Bagai jatuh tertimpa tangga, Dipukul oleh tragedi ganda yang menimpa sekaligus membuat hidup Firman kian nestapa. Pernikahannya runtuh tanpa sempat ucapkan selamat tinggal. Jika memang takdirnya perceraian itu harus terjadi, paling tidak harapannya dia bisa memeluk dan mencium istrinya untuk terakhir kali. Namun, situasi sudah berbeda. Cinta tak lagi seutuh ketika kekalutan ini belum hinggap. Indahnya cinta, kini tak lagi bisa dirasakan. Hanya kerinduan yang bisa dipendam. Cintanya kini sudah lenyap tergusur dosa. Kekecewaan sang istri bisa saja mengubah cinta menjadi kebencian.
Besi putih berjejer rapat di depan si pria malang ini. Batah merah bersusun rapi mengangkasa menutup indahnya kebebasan. Putaran waktu membawanya ke sebuah tempat bangunan sederhana penuh penderitaan. Manusia-manusia berkumpul tanpa sekat, tawa penuh kebohongan mengikik mengisi kehampaan. Delapan bulan setelah perceraiannya dengan istri, membuat Firman tak lagi menghitung mundur hari kebebasannya. Hidupnya seolah berhenti saat itu juga, yang dijalaninya kini hanya sisa-sisa waktu yang tertinggal. Manusia memang tidak pernah bisa hidup tanpa adanya harapan.
Bagaimanapun, ada hari dimana mereka terbang dengan bebasnya keluar dari zona penderitaan. Itulah yang semestinya paling dinantikan oleh semua Nara Pidana. Banyak hal yang terlewatkan
Seakan peradaban telah jauh berlari, sementara mereka tertinggal jauh. Para penghuni Lapas sangat menanti hari kebebasan itu. Tetapi bagi Firman antusiasme itu telah berakhir delapan bulan yang lalu. Meskipun besok adalah hari kekebebasannya.
Malam semakin larut, Firman masih terjaga dengan teman satu selnya, mereka terduduk menyender pada dinding penuh coretan dengan kaki terlipat menikmati obrolan malam mereka. Haikal, teman satu selnya yang usianya lebih tua dari Firman merasa heran melihat wajah murung Firman yang tak seharusnya dipasang di malam terakhirnya tidur dalam kurungan.
"Fir…!" sapa Haikal dengan logat medannya. "Siap buat hari kelulusan besok kau, kan?" Menatap Firman yang sedari tadi diam menikmati kegalauannya, mendengar kata-kata Haikal membuat dirinya harus ditimpuk beban kenyataan pahit lagi.
"Nggak tau, Bang," jawab Firman masih dengan raut wajah layunya. "Rasanya pengen disini saja seumur hidup daripada keluar tapi nggak tau masih bisa jalani hidup apa enggak."
"Kau bisalah hidup normal lagi, masih muda kok." Haikal menepuk bahu Firman. "Kau pikir positif saja lah, kalo nggak kuat ya tinggal ngerampok terus kau balik lagi lah kesini." Haikal terkekeh pelan.
Firman menarik napas dalam mencoba menenangkan pikirannya kembali. Tidak ada situasi yang lebih berat dari pikiran Firman tentang kehidupan setelah dirinya keluar dari penjara, dia hanya takut keluarganya tersiska, dia tidak ingin mendengar kalimat-kalimat kasar yang harus menghukum anggota keluarganya.
"Alamak…, sudahlah. Nah kau dengar baik-baik, buka kuping kau. Meskipun di luar sana situasi berubah, kalau kau nggak ikut berubah juga bakal percuma lah, kau ini sudah jadi beban keluarga, jadi ya sudahlah nikmati saja." Haikal memberi saran lagi. "Atau kalau kau ragu, sini tukar sama aku, aku yang bebas kau yang di sini."
"Takut masyarakat juga nggak mau nerima, Bang," ujar Firman lagi
"Orang lain kau pikirin pulak! Jangan mental krupuk lah…, kau ini ganteng masih muda, bisa nyari kerja, nyari istri lagi, ya minimal ngrubah diri sendiri dulu, ubah pikiran kau diam-diam dimana kek semedi nyari ilham, atau bertapa lah kau ke kampungku di Gunung Sinabung." Haikal memandang Firman dengan tatapan jenakanya.
"Begitu ya, Bang?"
"Iya memang begitu, udah malem tidurlah, nggak usah lah kau pikir istri nikah lagi, do'akan saja semoga suaminya jauh lebih baik sesuai harapan mertuamu itu."
Haikal kini sudah berpindah ke tempat tidurnya, Firman berbaring menatap plafon seolah ingatannya terputar disana. Ingatan yang membuatnya ingin sekali menghentikan bumi dari rotasinya.
Saat itu menjelang tengah malam hujan sangat lebat. Jatuh deras memukul atap berbahan asbes bak kumpulan kerikil yang sengaja di lempar ke atap rumah kontrakan dengan lebar dinding depannya tak lebih dari gawang sepak bola. Riuhnya suara atap membuyarkan lelap tidur seorang bayi. Tangisnya turut membangunkan ibu sang bayi di sisinya. Nadia, istri Firman terbangun menenangkan bayinya, Istrinya juga mencari Firman ke segala penjuru ruangan namun nihil hingga tak lama suara sepeda motor diluar sana membuat gelisah Istrinya buyar.
Firman memarkirkan motor Astrea Grand keluaran tahun 1995 miliknya di depan halaman rumahnya.
Dengan keadaan basah kuyup Firman mengetuk pintu sangat keras berharap istrinya mendengar di dalam sana, tak lama suara langkah kaki mendekati pintu, Firman masih menggiggil dengan kedua tangan yang masuk ke saku jaket meski basah. Tak lama pintu terbuka menampilkan wajah istrinya yang terlihat gelisah.
"Darimana, Mas? Kok jam segini baru pulang?"
Tanpa kata Firman menerobos masuk menuju kamar mandi, membuka bajunya yang basah dan mengelapnya dengan handuk. Sang istri masih membuntutinya berharap Firman akan menjawab pertanyaannya itu.
"Mas! darimana?"
Hening, Firman tampak tak memperdulikan Istrinya, dia masuk kamar membuka lemari pakaiannya. Meraih kaos oblong dan langsung memakainya.
"Ditanya kok diem aja?"
"Lagian orang baru pulang kerja ada-ada aja nanyanya!" jawab Firman meninggikan suara.
"Loh? kenapa? Nggak boleh aku nanya?"
Firman menuju ke dapur, Nadia masih mengekor di belakangnya. Firman membuka tutup saji yang tengkurap di meja makan. Tak didapati sekeping piring pun di sana.
"keterlaluan kamu,Nadia. Suami pulang kerja bukannya disuguhin makanan, ini malah nggak ada apa-apa."
"Mana ada uang, Mas!"
"Kenapa nggak minta?"
"Mas Firman kerja aja aku nggak tau?"
"Kenapa nggak nanya?"
"Mas ini kenapa sih?
'PLAAAKKKK' Sebuah tamparan menghantam pipi Nadia.
"Gimana aku berani nanya kalau selalu berakhir begini!?"
"Buang benda ini kalau nggak ada gunanya!" Firman mengambil kursi di sisi meja makan dan membantingnya ke lantai. Begitu juga dengan tutup sajinya. Dia juga tak segan untuk membalik meja makan yang lebarnya tiga kali lipat dari lebar badannya. hingga kaki mejanya menghadap ke atas. Kemudian dia menuju ke tempat rak piring dan parabotan dapur.
"Barang-barang ini juga nggak ada gunanya!" Dibantingnya piring-piring dan gelas yang tersimpan rapi di rak. Nyaring sekali pecahannya hingga membuat anaknya yang masih bayi menangis keras. Karena begitu kerasnya piring dibanting, serpih pecahannya pun terpental melesat hingga menancap mengenai bagian leher istrinya sampai mengucurkan darah.
Istrinya menjerit kesakitan, ada sedikit rasa bersalah di benak Firman karena tanpa sengaja melukai istrinya. Dia pun segera mendekati istrinya dan mencabut serpihan piring itu dari lehernya. tak lama seorang wanita paruh baya keluar dari kamarnya. Firman terkejut bukan main melihat ibu mertuanya tiba-tiba ada di rumahnya.
"ibu…?"
"Biadab kamu! Suami gila! Jadi ini kelakuan kamu tanpa sepengetahuan saya?" Ibu mertuanya histeris melihat darah mengucur dari leher putrinya. Dirangkulnya Nadia oleh ibunya. Tanpa sadar Firman masih memegangi pecahan piring yang semula menancap pada leher istrinya. Ibu mertuanya menyaksikan hal itu dengan anggapan yang berbeda.
"Kamu mau membunuh istrimu dengan benda itu!?" bentak Ibu mertuanya sambil matanya melotot tajam. Tanpa berkata-kata lagi, Nadia yang masih dalam keadaan lemas karena banyak kehabisan darah diajaknya pergi. Anaknya yang masih bayi pun turut digendong oleh mertuanya.
Tanpa sadar air mata pun menetes, penyesalan terus menjadi-jadi setiap peristiwa itu kembali diingat. Namun kali ini tangisnya sudah tak bisa dibendung. Dalam senyapnya bilik penjara ketika yang lain tengah terlelap, Firman masih harus sibuk mengelap-ngelap pipinya. Apa yang dikatakan oleh temannya benar. Dia harus bisa merubah dirinya sendiri mulai esok. Sejak langkah pertamanya keluar dari gerbang Lapas.