"Jadi pernah ada kejadian seperti itu ketika aku masih kecil, Bi?" Natsumi Kyoko secara tidak sadar menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.
"Sayangnya waktu itu Bibi lupa menanyakan siapa nama anak lelaki itu pada ayahmu. Mau bertanya sekarang entah ayahmu masih ingat tidak ya dengan suatu kejadian yang sudah lama sekali…" Keiko Suzuki tampak tenggelam dalam pemikirannya yang begitu dilematis.
"Tidak usah ditanyakan, Bi… Malu aku jadinya…" Natsumi Kyoko menundukkan kepalanya seraya tersipu malu.
"Kenapa harus malu? Bisa jadi anak laki-laki itu adalah jodohmu, yang akan menjadi ayah dari anak-anakmu kelak, dan yang akan sedikit mengurangi beban pikiran dan beban hidupmu setelah kau menjadi ibu muda nanti." Keiko Suzuki masih terlihat mengulum senyumannya.
"Malu aku, Bi… Sungguh aku tidak menyangka aku bisa mencium pipi seorang anak laki-laki di saat usiaku masih tiga tahun pada waktu itu." Tidak bisa menahan malu, Natsumi Kyoko hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Keiko Suzuki tergelak sejenak.
"Cinta, jodoh, takdir, dan nasib itu menurut Bibi sama saja, Natsumi – sama-sama tidak bisa ditebak. Jalanilah apa yang ada, Natsumi. Bibi menceritakan ini bukan berarti menyuruhmu menyesuaikan diri dan jalan hidupmu dengan ramalan itu. Bukan, Natsumi… Hanya saja, sebagai penyemangat dan motivasi bagimu karena tetap akan ada hari-hari terang dalam kehidupanmu kelak."
Natsumi Kyoko kembali memancarkan senyuman cerah nan lemah lembut dari wajahnya.
Malam itu dia tidur dengan membawa kenangan manis yang bersumber dari cerita sang bibi. Sekonyong-konyong lagi, pertanyaan itu serta-merta menyelinap ke dalam kesadaran tingkat kedelapannya. Apakah anak laki-laki itu adalah Maxy Junior? Kembali Natsumi Kyoko menepis jauh-jauh kemungkinan tersebut. Dia merasa dia hanya bermimpi dan terlalu menginginkan Maxy Junior sehingga ada apa-apa yang dijumpainya, semuanya dikait-kaitkan dengan Maxy Junior.
Akan tetapi, lagi-lagi pertanyaan 'Apakah anak laki-laki itu adalah Maxy Junior?' yang membuat Natsumi Kyoko terus terjaga hampir sepanjang malam. Kira-kira menjelang jam tiga subuh, Natsumi Kyoko baru bisa sepenuhnya terlelap.
***
Pagi yang cukup berawan meski matahari masih menampakkan diri sebagian di ufuk timur…
Natsumi Kyoko bangun dalam keadaan diam, membisu seribu bahasa, sunyi senyap dan sama sekali tidak menyapa ayah ibunya di ruang makan. Baru saja Faustina Tokwin ingin memarahinya lagi ketika tangan Keiko Suzuki meremas lembut tangan wanita setengah baya itu dan memberikannya isyarat mata untuk tidak memprovokasi Natsumi Kyoko terlebih dahulu. Biarlah segala api emosi padam dulu sehingga apa pun itu persoalannya akan bisa dengan mudah dibicarakan di waktu selanjutnya.
Natsumi Kyoko sarapan seperti biasa. Dia makan dalam diam. Ketika siap, dia membawa piring dan gelas kotor ke ruangan dapur. Dia keluar lagi dari dapur dan langsung berjalan ke arah pintu depan begitu saja. Ciciyo Suzuki memperhatikan kakak perempuannya dan tahu bahwa permasalahan kemarin tentunya akan berlanjut lagi malam ini. Ciciyo Suzuki diam-diam juga menghela napas panjang sambil menghabiskan sarapannya.
Di kelas, Natsumi Kyoko juga tidak berbicara sama sekali dengan sang pangeran tampan yang duduk di sebelahnya. Meski dia ingin sekali bercengkerama dengan si lelaki player pada detik itu juga, ia berusaha sekuat tenaga meredam keinginan itu. Dia takkan mengajak Maxy Junior bicara sebelum laki-laki itu bisa mengingat kapan dan di mana ia telah mengambil ciuman pertamanya.
Maxy Junior tersiksa lahir dan batin bukan main. Dari les pertama hingga les ketiga, tentu saja sang pangeran tampan tidak berkonsentrasi mengikuti pelajaran. Kemuncak kegelisahan kian menyelangkupi; kelumun keresahan kian menggeligit.
"Belum selesai rupanya persoalan 'ciuman pertama' itu…" kata Thobie Chiawan saat jam istirahat pertama sepeninggal Natsumi Kyoko dan Maxy Junior yang meninggalkan ruangan kelas. Mereka akan izin pada les pelajaran kelima dan keenam karena upacara pelantikan para pengurus OSIS yang baru akan diadakan dalam kurun waktu tersebut di auditorium sekolah.
"Sudah pasti… Maxy Junior nelangsa banget lihat tuh… Tidak pernah aku lihat dia seperti ini sebelumnya deh… Dia benaran kali ini telah bertemu dengan gadis yang menjadi jodohnya dan dia benar-benar takluk…" sambung Rodrigo Wisanto.
"Melihatnya dalam kondisi demikian – bukannya aku tidak setia kawan atau apa ya – bersyukur aku karena aku tidak mengalami kondisi yang serupa dengannya. Untung selama ini tidak ada cewek yang bisa membuatku seperti apa yang telah dilakukan oleh Natsumi Kyoko terhadap Maxy Junior. Amit-amit…" desah Verek Felix sedikit bergidik.
"Tunggu sampai kau sendiri juga bertemu dengan soulmate-mu, Verek… Aku sendiri tidak berani berkata banyak karena sejauh ini aku belum pernah jatuh cinta…" tukas Saddam Demetrio sedikit tergelak.
"Tidak akan… Setidaknya dalam waktu dekat ini... Aku masih ingin bersenang-senang dan tidak ingin terikat dengan apa pun dan dengan siapa pun," sahut Verek Felix dengan penuh percaya diri.
"Benaran aku berharap kau akan segera bertemu dengan cewek yang bisa menaklukkanmu dalam waktu dekat ini, Verek. Biar kaurasakan sedikit apa yang dirasakan oleh Maxy Junior saat ini." Thobie Chiawan merangkupkan kedua tangan di depan dada seolah-olah ia sedang berdoa.
"Amit-amit! Hei! Tolong jangan mendoakan yang tidak-tidak untukku dong! Tidak bisa kubayangkan deh hari-hariku akan seperti hari-hari Maxy Junior – hanya memikirkan seorang cewek siang dan malam, memikirkan bagaimana membuat si cewek senang dan bahagia, nelangsa siang dan malam apabila si cewek marahan sama aku dan terus memikirkan caranya untuk berbaikan dengan si cewek – hanya gara-gara persoalan sepele seperti ciuman pertama." Verek Felix mendengus ringan dan tersenyum lega penuh rasa syukur.
"Iya… Heran aku deh… Kenapa Natsumi Kyoko bisa getol mementingkan ciuman pertama itu ya?" Rodrigo Wisanto juga terlihat bertanya-tanya. "Hanya sebuah ciuman… Apa pentingnya itu?"
"Mungkin yang dipentingkan oleh Natsumi Kyoko bukanlah ciuman itu sendiri, melainkan makna cinta dan kebersamaannya dengan Maxy Junior di kala itu sehingga ciuman pertama itu bisa terjadi. Aku rasa begitu ya…" sahut Saddam Demetrio.
"Kenapa kau bisa berpikir begitu? Apa kau pernah bertemu dengan seorang cewek yang terus mendesakmu mengingat ciuman pertamamu dengannya, Dam?" kata Thobie Chiawan sedikit mencibir dan menyeringai nakal.
Saddam Demetrio meledak dalam tawa renyahnya. "Tidak pernah… Hanya saja beberapa hari lalu aku ada menguping pembicaraan Sean Jauhari dengan teman-temannya di kafe sebelah sekolah ini soal ciuman pertamanya dengan ceweknya si Kimberly Phandana itu. Kimberly Phandana juga pernah ngambek berat sama dia karena dia sempat tidak bisa mengingat kapan ciuman pertama mereka terjadi. Begitulah…"
"Dan mereka akhirnya berbaikan kembali setelah Sean Jauhari ini bisa mengingat kembali kapan dan bagaimana ciuman pertama mereka terjadi." Rodrigo Wisanto mendengus ringan dan tersenyum skeptis.
"Begitulah… Aku rasa Natsumi Kyoko dan Kimberly Phandana itu tak jauh-jauh beda deh… Ciuman pertama mereka itu begitu penting bagi mereka karena itu menjadi sebuah kenangan cinta dan kebersamaan mereka dengan lelaki yang sungguh-sungguh mereka sayangi dan cintai." Saddam Demetrio menambahkan lagi.
"Jadi sebenarnya Natsumi Kyoko itu… dia itu…" Verek Felix sedikit membesarkan matanya.
"Tentu saja, Verek… Natsumi Kyoko itu sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama terhadap Maxy Junior. Hanya saja jati diri Maxy Junior yang sudah terkenal sebagai lelaki fuckboy itulah yang membuatnya masih ragu dan takut." Saddam Demetrio mengakhiri narasi dan penjelasannya.
"Mendadak aku jadi percaya dengan karma deh. Apakah ini adalah karma dari Maxy Junior karena dia sering merenggut keperawanan anak gadis orang selama ini?" Verek Felix terlihat menelan ludah.
Ketiga temannya membisu seribu bahasa. Keempat sahabat itu sebenarnya juga takut terhadap karma masing-masing.
Sekerjap kekhawatiran menggeliat ke dalam padang sanubari keempat sahabat itu.