Hidup adalah petualangan dari rencana yang dibuat, perjalanan yang mengantarkan keputusan awal menuju tujuan akhir. Terkadang bisa saja berhasil atau tidak dengan bagaimana melewati dan dengan siapa menjalani. Firman tidak menuntut banyak atas hidupnya meski kadang dia selalu terjebak dalam situasi yang seharusnya tidak dia pilih. Kelegaan bertemu dengan penghuni kos yang ternyata senasib dengan dirinya membuat dia semakin kuat, kokoh dan tidak hancur. Dia terdorong untuk mencoba berbagai hal meski kebimbangan menyertainya.
Pintu-pintu kemudahan yang terkunci kini seolah memberinya celah, seberkas cahaya dari dalam pintu mulai memapar keluar meski ia tidak tahu bagaimana akan memulainya. Meski sepenuhnya dia memegang kunci hidupnya sendiri tapi membukanya secara lebar tidak semudah ia membuka pintu kamar kos-nya.
Lama merenungi keputusan yang akan dia ambil, Firman justru mengingat perkataan Golek beberapa hari yang lalu yang membuat dia semakin benci untuk sekedar bernapas. Memiliki kemampuan lebih tak lantas membuat hidupnya menyenangkan, dia takut akan bertemu kembali dengan orang-orang yang memanfaatkan hidupnya dengan cara yang salah.
Pintu kamarnya terketuk, suara Mbak Mira terdengar dari luar sana. Firman bergegas membuka.
"Ada apa, Mbak?" tanya Firman.
Tak langsung menjawab Mbak Mira memberikan secarik kertas kepada Firman, disana tertulis alamat sanggar ilmu bela diri bernama 'Sasana Rajawali'.
"Ini alamat tempat pelatihan itu, Mbak?" tanya Firman seraya membeber kertas.
"Iya," pungkas Mira. "Datang saja kesana besok atau kapan."
"Terima kasih,Mbak."
"Semoga berhasil," ucap Mira tersenyum akrab. Ia lekas pergi. Firman hanya mengangguk sambil membawa dirinya duduk bersila mengamati alamat yang tertulis pada kertas itu. Yakin tidak yakin dia harus mencobanya entah dia akan menemukan duri atau melati kali ini. Ia tidak sedang merangkai balada dalam bukunya tetapi mencoba memperjuangkan apa yang ada di depan matanya untuk menjadi kisah yang hanya dibaca oleh dirinya. Karena nampak dunia dan seisinya tidak mungkin memahami apa yang dirasa, mereka hanya tahu dari raut wajah yang terpampang dan laku yang nyata.
Angin kadang bergerak diam, terkadang tenang menyemilir menyegarkan kulit ari, kadang pula melonjak untuk terang-terangan. Seperti itu kemudian Firman melanjutkan hidupnya yang tersisa. Adakalanya dia harus mengutarakan kegelisahannya adakalanya juga ia memendam dalam apa yang ia rasa tak pantas dibagi.
Pagi itu dengan pakaian rapi, Firman bergabung dengan penghuni kos yang lain di meja makan, Pak Bambang juga tampak disana. Seperti biasa, Firman selalu menjadi yang paling akhir menyentuh piring pada sarapan pagi. Ia menarik bangku makan ke belakang sebelum dirinya mengambil sikap duduk.
"Mau cari kerja lagi, Fir?" tanya Anton yang kali ini duduk di sebelahnya.
"Mau cari istri," celetuk Joni yang kali ini terkekeh, Anton menatapnya sengit.
"Aku nggak nanya kamu, Jon," jawab Anton jengkel.
"Lagian udah tahu Firman lagi nyari kerja masih tanya."
"Udah, Jon." Kini Pak Bambang angkat bicara, Joni pun terdiam menurut. Pak Bambang kemudian beralih menatap Firman.
"Mas Firman mau coba ke sanggar?" tanya Pak Bambang yang nampaknya sudah tahu rencananya.
"Iya, Pak, saya ingin tahu keadaan disana dulu."
Pak Bambang menyelesaikan makan paginya dengan menutupnya dengan menyeruput segelas air teh hangat, ia pun mengambil sebuah tisu untuk membersihkan mulutnya serta kumis tipisnya yang lembab.
"Sanggar itu memang sudah terkenal sejak lama dan banyak muridnya," kata Pak Bambang seraya meremas tisu bekas dan membuangnya ke tempat sampah di kolong meja. "Mudah-mudahan kamu bisa membantu untuk menyalurkan ilmu kamu,"
"Asal jangan ngajarin yang nggak baik," tambah Joni terkekeh lirih.
"Membobol uang di Bank misalnya," sindir Anton pada Joni. Tatapan ketersinggungan mengarah ke Anton. Joni membalasnya dengan candaan melempar tisu bekas ke arah kawannya itu.
Acara sarapan berlalu dengan tenang, Pak bambang dan penghuni kos menyemangati Firman ketika ia hampir beranjak pergi. Joni bahkan mengantarnya sampai gerbang depan.
"Hati-hati di jalan, semoga kali ini berhasil." Joni menepuk pundak Firman.
"Iya, Jon. Terima kasih," ucap Firman tersenyum. Ini akan menjadi perjalanan yang cukup panjang baginya, alamat yang tertera pada catatan itu sepertinya menunjukkan ke arah luar kota. Persiapan perjalanan dengan beberapa kali menaiki angkutan umum harus terpenuhi, termasuk sarapan pagi yang telah ia lakukan serta bekal sebotol air mineral yang ia sisipkan pada sisi samping ranselnya.
Setengah jam perjalanan ditempuh Firman. Ia turun dari bus yang ia tumpangi, kembali lembar kertas bertuliskan alamat itu ia baca. Menurut panduannya memang benar seharusnya ia turun di sini. Tetapi dia tidak pernah menyangka tempat aslinya sangatlah berbeda dari apa yang ia bayangkan sebelumnya. Tempatnya menuruni Bus ini hanya berpatok pada gerbang perbatasan perkampungan yang tertulis pada kertas.
Jalanan itu nampak lengang, di sisi kiri jalan raya adalah perbukitan dengan banyak pohon pinus menjulang serta dedaunan lebat pada pucuk-pucuk batangnya. Sedangkan di sisi kanan jalan adalah gapura masuk ke sebuah perkampungan. Gapura itu mengarah ke jalan berlumpur yang membelah ladang jagung yang telah menguning seperti usai dipanen.
Dia menyusuri jalanan berlumpur itu dengan memilah-milah bagian yang tidak terdapat genangan air. Sepertinya semalam hujan turun di daerah sini. Sesekali kakinya terperosok ke bagian tanah berlumpur hingga celana jeansnya yang menutup mata kaki harus belepotan. Untung saja dia mengenakan sepatu Trekker Jack Wolfskin yang memang dirancang untuk medan-medan ekstrim.
Kini tibalah ia di sebuah desa yang terlihat sangat sepi yang hampir seperti hutan, dia harus menyeberang sungai untuk sampai di pemukiman penduduk. Sungai yang alirannya dangkal ini mampu dengan mudah ia seberangi meskipun jelana jeansnya harus basah hingga ke lutut karena cukup susah untuk dilipat. Sepatunya ia lepas dan digantungkan ke leher.
Udara masih sangat terasa sejuk, semilir angin dari pohon-pohon bambu bergesekan membuat riuh suasana, Firman sama sekali tidak menemukan rumah berbahan dasar semen disana. Rumah-rumah masih terbuat dari papan kayu dan bambu yang dianyam. Ia berjalan menyusuri jalanan batu yang tertata rapi, sampai tidak ditemukan lagi bangunan rumah sebab pemukiman penduduk telah habis ia lewati. Hanya kebun-kebun sepi yang kini nampak di sekelilingnya.
Suara-suara serangga hutan menyambut kedatangannya, juga beberapa dedaunan yang saling bergesekan karena tertiup angin semilir. Seseorang terlihat beberapa langkah darinya, Orang yang rupanya seperti lelaki tua tengah sibuk dengan cangkul di tangan untuk menggemburkan tanah di sekitaran kebun singkong. Orang itu menghentikan aktifitasnya ketika menyadari kedatangan Firman. Lalu menatapnya sambil tersenyum ramah.
"Arek ka mana, A?" tanya lelaki tua dengan caping menutupi kepala itu. Ia berbicara dengan bahasa sunda yang artinya 'Mau kemana?'
"Mau ke sanggar, Pak," jawabnya kemudian. Firman sedikit mengerti bahasa sunda lantaran sepanjang pengalamannya di dalam penjara pun ia mempunyai beberapa kawan yang juga berbicara bahasa sunda. Firman kembali membaca catatan alamat pada kertas untuk memastikan panduannya benar. "Maaf, Pak. Bapak tahu Sasana Rajawali?"
Mendengar Firman yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia, lelaki tua itu baru menyadari kalau Firman sepertinya bukan orang sini. Kemudian lelaki tua itu turut mengimbangi bahasanya.
"Oh, tau. Sanggar pencak silat, kan?"
Firman mengangguk bersemangat.
"Masih harus lurus terus mengikuti jalan berbatu ini. Masih jauh... Harusnya kalau ke sana jangan sendirian. Hati-hati suka banyak orang-orang nakal."
"Jadi lurus saja ya, Pak?" tanya Firman memastikan.
"Iya lurus saja, nanti ketemu gapura nya ada di kanan jalan. Hati-hati mas, Orang-orang desa sini nggak pada berani lewat situ karena sepi"
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya jalan dulu. Mari..."
"Hati-hati, Mas."
Firman mengangguk, ia melanjutkan perjalanannya, memang agaknya hanya kebun-kebun warga yang ia lewati dengan jalan setapak dari batu. Saking menikmati perjalanannya kini Firman melihat segerombolan orang tengah duduk di tepian jalan, salah satu dari mereka melihat Firman dan langsung memberitahu yang lain untuk menghadang jalannya. Dengan penampilan Firman yang layaknya orang kota, tentu saja menjadi mangsa yang empuk bagi mereka.
Firman masih tetap berjalan santai tanpa menghiraukan mereka, sampai dia kemudian menyadari bahwa dia mengenal salah satu dari mereka.
"Apa kabar, Jagoan?" kata salah satu dari mereka yang Firman kenali itu.
***