpa lo!"
Raka menengguk ludahnya dengan susah payah. Kalimat Kiya sangat menyudutkannya dengan telak. Hatinya mulai terasa sakit, seakan tidak terima karena ketulusannya benar-benar tidak di lihatnya sama sekali oleh Kiya. Kali ini Raka membiarkan Kiya yang sudah berjalan keluar tanpa menutup pintunya kembali. Ia dapat melihat jelas, Kiya yang berjalan melewati pagar besi yang menjulang tinggi.
"KIYAA!" itu bukan suara Raka, namun Riri yang muncul dari balik tubuhnya.
Raka merentangkan tangan kanannya, menghalangi Riri yang hendak mengejar Kiya. Sedangkan Cindy, Manda, Alan dan Aji yang baru saja datang hanya dapat terdiam di tempatnya. Menjadi penonton patah hati Raka dengan jarak satu meter.
"Dia bisa pulang sendiri."
Riri melotot kaget. "Lo gila, ya? Lo biarin dia pulang sendiri? Naik apa?" tanyanya. Dia menggeram frustasi. "Raka, lo tau 'kan kalo disini itu jarang banget angkutan umum lewat, apalagi taksi. Jalanannya aja sepi banget."
Raka berbalik menatap Riri dengan kening berkerut. "Dia yang minta. Dia yang bilang sama gue kalau dia bisa jaga dirinya sendiri." Pandangan matanya beralih kedepan dengan lurus, tanpa melihat sosok teman-temannya yang berdiri tak jauh.
"Kita pulang besok! Gue capek, mau tidur. Kalian bisa tanya kamar kosong sama Bi Anah." Ucap Raka final. Setelah itu, ia melangkah melewati ke empat temannya yang masih kebingungan dengan semua kejadian yang ada.
***
Bima berjalan dengan gelisah ke arah kamar adik bungsunya. Pintu kamar Kiya terbuka lebar. Bima menelusuri kamar Kiya seraya memanggil-manggil nama adiknya.
"Kiya.."
Bima mencari ke kamar mandi hingga ke kolong tempat tidur. Tapi tetap saja Kiya tidak ada disana. Bima meninggikan nada suaranya memanggili nama adiknya, takut-takut dia sedang berada di halaman belakang rumahnya.
"KIYAAAA....."
tapi tetap tidak ada jawaban apapun dari ruang manapun. Bima mengusap wajahnya gusar dan mengusap rambutnya ke belakang. Selama ini Kiya tidak pernah tidak pulang. kalaupun dia menginap, pasti dia selalu mengabari semua anggota keluarganya. karena dia adalah adik bungsu, maka Bima merasa harus extra menjaganya.
Bima menuruni setiap anak tangga rumahnya. Dia menghampiri anggota keluarganya yang berada di meja makan. mereka yang asyik makan membuat Bima menggeleng-gelengkan kepala. bagaimana bisa mereka makan dengan tenang saat bangku yang di tempati adik bungsunya itu kosong?
Bima berdecak. "Ck, enak ya sarapannya."
Andrian mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap Bima yang berdiri disebelahnya. Ia hanya bergumam, lalu kembali menatap layar ponselnya lagi. Sedangkan Doni melihat Bima dengan raut wajah khawatirnya. Doni menoleh ke arah Amelia, mamahnya yang sedang sibuk dengan beberapa dokumen ditangannya sambil memakan potongan roti di tangan kanannya. Tidak ada niat untuk memerhatikan Bima sebentar.
Bima menghembuskan napas panjang. "Kalian gak ada yang liat Kiya? Dia belum pulang dari semalam." Ungkapnya.
Doni membelalakkan matanya terkejut. Namun suaranya seakan tertahan di ujung tenggorokkan.
Bima melipat tangannya di dada. "Ruang makan rasa ruang rapat." Setelah itu Dia berlalu meninggalkan ketiga anggota keluarganya yang menurutnya sama sekali tidak menggubris ucapannya tadi. Bima sedikit menyesal sudah mengatakan sesuatu pada orang yang tidak memperdulikan perkataannya. Apa mereka tidak memikirkan Kiya, anak bungsu mereka?