Chereads / Unifier / Chapter 4 - Hari Baru

Chapter 4 - Hari Baru

Mawar kini mekar kembali bersama duri yang masih membersamainya, air hujan telah menghapus jejak-jejak retakan tanah di musim kemarau meski semut mengantri dibawahnya mencari lubang untuk tanam lalang. Dunia tenggelam dengan rasa nyamannya namun nampak gundah ketika nyawa tak lagi dusta untuk menekuk diri dalam ruangan terkunci. Warna akromatik membuat Firman sama sekali tak ingkar dengan jiwa kemanusiannya yang masih merasa bersalah, Ia tak tahu laju yang akan ia tempuh untuk menembus kembali dunia yang masih ia jajahi. Jika saja hanya reinkarnasi Firman pun tak menghendaki untuk kembali dengan wajah yang sama meski jiwanya lahir dengan tabiat baru.

Udara hangat menyambut Firman, Perpisahan dengan beberapa teman Lapasnya mengharu biru. Ada yang dengan sangat terpaksa menangis melepas kepergiannya, memberi pelukan, atau sekedar menepak bahunya.

"Aku tunggu kalian keluar dari sini." Firman menyeringai, beberapa temannya melototinya menantang kembali. Firman tak peduli dengan do'a-do'a laknat temannya, dia hanya butuh pikiran bening untuk mengumpulkan keberanian menjejakkan kaki ke luar tanah Lapas.

"Ada keluarga kau yang jemput ?" Tanya Haikal dengan mata yang masih mengantuk.

Firman menggeleng lesu, dia memang tidak tahu. bahkan keluarganya sama sekali tidak ada yang mengunjunginya beberapa bulan terakhir. 

"Alamak! Terus kau mau tinggal di mana? Ada rencana kah kau?"

Firman mengedikkan bahu, dia hanya mengharapkan kemurahan Tuhan untuk dirinya hari ini, menutup perbincangan yang membuat dirinya kalut untuk kesiapan yang menipis menghadapi kenyataan. Firman melenggang pergi ketika Petugas Lapas memanggilnya, menghiraukan pertanyaan Haikal yang masih belum terjawab.

Firman kini tengah mengurus dokumen kelulusannya menjalani hukuman pidana. Dia bersumpah untuk tidak akan lagi mengulang kesalahan-kesalahan yang sama di hari kemudian. Petugas Lapas memberi cap stempel kelulusan pada berkasnya. Tak lupa juga memberikan banyak wejangan, motivasi-motivasi yang sebenarnya bagi Firman sangatlah membosankan. Firman tak butuh banyak kata untuk itu, dia hanya butuh penguatan mental dan fisiknya untuk segera sembuh dan berjalan selayaknya manusia yang disempurnakan Tuhan ketika lahir tanpa dosa.

"Lowongan kerja pasti banyak diluar sana, jangan gampang nyerah, jangan pilih-pilih, intinya ketekunan itu perlu," jelas Petugas Lapas.

"Iya, Pak!" Jawab Firman tanggap.

"Jadikan hukuman ini sebagai pengalaman hidup, kamu sudah tahu perbuatan menyakiti orang lain itu sangat ditentang hukum bahkan agama, jadi jangan sampai tercebur di lubang yang sama. Merenung di sini selama empat tahun lebih semoga membuat pikiran manusiamu kembali, bukan pikiran hewan yang nggak kenal dosa itu yang masih ada," jeas Petugas Lapas dengan tegas. Firman hanya munggut-munggut. Firman tak lupa berterima kasih kepada para petugas yang ada di sana, beberapa Petugas lapas yang lain sudah berdiri nampak siap mengantar Firman untuk keluar dari gerbang Lapas.

Gemetar kakinya melangkah, haru bahagia bercampur kesedihan membuat tubuhnya sedikit lunglai. Seorang petugas lain bergegas menghampirinya mengulurkan selembar ampop.

"Ada titipan surat dari keluargamu, bacalah dulu!" Perintah petugas.

Firman menerimanya tanpa harapan lebih di benaknya, ia perlahan membuka amplop putih itu, surat yang datang tiga hari sebelum tanggal bebasnya. Kelegaan terpancar di sana, mata Firman berbinar membaca tulisan yang sangat ia kenal adalah tulisan Kakaknya itu, Kalimat-kalimat yang sangat menyentuh dan penuh kepedulian terpapar disana.

'Mungkin Mas tidak bisa menjemput kamu nanti, karena harus tugas ke luar kota. Ibu sudah menyerahkan sepenuhnya kepada Mas. Tentu saja Ibu juga nggak datang. Ibu Cuma berpesan jaga diri saja, ada uang saku juga titipan dari Ibu untuk keperluan kamu selama masih belum mendapat kerja dan Mas tambahi sedikit. Ingat ya, itu hutang! jadi jangan seenaknya kamu pakai terus nggak ada tanggungan buat ngembaliin. Mas sudah siapkan kos-kosan buat kamu, Catat itu juga, masukan daftar hutang. Kalau kamu punya rasa malu, cari kerja dulu buat nggantiin semuanya. Pekerjaan halal masih banyak dari pada kerja jadi tukang pukul. Tinggalkan pekerjaan yang sudah-sudah.'

Petugas lapas kemudian menyerahkan barang-barang Firman yang baru saja dikeluarkan dari lokernya. Salah satu di antaranya adalah tiga surat  yang masih belum Firman baca, surat yang diam-diam dikirimkan Nadia sekitar dua tahun yang lalu.

"Terima Kasih, Pak!" ucap Firman sambil ia berkemas. Ia juga tak gentar siap meninggalkan tanah Lapas yang menjadi huniannya selama empat tahun itu.

"Eh… Sebentar!" Petugas menunduk melongok ke laci meja kerjanya.

"Ini cincin yang hampir kamu buang dulu, saya selalu lupa buat menyimpannya di loker kamu," tambah Petugas Lapas menyerahkan kepada Firman. Firman menerimanya dan langsung memasangkan ke jari kelingkingnya tanpa harus bersusah payah menyimpan dalam ransel.

Beberapa Petugas Lapas mengantarnya ke depan gerbang Lapas. Firman mengucapkan salam terakhirnya, ia sudah berjanji dengan dirinya bahwa ia tidak akan lagi kembali ke tempat yang hina dimata orang-orang itu. Sudah cukup kesempatannya menikmati kehidupan dalam belenggu kurungan besi.

"Jangan macem-macem lagi, tempat ini selalu terbuka kalau kamu mau kembali," kekeh Petugas menepuk bahu Firman. Firman memberi hormat.

" Selamat tinggal, Pak!"

"Jadilah mantan napi yang bermartabat, nggak usah malu bergaul dengan masyarakat lagi kalau kamu nggak ngelakuin kejahatan. Walaupun bekas-bekas corengan nama kamu itu nanti sewaktu-waktu jadi bumerang, tapi tetap optimis lanjutkan hidup kamu."

Ketika Petugas Lapas meninggalkannya, Firman mulai menarik napas memejamkan matanya sejenak lalu mengeluarkan kepenatan yang masih mengganjal di kepalanya. Udara bebas yang ia hirup saat ini seolah ingin merayakan kemenangan bersamanya. Firman tertegun dengan suasana yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri, langit biru yang terhampar luas diatasnya seolah mengajaknya untuk berbaikan dengan kembali menyapanya. 

Firman berjalan menyusuri trotoar, tujuannya saat ini adalah tempat kos yang sudah disiapkan kakaknya. Tak jauh dari sana terlihat halte umum. Selagi menunggu, Firman melihat banyak sekali bendera partai politik berkibar di pinggiran jalan. Firman hanya tahu bahwa Presiden Abdurrahman Wahid masih duduk di kursi kepresidenannya.

Matahari sudah di atas kepalanya, botol air mineral yang dibawanya bahkan tandas isinya, tampaknya belum juga nampak angkutan umum itu datang, entah dari mana arahnya pasangan muda-mudi berseragam putih abu-abu sudah berdiri di sampingnya. Firman sangat tahu bahwa jam pulang sekolah anak SMA belum juga tiba, gadis itu menekuk kepalanya dengan laki-laki yang sama diam di sampingnya. Firman dalam diam memperhatikan mereka, awalnya bahkan ia ingin bertanya arah mengenai alamat Kos-nya, namun ia urungkan.

"Mau pulang ya, Dek?" Firman mencoba bertanya kiranya dapat jawaban dan membuat cair suasana. Pemuda itu hanya menoleh lantas kembali menatap lurus seolah mengatakan "Kamu nggak perlu tahu tentang saya," begitulah sampai akhirnya Firman meremas botol bekas air mineralnya dengan sangat kuat dan membantingnya di tempat sampah. Firman sangat tidak bisa diacuhkan, dia sangat muak melihat orang-orang yang tidak menghargainya sama sekali, sama seperti istrinya dulu. Kali ini Firman masih bisa menahan amarahnya.

"Nggak usah lempar sampah keras-keras napa si, Bang?" sindir gadis remaja di sisi pemuda itu yang mulai terusik.

"Maaf"

"Kasar banget jadi orang dewasa." Gadis itu menatap sinis, sementara si pemuda yang bersamanya justru memasang wajah ketakutan. Firman kali ini tidak menanggapi ia hanya mmemperhatikan kedua remaja itu dari samping penampilannya yang rapi dengan atribut lengkap, kaca mata yang bertengger dimatanya seolah menggambarkan seorang kutu buku sekolah. Namun entahlah, bagi Firman apa yang terlihat belum tentu juga menggambarkan sosok sebenarnya. 

"Setidaknya hargai ketika orang bertanya, apalagi orang yang lebih tua." Firman balas menyindir. Tiba-tiba sekejap mata berkedip, di samping kiri si gadis SMA sudah berdiri pula seorang pria berbadan besar dengan lengan bertato. Sebuah kupluk menutup bagian atas rambut ikalnya yang gondrong. Firman menatap gelagat pria itu yang mencurigakan. Sebagai mantan tukang pukul yang dulunya sering berurusan dengan berbagai macam orang-orang liar, dia tahu persis bagaimana gelagatnya orang yang hendak berbuat tindak kejahatan.

Peribahasa mengatakan, hitam-hitam bagai pantat belanga. Tabiat buruk sengaja diperlihatkan ketika secara cepat tangan si pria itu merampas kalung emas yang menggantung di leher si gadis remaja sebelum akhirnya lari terbirit-birit. Sontak saja si gadis teriak-teriak panik meminta tolong.

"Jambret! Jambret!" teriak pula si pemuda. "Bang, tolong, Bang. Bantu kejar jambret itu, dia ambil kalung pacar saya, Bang."

"Nggak usah teriak keras-keras napa si, Dek?" balas Firman mengembalikan sindirannya beberapa saat lalu. "Lagian kamu jadi cowok pacarnya kena jambret bukannya dikejar malah teriak-teriak!"

Firman seolah sangat puas menyaksikan orang yang telah bersikap kurang sopan itu mendapat ganjaran tepat di depan matanya. Angkot yang ditunggunya pun tiba, dia bergegas menaikinya dan duduk pada sisi pintu. Kepuasan itu seketika berubah menjadi rasa bersalah ketika melihat gadis remaja itu menangis sesenggukan. Firman pun seketika kembali mengingat tekadnya, bahwa segala yang dia lalui di dalam penjara seharusnya tidak untuk melahirkan sikap yang seperti ini. Tak jauh angkot berjalan, tiba-tiba Firman meminta supir untuk menepikan angkotnya.

Setelah membayar, dia segera berlari mengejar penjambret. Keputusan yang terlambat tentu membuat kemungkinan untuk terkejar semakin kecil. Namun, Firman bukanlah orang yang awam soal kejar-mengejar orang. Dia sangat paham akan kemana arah larinya seorang maling ketika berhasil merasa dirinya lolos. Diambilnya jalan tikus demi sampai lebih cepat pada tempat yang dituju. Dia masih berlari tanpa lelah melewati pemukiman warga. Namun sial, sebuah tembok besar menghadang jalan. Rupanya itu merupakan jalan buntu.

Tak ingin berlama-lama terpaku, Firman segera berbalik hendak mencari jalan lainnya. Langkahnya terhenti ketika melihat orang yang mirip sekali dengan penjambret sedang duduk santai menikmati semangkuk mie instan di sebuah warung. Dihampirinya orang itu, tangannya segera meraih kepalanya dan membenamkan wajah penjambret pada mangkuk mie yang ada di depannya. Si pria meraung karena wajahnya kepanasan.

"Brengsek!" maki pria jambret ketika mengangkat wajahnya dari mangkuk. Wajahnya yang basah bercampur sisa-sisa mie bergelantungan pada rambut gondrongnya semakin menambah penampilannya tidak karuan.

"Balikin kalungnya!" tegas Firman.

"Nih gua balikin!" seru si pria dengan melancarkan kepalan tangan ke arah wajah Firman. Namun tak semudah itu kulitnya bisa disentuh. Ini hanya sekepal tangan preman jalanan, senjata yang lebih berbahaya bahkan pernah dihadapinya. Firman tak ingin membuang waktu lama untuk sebuah perkelahian yang tak sebanding. Dia segera mendaratkan tendangan ke arah perut si penjambret hingga terjerembab jatuh beberapa meter ke belakang. Si penjambret mengerang kesakitan tak berdaya. Firman menggulingkan badannya seraya merogoh saku belakang penjambret. Dan dapat lah kalung itu di tangannya.

***