Seumpama secarik tinta tak tergores di kertas putih, mungkin akan selamanya kertas itu putih, sesuatu yang lain mungkin akan menghukumnya dengan kejadian diluar kendali. Firman hanya seorang yang menjajahi dunia ini dengan jalannya sendiri. Berakhir di ruang penjara adalah hukumannya ketika membuat dunia sekitarnya gundah dan tampak tak selaras dengan apa yang sudah menjadi batas etika wajarnya seorang manusia.
Rasa bersalah mengelitiknya selama 3 tahun lebih berada dalam kurungan penjara. Tubuh kurus dengan mata kuyu yang diam-diam menyimpan ambisi untuk cepat bebas dari hukuman, serta tangan dengan banyak memar akibat mengayun tinju pada dinding untuk melampiaskan emosinya. Firman sudah terlanjur menenggelamkan diri menikmati segala hukuman Tuhan pada dirinya sebagai penebusan dosa yang nampak.
Ruang loket pembuatan surat izin berkunjung lapas terlihat sepi, hanya petugas lapas tengah fokus mengetik sesuatu di depan layar komputer tabung, seorang wanita setengah baya datang mengetuk kaca.
"Mau membuat surat kunjung, Bu?" tanya petugas lapas yang hanya dijawab dengan anggukan.
"Atas nama siapa?" tanya petugas lapas lagi
"Firman Nur Hasan."
"Firman… Firman…," gumam petugas lapas seraya telunjuknya mencari-cari nama Firman pada lembar kertas berisi daftar penghuni Lapas. "23 tahun? benarkah, Bu?" Tanya petugas lapas lagi
"Iya, benar."
"Sedang ada orang yang berkunjung, Bu. batas kunjungannya sudah habis. Jadi, mohon maaf. Silakan Ibu datang lagi lusa."
Tanpa pikir panjang wanita itu merogoh kantong tasnya, mengeluarkan amplop lantas menaruhnya diatas meja petugas lapas.
"Lho? apa ini bu?" Tanya petugas lapas heran meski terlepas dari pikiran mengetahui seluk beluk ketika amplop sudah berbicara di depan mata.
"Tolong, Pak, Saya nggak punya waktu buat besok-besok lagi, jadi, tolong buatkan saja surat izin kunjung, ada kepentingan mendesak."
Petugas lapas sedikit melirik isi di dalam amplop, tak berlangsung lama petugas langsung mengetikkan sesuatu dan meminta KTP wanita itu, obrolan singkat berlangsung disana, tampak petugas lapas yang mulai mengakrabi wanita itu dengan sedikit memberi peluang kelegaan pada dirinya kalau dia hari ini hanya niat membantu orang lain walau dengan cara yang salah.
Mata kuyu itu masih saja kaku, atmosfir beku menggilai di setiap sudut ruangan, Firman pasrah atas apa yang dilihatnya saat ini, jika saja rasa malunya tak tertutup dia sudah sujud dikaki wanita yang kini sudah duduk di depannya. Tak pernah terlintas dibenak Firman kalau mantan mertuanya itu akan mengunjunginya dengan kepala dingin.
"Bagaimana kabarnya, Bu?" Tanya Firman hati-hati. Dia dibuat sesopan mungkin untuk menyambut kedatangan orang yang sudah melahirkan putri yang pernah dicintainya itu.
"Saya harus membuang uang banyak untuk datang ke ruangan ini, kapan kamu memberi uang lebih buat anak saya? kamu bahkan membuat anak saya nelangsa tiap hari sejak hidup sama kamu."
"Saya nggak pernah nelantarkan anak istri saya, Bu," jawab Firman dengan yakin.
"Kerja serabutan memang cukup buat biaya persalinan!? Kamu ngerti apa sih? Kelakuan nggak bener cuma bikin anak orang susah!" nampak mata wanita itu berkaca-kaca, sikap tenangnya sudah tidak bisa lagi dipertahankan.
"Kamu nggak punya otak apa? anak saya yang banyak nanggung bebannya !, coba dulu Nadia nggak ketemu orang macem kamu, dia sudah bahagia dengan yang lebih mapan, menikahi laki-laki yang kelakuannya nggak bejat kaya kamu," penuh nada penekanan diucapan wanita itu.
"Saya bukan orang baik. Maaf, Bu." Jawab Firman sekenanya.
"Orang baik nggak pernah bilang dirinya baik," jawab wanita itu kesal.
"Saya tahu Ibu nggak pernah merestui hubungan kami dulu, Ibu jijik dengan saya, Ibu selalu merendahkan harga diri saya sebagai seorang ayah. tapi, sama sekali saya nggak pernah menelantarkan anak istri saya sekalipun, tetangga selalu bilang kalau saya hanya sedang bertarung dengan do'a orang tua yang salah"
"Kamu mikir cerai gara-gara saya? itu kelakuanmu sendiri."
"Saya sudah siap menerima konsekwensinya semenjak laporan pertama Ibu kepada kepolisian. Saya emang mukul anak Ibu, nampar dia diluar kendali sampai menangis. Meski begitu, saya selalu minta maaf setelahnya."
"Menghasilkan uang, bukan minta maaf! pikiran bocahmu itu yang kurangajar!"
Firman hanya bisa diam, ia tidak lagi bisa menanggapi.
"Nadia akan menikah lagi secepatnya. Jadi, tolong! Akta cerai sudah sah! nggak usah ganggu-ganggu kehidupan anak saya. Dia mau ngembaliin cincin kawin ini sama kamu." Wanita itu mengambil Cincin dari dalam tasnya menaruhnya di meja.
Firman bergeming, pikirannya melayang akan anaknya, khawatir juga perasaan bersalah yang mencengkeram kepalanya hingga terasa sakit. Cincin yang ada ditelapak tangannya kini sudah tak berharga lagi, seperti sampah yang terinjak-injak, sudah tidak ada rasa semuanya nampak mati.
"Kenapa tidak dijual saja, Bu? uangnya bisa dipakai keperluan anak sa..."
"...memang istrimu mau jual ini?" potong mantan mertuanya itu. "Wira cucu saya. Saya neneknya, saya yang akan mengurus hidupnya."
Firman tertunduk dalam diam.
"Lebih baik buat bekal nyambung hidup kamu setelah keluar dari sini daripada dimakan cucu saya," Wanita itu lekas berdiri, ia buru-buru pergi dari ruangan itu. Firman hanya diam membiarkan mencerna apa saja yang membuatnya kalut hari ini, ingin cepat pulang dan memperbaiki hidupnya kembali.
Tak ada lagi kekuatan baginya untuk memendam rasa sakitnya sendiri. Tiba-tiba teriakan kekesalan keluar dari mulutnya ketika sang mantan mertua sudah menghilang dari pandangan. Dia meraung-raung untuk sesaat kemudian menangis sesal hingga lengkingan suaranya memancing perhatian beberapa petugas lapas yang berjaga di tiap sudut ruangan.
"Hey! Brisik!" seru petugas lapas mendekatinya. Ditamparnya pipi Firman berulang kali. "Lancang kamu!" seorang petugas lainnya memukul perut Firman hingga tergeletak tak berdaya. Ditariknya tubuh lemah Firman kembali ke selnya secara paksa. Dalam situasi serba kalut itu, tanpa sadar membuat cincinnya terjatuh ke lantai.