Tangan Bu Faustina Tokwin terangkat naik dan hendak mendarat ke wajah Natsumi Kyoko lagi ketika Natsumi Kyoko sekonyong-konyong menutupi kedua telinganya dan ia menjerit melengking tinggi. Terhenyak bukan main ayah ibunya, bibinya dan adiknya yang berada di ruang tamu tersebut.
"Kau… Kau… Kau… Kau sungguh telah menjadi anak yang pembangkang, Natsumi…" Kali ini, volume teriakan si ibu menjadi turun beberapa level.
"Sudahlah, Faustina…" tegur Keiko Suzuki dengan lembut.
"Sudahlah, Faustina… Biarkan Natsumi beristirahat malam ini. Besok pagi baru dibicarakan lagi…" sambung Kendo Suzuki.
"Dia telah menjadi anak yang rusak dan pembangkang, Kendo. Dia tidak lagi mau menuruti semua perkataan orang tua. Ke depannya, dia akan terus-terusan melawan kita…" Terlihat Faustina Tokwin berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. Ia menjatuhkan dirinya ke sofa di belakangnya.
Natsumi Kyoko berpaling begitu saja. Ia tidak ingin berada di ruang tamu itu lebih lama lagi. Ia segera ambil langkah seribu ke dalam kamarnya. Tampak jelas kedua matanya berkaca-kaca dan ia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh.
Ciciyo Suzuki hanya bisa mendengus lirih seraya menggigit bibir bawahnya. Kendo Suzuki dan Keiko Suzuki hanya bisa saling berpandangan sesaat sembari tersenyum kecut terhadap satu sama lain.
Malam itu, segelintir gundah gulana menggeliat dan menggeligit kuncup pikiran seluruh keluarga Suzuki.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit. Keiko Suzuki mengetahui abangnya dan saudara iparnya sudah tidur di dalam kamar mereka. Dia memutuskan untuk masuk sebentar ke kamar keponakannya dan mengobrol ringan dengan gadis itu. Sudah bisa dibilang Natsumi Kyoko sudah beranjak memasuki dunia kedewasaan. Ditampar dan diteriaki seperti tadi di ruang tamu oleh ibunya sendiri tentu sangat menyakitkan bagi anak perempuan itu. Keiko Suzuki memutuskan untuk mengobrol ringan sebentar dengan anak perempuan itu.
"Kau belum tidur, Natsumi? Apakah aku mengganggu?" tanya Keiko Suzuki dengan sebersit senyuman lembut sembari berdiri di ambang pintu kamar sang keponakan.
"Belum, Bibi… Masuk saja, Bi…" Natsumi Kyoko sudah mandi dan memakai piama warna pink dengan polkadot putih. Dia duduk di atas tempat tidurnya seraya tersenyum lemah lembut kepada bibinya yang sudah sekian lama menikah dan tinggal di Jepang.
Keiko Suzuki juga duduk di atas tempat tidur sang keponakan. Dia memandangi sang keponakan tanpa berkedip, masih dengan sebersit senyuman lemah lembut yang sama. Dia membelai-belai wajah sang keponakan, memindahkan sebagian rambut bagian depan di wajah sang keponakan.
"Apa masih sakit?" tanya Keiko Suzuki sangat lembut.
Dengan sebersit senyuman kecut, Natsumi Kyoko menggeleng lirih.
"Aku sudah terbiasa dengan itu semua, Bi. Semua yang Bibi saksikan di ruang tamu tadi sudah menjadi makananku sehari-hari, makanan Ciciyo juga, semenjak kami kecil sampai sekarang. Salah sedikit saja, hukumannya akan berlipat ganda dan kadang tidak manusiawi seperti yang Bibi saksikan tadi."
"Memang kadang ibu kalian tidak tahu bagaimana cara menunjukkan cinta dan kasih sayangnya kepada kalian, Natsumi. Tapi percayalah pada Bibi… Semua ibu di dunia ini pasti mencintai anak mereka sendiri. Tidak ada ibu yang tidak mencintai anak mereka sendiri, Natsumi…"
"Mungkin ibuku akan menjadi satu pengecualian, Bi…" desis Natsumi Kyoko lirih dengan sedikit sorot mata menerawang.
"Masing-masing ibu memiliki cara mencintai yang berbeda, Natsumi. Ketika kau sudah menjadi ibu nanti, kau akan mengerti bagaimana posisi dan perasaan ibumu sekarang." Senyuman kecut penuh naluri keibuan tampak bertengger di wajah Keiko Suzuki.
"Ketika aku sudah menjadi ibu nanti, aku tak ingin mengikuti cara pengajaran ibuku sekarang, Bi. Aku tidak ingin anak-anakku menderita. Aku tidak ingin anak-anakku nanti merasakan apa yang kurasakan sekarang."
"Ya… Kau berhak menerapkan cinta, kasih sayang dan cara pengajaranmu sendiri, Natsumi." Terlihat Keiko Suzuki sedikit mengulum senyumannya.
Natsumi Kyoko sedikit menundukkan kepalanya, tersipu malu. Keiko Suzuki memutuskan untuk sedikit mengalihkan topik pembicaraan mereka sehingga rasa sakit, kesal, dan marah Natsumi Kyoko atas apa yang terjadi di ruang tamu tadi akan sedikit teralihkan.
"Sudah sampai membicarakan topik menjadi ibu segala ya… Di Jepang sana, gadis seusiamu sekarang sudah ada beberapa yang menjadi ibu loh, Natsumi… Kau sudah memiliki calon?" tanya Keiko Suzuki lemah lembut.
Natsumi Kyoko belum bisa bercerita segala sesuatu yang berhubungan dengan Maxy Junior sekarang. Dia tidak mungkin bercerita bisa jadi ia telah jatuh cinta pada seorang lelaki player, yang memiliki segudang koleksi perempuan-perempuan yang sudah dijamah dan ditidurinya, yang tadi siang baru saja menyatakan perasaan terhadapnya, tetapi belum bisa diterima oleh Natsumi Kyoko karena masih terlalu sakit hati melihat foto-foto petualangan lelaki itu di masa lampau, dan sakit hati gara-gara lelaki itu tidak bisa mengingat kapan dan di mana ia telah mengambil ciuman pertama Natsumi Kyoko.
Natsumi Kyoko hanya bisa menggeleng sembari menundukkan kepalanya, masih sedikit tersipu malu.
"Kau begitu lemah lembut, pintar, dan cantik. Tadi Bibi mengira kau sudah memiliki seorang calon dan kini kalian tengah menjalin hubungan yang serius."
"Belum ada, Bi… Aku masih kecil dan aku ingin tamat SMA dulu baru memikirkan soal pacaran, menikah dan berkeluarga…" Natsumi Kyoko masih terlihat sedikit menundukkan kepalanya seraya tersenyum tersipu malu.
"Dulu ketika kau lahir, Bibi pernah membawamu ke kuil yang ada di Bekasi sana. Kata si cenayang itu, kau bisa menikah muda dan jadi seorang ibu muda, Natsumi."
Natsumi Kyoko kini mengangkat kepalanya. Dia memandangi bibinya dengan sinar mata penasaran.
"Oh ya…? Bibi selama ini tidak pernah cerita…"
"Justru itulah sekarang Bibi menyempatkan diri cerita kepadamu. Selama ini Bibi sibuk bantu suami mengurus perusahaan kami di Kyoto sana. Baru tahun ini, ketika anak sudah dewasa semua, sudah bisa ikut terjun ke perusahaan membantu ayah mereka, Bibi baru sempat ke Indonesia lagi dan menengok kalian. Ini Bibi baru ada kesempatan menceritakan soal ramalan waktu itu kepadamu."
"Oke… Bibi boleh menceritakannya sekarang. Aku menjadi penasaran… Kenapa si cenayang itu mengatakan aku bisa menjadi seorang ibu muda ya?" Natsumi Kyoko mulai memasang telinganya baik-baik.