Chereads / Dekat Tak Tergenggam / Chapter 16 - Mimpi Buruknya

Chapter 16 - Mimpi Buruknya

BRAK!!

Pintu utama rumah terbuka dengan lebar, karena Kiya yang tidak mampu menahan tenaga Putra. Kini Putra dapat melihat Kiya yang sudah menangis dengan nafas yang naik turun, sesekali tangan Kiya terangkat untuk mengusap pipinya yang basah akibat air mata yang mengalir tanpa merasa bersalah.

Riri menyentuh pundak Bima, membuat Bima segera berbalik. Dia mendorong pelan punggung Bima, memerintahkan agar Bima menaiki anak tangga untuk kembali ke atas.

Sambil berjalan, Bima menatap tajam ke Putra yang juga sedang menatapnya seolah meminta izin untuk berbicara sebentar kepada adiknya.

Cindy dan Manda mengikuti langkah Bima dan Riri yang sudah melewatinya. Mereka kembali masuk ke ruang keluarga, membiarkan Putra menyelesaikan urusannya dengan Kiya.

Sekarang Putra sedang berjalan pelan ke arah Kiya yang masih terdiam ditempatnya. Dia berhenti saat jarak diantaranya sudah semakin menipis, tangannya terangkat mengusap pipi Kiya yang basah spontan Kiya menepisnya dengan kasar.

Kiya berbalik kemudian melangkah melewatinya. Putra terkekeh pelan saat mengetahui bahwa Kiya akan mengajaknya ke taman belakang rumah gadis itu. Sambil berjalan ke taman belakang, mata Putra tidak lepas dari pajangan di dinding rumah itu, semuanya tidak ada yang berubah, masih sama seperti terakhir kali ia masuk ke dalam sini, sekitar 2 tahun yang lalu.

Sesampainya dihalaman belakang rumahnya, Kiya berhenti berjalan masih memunggungi Putra. Tidak ada niat untuk berbalik dan menghadap mantan kekasihnya itu. "Bicaralah seperlunya!" Ucapnya dengan ketus.

Terdengar Putra menghembuskan napas panjang. Dia mengusap wajahnya dengan gusar. "I miss you."

Kiya meringis mendengarnya, matanya dibiarkan terpejam, menetralkan degub jantungnya yang tidak terkendali. Karena semuanya terasa tiba-tiba. Kiya masih terdiam membiarkan kesunyian mengendalikan suasana hatinya.

"Aku—" Putra berucap menggantungkan kalimatnya, membuat Kiya lagi-lagi menahan napasnya. "minta maaf karena terlalu membuatmu tersakiti atas sikapku."

"Saya tidak suka berbasa-basi! Kalau sudah selesai, saya mempersilahkan anda untuk pergi." Tegas Kiya.

Perkataan Kiya barusan tidak membuat Putra pergi. Dia berjalan mendekati Kiya yang sudah membuat hatinya menyesak akibat perkataannya yang terdengar formal, seakan seperti orang asing yang tidak saling mengenal.

Kiya melotot kaget saat tangan besar melingkar di sekitar pinggang hingga perutnya. Sekali lagi Kiya menahan napasnya, menahan air mata yang sudah mengumpul dikelopak matanya.

Dia sudah memiliki tunangan, Kiya!

Kiya tersentak ketika bayangan Putra dengan kekasihnya kini masuk ke dalam pikirannya. Segera Kiya menepis tangan Putra dan mendorong tubuh Putra ke belakang.

Perlakuan itu mampu membuat Putra mengerutkan keningnya, matanya melebar saat melihat pipi Kiya yang sudah basah akibat air mata yang kini masih mengalir hingga dagunya. Dia tidak bermaksud untuk membuat gadisnya menangis seperti itu, dia hanya ingin berbagi rasa rindu selama ini yang sudah tertahankan.

Kiya kembali terisak. "Setelah hampir dua tahun aku mencoba untuk mengubur semuanya sendiri, dengan sangat mudah kamu kembali lagi?" ucapnya sambil terkekeh. "Atau melihat aku terpuruk seperti ini adalah kegemaran baru kamu?" lanjutnya.

Putra menggelengkan kepala tidak percaya. "Maksud kamu apa?" tanyanya.

"Kamu tau, aku tidak suka dengan kepura-puraan, Kiya!"

Kiya tertawa nyaring, membuat Putra menyipitkan matanya tidak mengerti. "Lalu? Apa selama dengan aku, kamu selalu mengandalkan kejujuran? Kamu adalah pria baik untuk keluargamu, bukan untuk aku." Ucapnya.

"Kamu sendiri yang menyuruh aku untuk tidak melanjutkan hubungan kita! Sedangkan kamu tau, aku hanya ingin memperjuangkanmu, Ki,"

Kiya mematung, membiarkan pikirannya berkelana pada masa lalu yang membuat hubungan mereka sejauh ini.

"Aku minta maaf karena melibatkanmu dalam masalah ini." Saat itu Putra menunduk, menyesali segala perbuatannya, menduakan gadisnya.

Kiya meraih kedua pipi Putra agar menatap ke arahnya. Ibu jarinya mengusap pelan air mata yang sudah basah akibat tangisan kekasihnya.  "Aku dan kamu adalah Kita. Segala masalah yang melibatkanmu adalah termasuk ke dalam urusan aku juga." Ujarnya.

"Tapi—" dengan cepat Kiya memotong kata Putra yang hendak memprotes.

"Aku mengikhlaskan kamu. Aku gak mau kamu jadi anak yang durhaka dengan Ayah kamu sendiri akibat memedulikan aku." Kiya mencoba menahan suaranya yang sudah sedikit serak akibat menahan tangisnya. "I still love you." Finalnya. Tangannya menarik wajah Putra mendekat, hingga hidung mereka berdua menempel. Kiya memejamkan matanya, hingga Kiya merasakan bibirnya bertemu dengan bibir sang pemilik hatinya, Kiya melumat bibir bawah Putra dengan lembut.

Putra terkejut bukan main dengan reaksi Kiya yang terkesan ini. Namun tanpa berpikir panjang akhirnya Putra membalas lumatan itu, dengan lembut.

Putra merasakan basah disekitar pipi kirinya. Segera Putra melepaskan pagutan mereka, membuat Kiya sedikit kecewa. Dia melotot kaget saat melihat Kiya menangis. Saat Kiya tersadar, dia langsung mengusap sudut mata hingga pipinya dengan cepat. tatapan Putra berubah menjadi sendu, dengan cepat dia membawa Kiya ke dalam pelukannya, membiarkan gadisnya menangis, karena dia sadar bahwa air mata itu adalah dia sendiri yang menciptakannya.

"KIYA!"

Kiya mengerjap ketika suara keras memekik di kedua telinganya dan tubuhnya yang sedikit terguncang. "Putra?" Tanyanya linglung.

Dia mengangkat kepalanya yang dari tadi bertumpu pada kedua tangannya di meja. 

Tangan Manda terangkat, mengarahkan punggung tangannya ke kening Kiya. "gak panas ah!" ujarnya.

Kiya buru-buru menepis tangan Manda. "Apa sih?" tanyanya ngotot.

"Kerjaanya halu mulu lo Kiya. Tuh Bi Diah tadi kesini terus bilang ada tamu dibawah mau ketemu sama lo. Dibangunin malah nyari nya yang lain." Kata Riri sedikit emosi.

"Hah? Tadi gue ketiduran ya?" tanya Kiya.

"Semenjak bergaul sama si Kak Raka, lo kok jadi kaya telmi gitu sih? Dijampe-jampe ya lo?" Ucap Riri sembarangan

"Jampe-jampe otak lo noh!!!" Kiya menepuk kening Riri, dibalas dengan kekehan. "gue ke bawah dulu yaa,"

Ketiga temannya masih memandangi punggung Kiya yang sudah menjauh dan menghilang. Mereka mengernyit secara bersamaan.

"Gue rasa dia mulai stres akibat tugas ini." Ujar Cindy asal. Riri dan Manda refleks memukul kepala Cindy dengan kertas digenggaman mereka masing-masing, membuat Cindy mencebikkan bibirnya. "Kan cuma perasaan gue. Yeeehhhh baper amat!" Gumamnya pelan.

***

Kiya berjalan dengan jemarinya yang bertautan. Sesekali langkahnya dibuat cepat namun tiba-tiba juga melambat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya mengingat mimpinya yang terasa nyata tadi. Matanya mengernyit saat pintu utama rumahnya terbuka lebar. Dia berdecak saat kenyataan ini sangat serupa dengan mimpi yang dialaminya barusan.

Kiya menghela napas. Membuang ketergugupannya. Saat tubuhnya sudah melewati pintu, dia mematung ditempatnya.

"Ah itu Kiya. Ya udah tante masuk dulu, ya?" ujar Amelia dan dibalas dengan anggukan oleh lelaki yang memunggunginya itu.

Saat Amelia sudah menghilang dari balik pintu, Kiya melangkah mundur satu langkah dengan pelan, mencoba untuk tidak menimbulkan suara langkahan yang berasal dari sendal berbulunya. "Putra?" tanyanya namun terdengar seperti gumaman.