Penyesalan diubun-ubun tengah meredam hangat, kubikan-kubikan lantai menjadi tempat bersinggahnya mata yang tak ingin ditatap se-menyebalkan itu. Firman dengan lagak tenangnya ia hanya mengais kata-kata permintaan maaf yang tepat jika saja sumpah serapah itu akan didengarnya nanti dari mulut orang yang tengah duduk di depannya seraya mengorek-ngorek isi tas hitam yang dipangkunya di atas paha. Ia berdiri tak berani menatap lawan bicaranya, apalagi mengawali pembicaraan.
"Entah mau sedih atau senang hari ini, itu urusan kamu"
Seorang laki-laki yang merupakan kakak kandung Firman meletakkan selembar Surat Akta Perceraian yang telah dilegalisasi oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil di atas meja. Firman menarik ke belakang sandaran bangku kayu di sampingnya. Dia menduduki bangku itu, segera ia raih lembar berkas tersebut dan membacanya. Jemarinya yang gemetar tak mampu ia redam meski siku tangannya bertumpu pada meja.
"Mas percaya kamu orang yang sangat protektif dengan itu." Kakak Firman mengacungkan jari telunjuknya pada Akta Perceraian itu. Dia sangat tahu Firman adalah orang yang sangat hati-hati ketika menyimpan dokumen-dokumen penting.
"Ibu tentu menyesal punya anak yang haus tanggung jawab!" tambah kakaknya dengan suara lirih tapi cukup membuat tubuh Firman bergetar.
"Maaf," ucap Firman lirih.
"Lebih baik anak dan mantan istrimu yang dengar."
"Sudah terlambat, mereka membenciku."
"Itu bukan urusan Mas," ucap kakaknya dengan acuh tak acuh.
"Aku ngerti, Mas. Terima kasih sudah membantu," jawab Firman. Sungguh ingin sekali Firman lari dari suasana itu jika saja bukan Kakaknya yang tengah duduk di hadapannya. Ia cukup mengerti bagaimana dengan berat hati saudara tuanya itu harus membesuk adik yang kurang ajar di dalam penjara.
"Soal rumah …." Firman menjeda ucapannya. Sebenarnya dia sangat tidak ingin bertanya tetapi rasa ingin tahunya tak mengelak untuk dikeluarkan.
"Menurutmu, istri yang nggak dinafkahi suami bisa hidup bahagia? Kamu yang ngerusak masa depan dia, kamu yang nyakitin dia juga!" Emosi Kakak Firman tersulut akannya. Kakaknya tahu apa yang dimaksud Firman, tetapi dia mengerti batasan untuk berbicara kasar di tempat besuk yang bukan hanya dia dan Firman saja yang ada disana. "Rumah itu disita Bank!" tambah kakaknya lagi.
Rumah yang dimaksud Firman adalah rumah yang dulu menjadi tempat tinggal dia dan istrinya. Tanah seluas kurang lebih 60 meter persegi yang diwariskan oleh ibu Firman setelah ia menikah, dibangun rumah minimalis dengan dinding berbahan kalsiboard. meski demikian setelah istrinya menceraikannya Firman sudah berencana untuk memberikan hak milik atas rumah itu kepada istrinya. Namun, kenyataan istrinya justru terlilit hutang akibat biaya hidup yang tidak tercukupi.
"Jam besuk Mas mau habis, kamu mau menyampaikan apa buat Ibu?"
"Nggak ada, Mas," jawab Firman yang kini tampak canggung. Dia mengembalikan akta perceraiannya itu pada kakaknya.
"Kamu nggak mau tanya berapa uang yang sudah keluar buat sidang perceraianmu itu? Berapa uang juga yang dikeluarkan Ibu untuk mantan istrimu? Kakak Firman sedikit menurunkan nada bicaranya. "Ibu sering menangis karena kini harus jauh dari cucunya."
Firman sangat mengenal kakaknya, dia tahu kakaknya hanya menyindir.
"Insha Allah aku lunasi nanti, Mas," ucap Firman sungguh-sungguh.
"Mantan Napi susah cari kerja!"
"Siapa bilang?" Firman menjawab dengan geram, meski begitu dia harus menahan emosinya.
"Ya sudah, Mas pulang. Mungkin besok gantian Ibu yang akan marah sama kamu, Mas simpan ini buat jaminan ya." Kakak Firman mengangkat Akta itu agar Firman tahu. Firman kini hanya menatap punggung kakaknya keluar dari ruang besuk. Dia hanya mengucapkan kata hati-hati dalam diam, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menghela napas menenangkan diri.
Firman hendak berdiri untuk kembali ke selnya ketika Kakaknya sudah tak terlihat dari pandangan. Tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahu kirinya dari belakang.
"Masih ada satu orang lagi!" ucap tegas seorang petugas menahannya. Firman pun kembali duduk setelah sebelumnya tidak begitu sempat berdiri sempurna. Dirinya tentu bertanya-tanya, siapa yang akan datang, ia tercekat ketika seorang wanita yang sangat dikenalnya sudah tiba diruangan besuk.
***