"Iya loh… Si cenayang itu meramalkan kau bisa menjadi seorang ibu muda. Masa kecil masa remajamu akan dipenuhi dengan sedikit tekanan. Akan tetapi, setelah kau menikah nanti hidupmu akan terasa lebih mudah."
"Dan takkan dipenuhi dengan tekanan lagi? Bukankah menjadi seorang ibu muda itu tekanan, beban dan kerjaannya itu menjadi semakin banyak?" Natsumi Kyoko sedikit mengernyitkan dahinya.
"Bisa jadi nanti suamimu orang kaya… Kau akan bisa menggaji banyak pembantu dan babysitter untuk bantu menjaga anak-anakmu, Natsumi. Namanya hidup… Apa pun bisa terjadi, Natsumi…" Keiko Suzuki tampak mengulum senyumannya.
Natsumi Kyoko tergelak sejenak.
"Oke… Mulai hari ini aku akan berdoa agar ramalan itu bisa menjadi kenyataan, Bi…" Senyuman cerah kini merekah dan mendekorasi wajah Natsumi Kyoko yang cantik jelita.
"Ramalan, Natsumi… Boleh dipercaya, boleh tidak… Apa pun pilihan dan keputusanmu kelak, Bibi akan selalu mendukungmu. Ingatlah itu…" Keiko Suzuki meletakkan tangannya di atas tangan sang keponakan dan meremasnya lembut.
"Thanks very much, Bi…" Natsumi Kyoko masih menampilkan senyuman cerahnya.
"Sempat tadi Bibi mengira kau benaran sudah ada calon dan sebentar lagi kau akan menikah. Dengan demikian, terbukti bahwa ramalan itu tidak meleset."
"Bibi begitu mempercayai ramalan itu ya?"
"Tentu saja… Bibi berharap ramalan itu menjadi kenyataan, Natsumi. Beban hidupmu akan berkurang setelah kau menjadi seorang ibu muda. Siapa coba di dunia ini yang tidak menginginkan kehidupan yang seperti itu?"
Natsumi Kyoko menundukkan kepalanya lagi. Sekonyong-konyong bayangan Maxy Junior berkelebat dalam kepalanya. Mendadak saja Natsumi Kyoko jadi membayangkan dialah yang nantinya akan menikah dengan sang pangeran tampan. Mereka akan hidup berkeluarga dan memiliki beberapa anak yang lucu-lucu. Akan tetapi, dengan cepat Natsumi Kyoko menepiskan bayangan tersebut.
"Mana itu ya si anak laki-laki yang waktu kau kecil pernah main ke sini?" Pertanyaan sang bibi kini membuat kedua alis Natsumi Kyoko sedikit terangkat dan alisnya sedikit berkerut.
"Anak laki-laki yang pernah main ke sini? Ke rumah ini? Adakah itu? Maksud Bibi Bang Shunsuke ya?"
"Bukan Shunsuke dong… Shunsuke ya Bibi tahu adalah abang angkat kalian dan sudah tinggal di sini selama bertahun-tahun bukan? Ini ada satu anak laki-laki yang pernah main ke sini ketika kau masih kecil. Kau sekitaran tiga tahun waktu itu. Pernahkah dia mampir ke sini lagi selama belasan tahun ini?"
Natsumi Kyoko menggelengkan kepalanya dengan lembut, masih dengan dahi yang sedikit berkerut.
"Perasaan tidak ada deh, Bi. Anak laki-laki yang bagaimana? Kami yah tiga orang saja di sini… Jarang ada teman luar kami yang pernah main ke sini. Setiap hari kami harusnya belajar dan belajar – mengerjakan banyak PR beserta menghadiri kelas les yang banyak beragam."
"Waktu itu Bibi sempat tinggal di sini selama satu atau dua minggu sebelum balik ke Jepang. Kira-kira dia lebih tua darimu itu satu atau dua tahun begitu."
Apakah itu adalah Maxy Junior…? Tidak… Tidak… Tidak mungkin… Aku baru saja mengenalnya di pub di Bogor itu sebulan belakangan ini. Aduh, Natsumi… Natsumi… Jangan segala sesuatu itu dikait-kaitkan dengan Maxy Junior deh… Ada apa sih denganmu? Hati nurani Natsumi Kyoko mulai berteriak.
Keiko Suzuki perlahan mulai menjelungkap sebuah kisah mengenai si anak laki-laki yang pernah main ke rumah besar keluarga Suzuki belasan tahun yang lampau. Natsumi Kyoko mendengarkan dengan penuh minat. Dia menjadi penasaran. Siapakah anak laki-laki yang pernah main ke rumahnya, yang menurut sang bibi mereka sempat dekat dan bermain satu sama lain ketika ia masih kecil?
***
Tentu saja Kendo Suzuki tidak bisa tidur malam itu. Sementara istrinya terlihat sudah terlelap di sampingnya, pikiran Kendo Suzuki masih berputar-putar dan kembali ke masa-masa silam ketika anak-anaknya masih kecil. Kala itu Natsumi Kyoko berusia tiga tahun sedangkan Ciciyo Suzuki masih berusia satu tahun.
"Apakah ini yang namanya Mary Juniar?" Kendo Suzuki meraih Mary Juniar yang masih kecil ke dalam pangkuannya. Dia memangku dan kemudian menggendong anak itu.
Mary Juniar yang masih kecil tentu saja senang digendong dan dimanjakan seperti itu. Dalam gendongan ayahnya, dia tertawa manja dan terlihat ia sangat menikmati gendongan tersebut.
"Maafkan aku, Kendo… Aku tidak bisa membawa Martin ke sini juga. Aku takut nanti Nicholas bisa curiga. Aku alasan ke Jakarta ingin menemui rekan bisnis dan bernegosiasi. Kenapa mesti pula kan aku harus membawa kedua anakku untuk pertemuan bisnis?" Liana Fransisca sedikit menggeliat, sedikit merasa tidak enak hati kepada lelaki selingkuhannya.
"Iya… Aku mengerti…" Kendo Suzuki mengangguk dengan rasa haru yang kian menggelimuni padang sanubarinya. Tampak Mary Juniar kini bergelayut manja dalam gendongannya. Berkali-kali dia mendaratkan ciuman ke wajah anak itu yang membuat anak itu tertawa geli.
Rasa haru masih menggelimuni padang sanubari hati Kendo Suzuki. Kini ia memiliki empat orang anak dari dua istri yang berbeda. Kelak dua dari keempat anaknya takkan tahu dia adalah ayah kandung mereka. Kelak dua dari keempat anaknya mungkin saja akan mengenali laki-laki lain sebagai ayah mereka. Ya Tuhan… Kenapa semuanya mesti serumit nan sekompleks ini? Tidak bisakah ia langsung mengakui Liana Fransisca Sudiyanti ini sebagai istrinya saja sehingga ia bisa mengakui Mary Juniar dan Martin Jeremy sebagai anaknya?
Tatapan mata Kendo Suzuki tertuju pada seorang anak laki-laki yang juga ikut datang bersama Liana Fransisca Sudiyanti. Kini tampak anak itu bermain-main dengan mainan-mainan yang telah ia persiapkan di ruang tamu rumah besarnya.
"Anak itu… Anak itu…" Kendo Suzuki menyipitkan matanya. Ia sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya supaya istri selingkuhannya itu yang meneruskannya.
"Dia bukan anakmu, bukan anak Nicholas dan juga bukan anakku. Aku terpaksa membawanya pulang, dan akan membesarkannya sebagai anak Nicholas dan aku." Liana Fransisca berhenti hanya sampai di sana. Dia tidak ingin meneruskannya lebih lanjut.
"Kenapa? Ada rahasia yang tidak aku ketahui?" Kendo Suzuki masih terlihat menyipitkan matanya. Ia kini melepaskan gendongannya kepada Mary Juniar sehingga anak perempuan itu bisa ikut bergabung main dengan saudara-saudarinya yang lain.
Liana Fransisca hanya menganggukkan kepalanya ala kadarnya.
"Maafkan aku, Kendo… Untuk saat ini, aku tidak bisa mengatakannya kepadamu dulu. Tunggu sampai di saat kita sudah bisa resmi bersama, kita sudah bisa mengumumkan hubungan ini tanpa perlu menutup-nutupinya seperti ini lagi, aku pasti akan menceritakan semuanya kepadamu. Aku janji…"
Kendo Suzuki mengangguk mantap. Dia kini menatap anak-anak itu bermain-main dan saling kongsi mainan-mainan yang ada di ruang tamu rumah besarnya.
"Apakah rahasia anak laki-laki ini ada kaitannya dengan pekerjaanmu dulu di Greenland?"
"Iya… Begitulah…" jawab Liana Fransisca singkat, jelas, padat berisi. Kendo Suzuki mengambil beberapa langkah ke depan dan dia setengah berlutut supaya bisa melihat wajah anak lelaki itu dengan lebih jelas lagi.
"Berapa usianya sekarang, Liana?"
"Sebenarnya dia sudah berusia delapan tahun. Namun berdasarkan akta lahirnya, dia itu masih berusia empat tahun. Kau sendiri tidak bisa menebak usianya bukan jika kau hanya memperhatikannya dari penampilan luarnya begini?" tanya Liana Fransisca untuk memastikan sekali lagi bahwa akal-akalannya takkan ketahuan begitu mudah.