Chereads / Unifier / Chapter 7 - Keluh Kesah

Chapter 7 - Keluh Kesah

Riuh angin malam kian gamang, mimpi-mimpi yang berserakan seolah menyudutkan dirinya kembali. Firman tak bisa meraba dan mengendalikan lagi buncah di kepalanya yang terkadang lepas. Sesulit itu untuk menyembuhkan diri dari belenggu masa lalu yang begitu fanatik mengejarnya lagi seolah dirinya masih terjerat hutang yang belum ia lunasi, belum lagi tentang dunianya saat ini yang begitu sesak untuk sekedar duduk manis menikmati kopi hitam. Jejak kakinya saja perlu kertas-kertas berstempel untuk dibawa mencari sepeser rupiah.

Diam-diam berkelakar dengan dirinya sendiri, Firman kini merebahkan tubuhnya. Ia mencari kemenangan dengan pundaknya yang demikian berat menanggung beban-beban hidupnya, cukup canggung menatap atap yang retak untuk mengeluh lagi, ia menutup matanya perlahan mencari gelap yang menenangkan, ia tidak tahu sampai kapan perangnya akan berakhir atau mungkin tidak akan pernah berakhir, memburunya sampai akhirat.

Bebas dengan situasi yang makin sulit sama saja rasanya berada dalam sel penjara. Tidak ada jeda untuk sekadar berhalusinasi menjadi tokoh utama film kartun yang selalu menang pertandingan. Hidup Firman tidak se-klise itu, ia sendiri yang mengubah takdirnya menjadi kian pelik.

Tok Tok Tok

Terdengar suara ketukan di pintu kos-nya, Firman yang sedari tadi memejamkan mata kini terganggu dengan suara itu, agak kesal tampaknya. Begitu Firman membuka pintu dilihatnya Joni sudah berdiri di depan dengan jari menggapit sebatang rokok. Dia tersenyum sangat lebar setelah mulutnya menyembulkan asap. Firman tampak tak suka bahkan dia hampir menutup pintu lagi tapi dengan sigap Joni menahannya.

"Ada perlu apa?" tanya Firman dengan ketus.

"Boleh saya masuk?" tanya Joni sambil menghisap kembali rokoknya. Dia menyembulkan kepalanya sedikit untuk melihat isi kamar kos-an Firman.

"Nggak lagi ngumpetin perempuan, kan?" cecar Joni dengan raut jenakanya yang membuat Firman semakin kesal. Kalau saja hati nuraninya tidak sebaik sekarang, Firman sudah barang tentu menonjok wajah Joni sampai babak belur. Hanya saja ia tidak ingin menambah musuh-musuh baru lagi dalam hidupnya.

"Boleh." Akhirnya Firman kini memperbolehkan Joni masuk. "Tapi dilarang merokok."

Joni menghisap rokoknya kembali untuk yang terakhir. Kemudian dilemparnya sisa batang rokok yang sudah habis setengah ke bawah pohon mangga di depan. Dia masuk setelahnya, mereka berdua duduk bersila di atas tikar.

"Gimana? sudah dapat kerjaan, Mas?" tanya Joni memulai obrolan, Firman hanya menarik napas panjang, tampak berat kepalanya sampai mulutnya saja tidak ingin bersuara. Joni yang memahami kondisi Firman kali ini, tanpa ingin basa-basi ia langsung mengatakan maksud kedatangannya.

"Saya ke sini mau minta maaf, soal kejadian tadi pagi. Saya cuma niat bercanda, nggak ada maksud lain." 

"Waktunya aja kurang tepat." Jawab Firman singkat.

"Dulu awal-awal saya datang kemari juga sering merasa tersinggung, karena mereka terlihat lebih bahagia dari saya." Joni tertunduk sebentar. "Pak Bambang belum cerita?"

"Tentang apa?" tanya Firman yang mulai tergugah rasa penasarannya.

"Tentang Saya." Joni menunjuk dirinya.

Firman tertawa kecil sambil meledek "Memang sepenting apa?"

"Haduh Mas Firman, Saya ini orang penting loh di sini kalau belum pernah denger cerita saya berarti Pak Bambang udah mulai pikun," kekeh Joni.

"Panggil Firman aja, nggak perlu panggil mas. Saya lebih muda dari kamu," pinta Firman.

"Oke," kata Joni mengiyakan. "Sejak awal datang ke sini, saya sering berkelahi dengan Anton. Dia sudah dua bulan lebih dulu tinggal di sini, lalu saya datang sehari setelah hari kebebasan saya, kemudian sekitar enam bulan kemudian Mira yang datang."

"Tunggu! Hari kebebasan?" tanya Firman penasaran.

"Kalau kamu buka koran tujuh tahun yang lalu mungkin bisa lihat wajah saya terpampang di mana-mana, sudah menyaingi berita-berita selebriti," jawab Joni bangga. "Saya ingat betul saat itu, polisi menangkap saya ketika kejar-kejaran di jalan Tol. Honda Civic Ferio kesayangan harus ringsek ditabrak dari depan oleh mereka."

Firman terdiam sejenak. "Kalau begitu ada dua mantan napi di sini. Kita senasib."

Joni tertawa terbahak-bahak setelahnya. Dia menepuk-nepuk tangannya pada bahu Firman selagi tawanya tak kunjung berhenti.

"Dua?" kata Joni kemudian melanjutkan tawanya. Firman hanya menatap heran dengan penuh ketidaktahuan. "Bukan hanya kita berdua yang senasib. Tetapi semua penghuni kos di sini senasib. Termasuk pemilik kos-nya."

Pernyataan Joni membuat Firman mengerutkan dahinya, tentu saja Firman kaget, dia baru mendapatkan fakta hari ini tentang tempat Kos-nya. Bagaimana bisa? Apakah ini sesuatu yang kebetulan atau ada unsur kesengajaan. Dia pun mulai berpikir tentang kakaknya.

"Jangan kaget, kami di sini sudah layaknya keluarga. Atas dasar nasib yang sama membuat kami semua mampu saling memahami masing-masing, jangan sungkan untuk berbagi keluh kesah, awalnya juga saya mungkin seperti kamu, suka mengurung diri dan memendam sendiri, namun kemudian saya sadar, ternyata saya sangat membutuhkan orang lain untuk mengurangi beban saya."

Firman tampak merenung, ia menyandarkan punggungnya pada dinding. Dia seolah siap bercerita banyak hal setelah mendengar pernyataan dari Joni. Ia membutuhkan orang lain untuk berbagi keluh kesah. Sesederhana itu. Firman sungguh sangat ingin berterima kasih terutama kepada Kakaknya yang mungkin sudah memprediksi bagaimana dirinya akan berlabuh setelah keluar dari penjara. Tempat yang sederhana dan menemukan ladang untuk mencocokkan banyak hal dan pantas menjadi tempatnya pulang.

"Saya kenal sekali dengan Abang mu, dia lah yang menyatukan kami. Sebetulnya kami semua adalah mantan client-nya yang pernah dia bela di pengadilan. Kejujurannya dalam bekerja yang membuatnya tak lalu mengesampingkan kesalahan yang kami perbuat. Tak seperti para pengacara brengsek yang mati-matian berbohong demi menghindari client-nya dari tanggung jawab. Tapi, berkat kecakapannya hukuman kami jadi lebih ringan."

"Masih suka berhubungan dengan Abang ku?"

"Dia sering datang kemari menemui Pak Bambang, dia orang baik dan supel banget orangnya." Ekspresi Joni bahkan sangat terbaca kalau dia memang sangat membanggakan Kakaknya itu.

"Terlihat sangat beda dengan saya." Firman mengakui diri.

"Maaf nih, kenapa kamu nggak ngikutin jejak abang mu aja, biasanya kalau punya orang dalem gampang punya akses, kamu ini bisa loh jadi pengacara."

"Saya nggak punya pikiran picik kaya gitu. Saya punya kehendak sendiri, punya tujuan sendiri."

"Tapi kan lebih menjamin, justru punya tujuan sendiri tapi malah menjerumuskan ke hal-hal negatif itu yang keliru," Jelas Joni panjang lebar bahkan ingin sekali Firman memutarbalikkan kenyataan kepada Joni, tapi Joni terus membombardirnya pertanyaan seolah ia sedang di interogasi. "Pernah nggak sih kamu cemburu sama kehidupan gemilang Abang mu? "

"Cemburu itu manusiawi," Jawab Firman singkat. "Kami diperlakukan sangat berbeda oleh orang tua kami. Ibu lebih condong memperhatikan dia. Karena prestasi di sekolahnya lebih banyak, dia dikuliahkan sementara aku hanya dibiarkan lulus STM. Alasannya karena memang aku yang susah diatur. Aku berandalan sejak dulu. Aku lebih sering berkelahi karena memang suka ilmu beladiri."

"Terus kamu nggak ada niatan buat jadi pengacara?"

"Memangnya ada mantan napi yang jadi pengacara?" tanya Firman.

"Loh banyak, Fir." Jawab Joni santai. "Termasuk kamu ini." Tawa Joni sudah siap untuk meledak namun masih ia tahan.

"Maksudnya?" Firman mengerutkan dahi masih tidak paham dengan jalan pikir Joni yang semakin membuatnya kesal

"Pengangguran banyak acara maksudnya." tawa Joni meledak. Firman semakin kesal namun ada kelegaan disana.

Malam semakin larut, tampaknya obrolan keduanya masih berlanjut Firman menceritakan pengalaman-pengalaman buruknya, tentang keluarga yang ditinggalnya sampai kehidupan rumah tangganya yang porak poranda. Setengah beban ia bagi dengan rasa penyesalan yang sangat mendalam, hidupnya hancur kala itu juga lewat kata-katanya, detik-detik menghancurkan kekalutan, ketakutan dan keegoisan yang terpendam sangat lama kini pecah membaur dengan rasa yang amat lega meski beberapa masih mengganjal menjadi privasi.

"Manusia memang nggak ada yang sempurna. Saya rasain sendiri bukan cuma denger dari ceramah ustaz-ustaz di masjid dan manusia gampang banget kalo pengin berbuat salah, istilahnya cuma nginjek semut aja itu sebuah kesalahan."

"Sekarang rasanya dunia sangat asing sekali, terasa sekali saat keluar dari gerbang Lapas, mungkin benar orang lain bilang bebas tapi sebebas-bebasnya di sini lebih nyaman bebas di penjara."

"Masih betah di penjara?" tanya Joni meledek.

"Ya nggak lah."

"Ya sudah fokus saja cari kerja." Jelas Joni yang sudah mengantuk, ia mulai menguap.

"Kamu kenapa bisa sampe dipenjara?" Firman bergantian bertanya.

"Kira-kira kalau dari tampang saya bagaimana?" Joni menimpali.

"Korupsi?" Firman masih asal tebak, Joni menggeleng lalu meluruskan kakinya yang sedari tadi ia tekuk.

"Dulu saya pegawai bank, ya walaupun cuma ngelapin kaca sama ngepelin lantai tapi keluar karena digantikan sama yang baru, secara, saya cuma lulusan SD dan pegawai baru lulusan SMA sejak itu saya kehilangan pekerjaan satu-satunya."

"Lalu kamu bikin celaka pegawai baru itu?"

"Saya bergabung dengan kelompok bandit pembobol uang di bank, awalnya cuma diajak teman main judi lama-lama dia nawarin yang aneh-aneh, karena saking terobsesinya dengan uang dan kelamaan menganggur, akhirnya saya mau gabung, mereka akhirnya manfaatin saya juga karena mantan karyawan di bank."

Karena Joni semakin mengantuk ia pamit kepada Firman untuk pulang ke kamar kosannya. Kini jam satu dini hari Firman masih terjaga namun tubuhnya terbaring nyaman dikasurnya sambil menatap langit-langit ruangan berwarna putih yang membuat dia semakin tak ingin tidur. Namun, waktu membawanya memejamkan mata sampai dia lupa ia masih harus mencari pekerjaan esok hari.

Jam 8 pagi Firman terbangun, setelah dia membersihkan diri ia bawa tubuhnya ke dapur. Di sana hanya ada Joni dan Mira yang tengah berbincang. Firman langsung duduk di kursi. Mira yang langsung mengetahui keberadaan Firman langsung menyuruhnya mengambil nasi.

"Semalem saya pulang langsung tidur, untung hari ini libur." Joni kini berpindah duduk disamping Firman, mulutnya sibuk mengunyah makanan. "Oh iya, Mira ini dulunya pengedar." tunjuk Joni ke arah Mira yang duduk di depannya.

Firman mengangguk seolah pertanyaan di kepalanya kini sudah terjawab. Firman kembali duduk tenang dengan sepiring nasi dan lauk pauk yang sudah siap disantap, namun Joni yang ada disampingnya tak berhenti mengoceh. Tak seperti Joni yang ocehannya tak memberi manfaat langsung bagi Firman, kini giliran Mira yang bertanya.

"Mas Firman mau kalau saya tawari kerja jadi pelatih bela diri?" tanya Mira. "Joni bilang katanya Mas terobsesi beladiri."

Firman menghentikan kegiatannya sambil mencerna perkataan Mira.

"Pelatih?"

"Saya punya kenalan, kebetulan dia punya sanggar ilmu bela diri, Siapa tahu Mas Firman mau jadi pelatih di sana?"

"Memangnya ada lowongan?"

"Asal orang-orang terlatih, mereka pasti siap rekrut anggota baru, nanti Saya coba tanya lagi dulu ya?"

Firman tidak yakin, namun ia juga tidak berharap banyak. Sebenarnya satu hal yang masih menjadi ketakutan terbesarnya, dia akan kembali menjadi ia yang dulu lagi. Ilmu bela diri yang membuatnya terobsesi untuk menghancurkan siapa saja yang dirasa mengganggunya.