Chereads / Unifier / Chapter 5 - Bernaung

Chapter 5 - Bernaung

Tanpa aba-aba, tanpa direncana, kejahatan ditampakkan tepat di depan mata. Kali ini seolah mengajaknya berlagak. Semesta seakan memberi ujian pertama dalam kebimbangannya menentukan jalan.  Tidak rugi baginya untuk bersikap tidak peduli, namun dorongan besar memaksanya berbuat. Tidak bisa hanya dengan menutup mata atau memaksa diri bergaul dengan kata 'bukan urusanku', Firman sangat membenci orang-orang pengecut. Tidak ada buaya yang menolak diberi bangkai meski sejauh ini Firman berseteru dengan dirinya sendiri. Bersikap masa bodoh bisa seringan mengangkat kapas baginya. Tetapi, layaknya sebuah penebusan, dia tidak ingin melihat orang-orang tersakiti tepat didepan mata.

Keringat kini membanjiri tubuh melambungkan rasa murka yang masih hangat di dalam dada. Kepalan tangan memanaskan kekuatannya sebagai alat penebusan dosa. Ia meringis memperlihatkan urat-urat yang masih gentar. Dia justru tidak akan baik-baik saja jika bersembunyi, setidaknya ia memberi rasa kapok pada tokoh-tokoh antagonis di dunia ini, terlebih dirinya sendiri yang mencoba bangkit dari kubangan keruh masa lalulal

Firman jongkok menarik kerah si preman yang masih mengaduh kesakitan.

"Kalau mau nyari yang lebih, jangan anak sekolah!" Firman menyeringai sambil berbisik

Preman bertampang sangar itu memejamkan matanya tak berani menatap, napasnya masih tersengal-sengal dengan kondisi mulut penuh noda darah.

"Kalung ini harganya nggak seberapa. Kalau mau yang lebih, coba bobol toko emas. Tapi jangan harap habis itu bisa santai di warung sambil makan mie lagi. Lu bisa langsung jalan-jalan ke neraka," kekeh Firman lalu menghempaskan tubuh si preman begitu saja. Beberapa orang yang kebetulan tengah berada di warung itu juga menonton aksinya. Tak ada satupun dari mereka yang menyaksikan berniat melerai. Tak ada yang berani melakukannya. Setelah membereskan si preman, Firman segera pergi. Dia kembali ke halte tempat dimana gadis SMA itu dijambret.

Setibanya di halte, tak ada seorang pun disana. Bahkan ia menunggu hampir satu jam, barangkali gadis itu akan kembali. Sampai pada akhirnya ia menyerah. Mungkin lebih baik lain kali dia kembali lagi. Hari sudah semakin sore, dia harus segera menemukan tempat tinggalnya. Setidaknya tuhan melihat kebaikan yang ia simpan hari ini untuk kemudian menjadi hutang yang harus ia lunasi, Firman harus mengembalikan kalung itu kapanpun waktunya.

Angin sore cukup menghibur untuk menemaninya mencari alamat Kos, Firman menanyakan alamat yang tertulis pada lembar catatan itu ke beberapa supir angkot yang mengantar perjalanannnya. Firman bahkan harus dua kali berganti angkot.

"Benar di sini, Pak?" tanya Firman pada supir angkot yang sudah terlihat renta namun masih gagah menggengam kemudi.

"Iya, Mas. Coba aja tanya sama orang di sekitar sini, saya nggak tau persis tempatnya di mana, kalau alamatnya sih benar daerah sini."

Firman masih duduk di bangku depan kendaraan umum yang dikenal merakyat itu. Ia segera merapihkan tas nya bersiap turun.

"Iya. Makasih, Pak." Sejumlah uang diberikan untuk membayar jasa angkutannya sebelum ia menuruni angkot. Sang supir hanya mengangguk dengan senyum kecil.

Memasuki area pemukiman penduduk, dia menyusuri jalanan aspal dengan pohon jambu yang berjajar disepanjang jalan. Teriakan anak-anak yang tengah bermain menambah suasana komplek itu hidup. Tapi entah mengapa beberapa anak yang melihat keberadaan dirinya langsung lari dan masuk ke dalam rumah masing-masing. Sungguh sesuatu yang aneh disamping sangat menyinggung perasaannya. Jadi begini atmosfer dunia luar beberapa jam setelah kebebasannya. Ia pun berhenti di sebuah warung untuk membeli sebotol air mineral, Seorang ibu pemilik warung agaknya ketakutan. Sosok anak kecil berlari ke arah si ibu, digendongnya anak itu. Semula, bocah kecil itu sedang asyik bermain di luar sebelum ketakutan oleh kehadiran Firman. Tatapan sinis diterimanya dari seorang ibu dan anak itu.

"Kayanya, Mas bukan orang sini ya?" Tanya pemilik warung ragu-ragu.

"Saya lagi nyari alamat ini, Bu." Firman menunjukan kertas catatan alamatnya.

"Oh, itu Kos-Kosannya Pak Bambang, Mas mau ngekos di sana?"

"Iya, Bu." Firman memberikan uang untuk membayar sebotol air minumnya. Diminumnya air itu kemudian.

"Oh, Tadinya saya kira mas orang nyasar, di sini lagi ramai penculikan anak soalnya Mas, kalau ada orang yang nggak dikenal mereka pada takut," jelas pemilik warung sambil memberikan uang kembalian pada Firman.

"Oh" Firman hanya ber'Oh ria  " Kira-kira tempat kosnya jauh nggak bu dari sini?"

"Itu…"

Firman melihat bangunan yang ditunjuk pemilik warung itu. Bangunan dengan warna dinding luarnya perpaduan cat warna kuning dan cokelat, nampak paling sejuk sendiri ditambah sepohon mangga tumbuh di halamannya. Firman berterimakasih kepada pemilik warung. Dia kemudian menghampiri bangunan itu. Jaraknya hanya 10 meter dari warung. Inilah tempat kos yang sudah dipesankan kakaknya itu.

Sebuah gerbang besi bergaya ukiran betawi nampak terkunci dari dalam. Firman sudah berdiri di depannya. Namun ragu untuk masuk. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang dipikirkannya. Kakaknya mungkin sudah bercerita banyak tentang dirinya pada pemilik Kos, Firman takut akan sikap manusia yang berubah ketika tahu akan siapa dirinya. Takut jika orang-orang kemudian mengasingkannya tanpa ingin mendalami peran apa yang sebenarnya ia ingin rubah dan ingin ia jauhi. Namun, tekatnya sudah matang untuk berbaur. Diketuknya pintu gerbang itu.

"Permisi…," ucapnya sedikit keras. Setelah beberapa kali dia mengucapkannya, seseorang datang dari dalam menghampiri dan membuka pintu gerbang, tampak seorang laki-laki setengah baya berbadan tegap menyambutnya dengan senyuman. Beliau adalah Pak Bambang pemilik kos itu.

"Mas Firman, ya?" Laki-laki itu mencoba menebak. Dia sepertinya sudah tahu akan kedatangan Firman.

"Iya benar, Pak." Firman mengangguk.

"Ayo… ayo masuk." Pak Bambang menuntun Firman memasuki rumah kos.

"Sejak siang saya tungguin kok nggak muncul, saya kira nggak dateng hari ini," ujar Pak Bambang mengakrabkan diri. "Mas Firman nggak nyasar kan, mas?"

"Nggak, Pak. Cuma tadi ada beberapa keperluan dulu di jalan," jawab Firman beralasan.

"Mau langsung ke kamarnya atau mau duduk dulu?" tanya Pak Bambang memberi pilihan.

"Langsung aja, Pak." Diambilnya pilihan pertama. Nampaknya dia sudah terlihat lelah untuk sekedar mengobrol.

Kamar-kamar Kos itu berderet rapi berhadap-hadapan, dengan tiga kamar mandi luar yang terletak disudut lorong. Pak Bambang memberikan kunci kamar. Firman segera membuka kamarnya yang hanya dua petak namun nampak sangat rapi dan bersih. Secara teknis sebenarnya kamar kosnya hanya satu petak panjang. Namun ditengahnya ada sekat Triplek Particle Board untuk membaginya menjadi dua ruangan persegi, bilik tidur dan balai. Pak Bambang menjelaskan tentang keperluan dan kebiasaan apa saja yang berlaku di sini. Tak ada tanggapan panjang dari Firman kecuali hanya mengiyakan dan mengangguk. Rasa lelah sudah membuat telinganya tak berfungsi prima untuk menangkap informasi.

"Ya sudah, saya tinggal dulu, ya… Istirahat dulu barangkali capek" Pak Bambang menepuk pundak Firman.

"Makasih, Pak."

Firman meletakkan tas yang dibawanya, dia segera merebahkan diri, memijat kening yang tampaknya tak baik-baik saja. Matanya memejam untuk menghirup bau ruangan yang masih sangat asing. Pikirannya masih ramai ia berusaha meredamnya namun nampak tak satupun pergi untuk mengobati lelahnya. Dia ingin tidur lelap tanpa beban namun nampaknya dunia semurah itu  terus memberinya ujian.

Betapapun riuhnya isi kepalanya, rasa lelah tetap saja mampu menumbuhkan rasa kantuk. Meski butuh waktu lama untuk matanya terpejam dalam lelap. Orang-orang biasa menyebutnya dengan istilah tidur-tidur ayam.

"Kapan rumah kita selesai dibangun, Mas?" Suara seorang wanita menggema di kepalanya. "Aku capek hidup di kontrakan terus."

"Sabar, tunggu uangnya ada."

"Kapan kita hidup enak, mas? Orang tua ku bisa kasih aku banyak kesenangan. Harusnya mas bisa lebih dari mereka."

"Kamu pikir selama ini aku diem aja? Dasar istri nggak bersyukur! Tukang ngeluh!"

"Kamu kerja apa sih sebenarnya!?"

"Kamu nggak perlu tahu, yang penting kita bisa makan!"

Suara-suara riuh terus menggema dalam kepalanya. Firman tak bisa menolak kemunculannya, namun jelas bahwa itu berasal dari masa lalunya. Terdengar juga suara-suara piring pecah, gebrakan meja, tangis bayi, dan jeritan seorang wanita. Kesemuanya itu berasal dari bagian memori diotaknya yang seolah tak sengaja terbuka sendiri melalui mimpi.

Adzan maghrib berkumandang, Firman membuka matanya seraya bangkit dari posisi rebah. Napasnya terengah-engah layaknya orang yang habis lari dikejar setan. Sepertinya tidur di waktu senja bukanlah sesuatu yang elok.

***