"Putra?" ucap lelaki itu mengulang. Seperkian detik akhirnya lelaki itu berbalik dengan alis yang kini bertautan. "Siapa Putra?" tanyanya.
Kiya memejamkan matanya lalu menghembuskan napas lega, tangan kanannya mengelus dada pelan. Kiya menatap lelaki dihadapannya dengan tajam. "Ngapain sih lo kesini?"
"Kita kan ada janji."
Sebelah alis Kiya terangkat, kepalanya menengok ke dalam rumahnya, memperlihatkan jarum jam yang masih menunjukkan delapan lewat empat puluh lima menit. Dia bersidekap dengan kaki yang di ketukkan pelan. "janji jam berapa?"
"Emmm—delapan?" katanya menimbang-nimbang.
"Hah? Jam delapan lo bilang?!"
"Oh. Tujuh, ya?"
Kiya melotot kaget. "Halu lo! Bahkan kemarin lo gak sebutin jam berapa kita bakal berangkat ke panti."
"Aku udah bilang, sayang!"
"KAPAN?!" Kiya membentak lelaki dihadapannya karena kesal.
"Saat kamu pengen ikut ke kamar mandi bareng aku, terus malah marah-marah sama aku. Setelah itu kan aku kasih tau kamu pagi ini aku akan jemput."
"Gue gak denger lo ngomong gitu tadi malem."
"Ah, jelas dong." Kiya mengernyit menatap lelaki itu. "Kamu sudah lebih dulu mematikan sambungan telponnya." Lanjutnya, membuat Kiya menggeram frustasi dan berakhir dengan tinjuan di perut lelaki itu.
Suara derap langkah kaki terdengar dari balik tubuh tegap itu. "Gila, bau banget sih mobil lo, Rak, gak tahan gue. Nyerah gue." Ucap lelaki itu yang tak lain adalah Alan. Dengan tangan kanan yang terangkat keatas sembari melabai dan tangan kiri yang dikibaskan didepan hidungnya.
Disusul oleh Aji yang baru keluar dari mobil sedan milik Raka. "Wangi surga tauk!" timpalnya.
Raka membelalakan matanya. "Anjir, lo kentut dimobil gue?" tanyanya geram.
Aji menggeleng. "Enggak...gue cuma buang gas. Dikit."
"Mana gak bunyi lagi, Rak, ah parah temen lo. Gue rasa—" ucapan Alan terpotong dengan cepat oleh Kiya yang sudah menampilkan tampang jijik kepada ketiga lelaki yang mengaku tulen itu.
"Parah parah parah!" Kiya menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Lelaki idola kampus model begini? Kiamat sudah dekat." Lanjutnya.
"Lo jangan bawa-bawa kiamat dong. Horor amat sih!" Alan memprotes.
Kiya mengibaskan telapak tangannya ke udara, tidak peduli. "Raka! Gue lagi ngerjain tugas kampus yang harus diselesaikan hari ini. Teman-teman gue udah nunggu diatas. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, gue menghempas kalian untuk balik ke alam masing-masing." Ujarnya.
"Pedas!"
"Kejam!"
Raka menahan pergelangan tangan Kiya yang hampir saja melewati pintu untuk masuk ke dalam rumah. "Gimana kalo kita bantu?" tanyanya. Ia menoleh ke arah Aji dan Alan lalu mereka mengangguk serempah walaupun dengan hembusan napas berat.
"IP kecil aja mau sok bergaya segala."
Raka melotot kaget. "Siapa? Aku?" tanyanya sembari terkekeh kecil. "Sorry ya, IP aku 3,7 coy." Ucapnya dengan bangga.
"Terserah."
"Oke!"
Raka berjalan lebih dulu melewati Kiya yang berdiri diambang pintu. Matanya menjelajahi setiap pajangan yang menghias dinding dirumah yang bernuansa putih itu. Sebelumnya ia memang pernah kesini, namun tidak sempat memandangi keseluruhan ruangan ini, karena sudah ada Kakaknya Kiya yang ia ketahui bersama Doni langsung ia mengajaknya berbincang.
Diam-diam Kiya menggeretakkan giginya. Dia gemas dengan tingkah Raka yang seakan-akan adalah orang lama yang sudah saling kenal. Lancang. Ia berjalan dengan langkah cepat, meninggalkan Raka yang masih memandangi foto keluarga waktu Kiya masih berusia sepuluh tahun. Saat kakinya sudah mencapai anak tangga paling atas, dia menoleh pada ketiga lelaki yang masih betah berada diruang tengah.
"WOY!"
Kiya berteriak nyaring, refleks membuyarkan lamunan ketiga temannya itu.
Dengan tergesa-gesa. Raka, Alan dan Aji berlari kecil menaiki tangga, sedangkan Kiya sudah berjalan terlebih dahulu melewati kamarnya, kamar Bima dan berakhir di ruangan ketiga, ia masuk kedalamnya.
Riri dan icha mengernyit saat melihat tiga cowok ganteng sedikit bego yang kini sudah duduk dihadapannya dengan napas yang tersenggal.
"Kalian abis dikejar anjing ya? Kok lari-larian dirumah orang?" tanya Icha mengintimidasi.
Raka menempeleng kepala Icha yang sedikit miring. "Enak aja! Justru gue lari-larian gini karena ngejar bidadari." Jawabnya.
"Hah? Bidadari? Dia kesini? Kok gue gak liat, sih? Terbang ya? Pakai baju serba putih gak? Terus ada sayapnya gak? Mana sih, Raka? Dia udah terbang lewat jendela, ya? Atau Cuma lo yang bisa liat? Lo punya indera ketiga ya? Eh ke empat maksudnya. Bukan, bukan. Maksudnya indera keenam ya?" ceracau Cindy sembari menjelajahi seluruh ruangan dengan kedua matanya yang sengaja dibesar-besarkan.
"Indra herlambang kaleee," Aji menimpali.
"Tuh Bidadarinya, lagi minum es jeruk segar." Kata Raka terkekeh.
Uhuk!
Kiya tersedak saat setetes air baru melepaskan dahaganya. Matanya memandang keenam pasang mata yang sedang menatapnya. Kecuali Raka, dengan seringainya.
"Oh. Em. Ji."
"Mata lo picek!"
"Bidadari dari bojong!"
"Ugh! Bersayap cyiiiin."
"Cinta membutakan sekali."
Kiya mengibaskan rambutnya ke belakang dengan gaya model-model iklan shampo. "Sirik aja woooo, sirik!"
Raka tertawa kecil melihat pemandangan didepannya.
***
Di sebuah cafe. Lelaki dengan setelan switter itu sedang mengusap wajahnya dengan gusar. Dua lelaki bertubuh besar dengan kaca mata hitam yang melekat berdiri di sebelah kirinya.
"Gue Cuma tugasin kalian untuk membawa dia ke hadapan gue!"
"Bagaimana kita bisa menemukannya bos. Bos tidak memberikan petunjuk apapun." Sahut si lelaki yang mengenakan kaos hitam.
Lelaki yang adalah bos kedua orang itu menghembuskan napas panjang. Kemudian dia merogoh saku sweaternya, lalu mengeluarkan beberapa lembar foto dan disimpan diatas meja. Dua lelaki besar itu membungkuk untuk memperjelas penglihatannya.
"Di belakang ada alamat universitas nya. Gue gak tau dia masuk jurusan apa. Selebihnya, kalian cari tahu sendiri."
Dua lelaki bertubuh besar itu mengangguk, lalu satu diantaranya mengambil foto yang tergeletak dimeja.
Lelaki yang duduk itu tersenyum sembari memejamkan matanya. "Namanya Akhiya Nabila."
*****
Hari menjelang sore. Kiya, Raka dan teman-teman yang lain sudah berada di panti. Namun Keceriaan yang dirasakan teman-temannya tidak dirasakan oleh Kiya, begitupun Raka yang masih diam hanya memperhatikan Kiya yang terdiam dalam lamunan.
"Kamu kenapa sih? Mau pulang ya? Udah bete?"
Kiya masih terdiam diposisinya. Matanya menatap kosong ke air kolam renang yang begitu tenang.
"Kiya.."
Kiya hanyut dalam lamunan masa lalunya. Mimpi yang hanya beberapa menit tadi mampu membuang waktunya hingga berjam-jam. Mengapa mimpi itu sangat berpengaruh besar pada hati Kiya? Dia bahkan lupa kapan terakhir kali bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Dia tidak bisa menyangkal, bahwa saat ini Kiya sangat merindukan Putra.
Saat fikirannya masih berkelana pada masa lalu, entah dorongan dari mana yang membuat Kiya kehilangan keseimbangan dan membuatnya terhempas ke depan.
BYURRR
Riri berbalik saat punggungnya menabrak sesuatu. Matanya membelalak, kedua telapak tangannya terangkat untuk menutup mulutnya. "KIYAAA! Astaga..."
Raka segera menyebur ke kolam renang, tidak memikirkan bajunya yang akan basah. Raka berenang hingga ke tengah kolam. Kiya sudah hampir kehabisan nafas dan tenggelam, Namun tangan Raka sudah lebih dulu menarik pinggang ramping itu lalu memeluknya dengan erat. Raka mengangkat tubuh Kiya ke tepian kolam renang, Riri pun ikut membantu mengangkat tubuh sahabatnya dari pinggiran kolam.
Setelah tubuh Kiya sudah berbaring di tepian kolam renang, Raka segera naik ke atas. Kaus hitamnya yang basah mencetak jelas bentuk tubuhnya yang atletis. Raka memompa detak jantung Kiya dengan kedua telapak tangannya. Namun, saat di rasa belum cukup, dia segera mendekatkan wajahnya pada wajah Kiya yang basah. Raka memberikan napas buatan untuk Kiya, membuat yang lain membelalak terkejut.
"Uhuk..Uhuk.."
Kiya menyemburkan air dari dalam mulutnya. Matanya yang terpejam seketika mulai terbuka walaupun penglihatannya masih sedikit kabur. Ia menatap sekelilingnya, ada Raka, Cindy, Riri, Manda, Aji, Alan, Luvi dan banyak anak panti yang lainnya.
Kiya langsung bangun dan dibantu oleh Raka. Saat tubuhnya sudah terduduk, Raka dengan cepat menarik tubuh Kiya dan memeluknya dengan erat, tidak peduli pada beberapa pasang mata yang kini melihatnya.
"Syukurlah kamu sadar, Ya."
Kiya hanya mengernyit, tanpa membalas pelukan hangat dari Raka.
Raka melepaskan pelukannya, lalu menangkup wajah Kiya dengan kedua tangannya. "Kamu gak kenapa-kenapa kan?" tanyanya.
Kiya menggelengkan kepalanya, sembari menatap ke manik mata coklat cowok dihadapannya.
Raka menghembuskan napas lega.
"Syukurlah." Ucapnya sembari mengelus puncak kepala cewek itu.
"Lo, sih!" Riri terus memojoki Aji yang berada disebelahnya.
"Siapa suruh lo penakut."
"Hih,"
Raka meletakkan tangan kanannya pada pinggang Kiya, lalu tangan kirinya diletakkan pada lutut belakang gadis itu. Raka mengangkat tubuh menggigil itu dan membawanya masuk ke dalam ruangan.
"Ah, Kak Raka. Gantle Man banget seeehhhh." Ucap Cindy. Kedua tangannya menyatu didepan dada lalu ditempelkan ke pipinya sembari memandangi Raka dengan kagum.
"Best Couple banget, ya, Ndy?" Manda ikut memberi pendapat.
Cindy hanya membalas dengan gumaman dan kepala yang dianggukan. Matanya berbinar menatap punggung basah Raka yang menjauh, kemudian menghilang di balik pintu.