Vindy Tjendera duduk di pangkuan Shunsuke Suzuki. Dengan sekali hentak saja, batang kejantanan Shunsuke Suzuki segera masuk ke dalam labirin kehangatannya. Mendesahlah Vindy Tjendera ketika dia sendiri mulai bergerak naik turun di pangkuan gairah Shunsuke Suzuki. Mereka masih melanjutkan permainan cinta mereka dengan gerakan memompa dalam tingkat kecepatan yang menengah.
"Enak sekali… Bagaimana kau bisa sehebat ini, Shunsuke?" desah Vindy Tjendera di sela-sela gerakan memompanya. Ia setengah berpaling ke belakang dan meraih bibir seksi menggoda Shunsuke Suzuki dengan bibirnya sendiri.
Shunsuke Suzuki hanya meledak dalam tawa ringannya. Dia masih menggerakkan pinggulnya ke atas dan ke bawah secara lembut dan berirama.
"Apakah aku hebat? Kalau begitu, kau ingin meneruskan dua tiga ronde lagi bersamaku sehabis ini?"
"Mungkin iya…" desah Vindy Tjendera terus-menerus. "Oh, nikmatnya, Shunsuke… Shunsuke… Bawa aku ke surga, Sayang…"
Gerakan memompa terus berlanjut hingga sepuluh sampai lima belas menit ke depan. Ketika klimaks terasa semakin mendekat, gerakan memompa semakin dan semakin cepat. Vindy Tjendera yang pertama kali menegang dan menggelungkan kepalanya ke belakang. Shunsuke Suzuki menyusul satu menit kemudian dengan menyemburkan sari-sari vitalnya ke dalam kondom yang tengah dikenakannya. Karena ini sudah ronde yang keempat, sari-sari vital yang disemburkannya tentu saja tidak lagi sebanyak ronde-ronde yang sebelumnya.
Kondom dibuang ke tong sampah. Permainan selesai. Mereka perlu berbaring dan merebahkan diri dulu untuk beberapa menit ke depan sampai gairah naik lagi dan mereka akan meneruskan permainan ke ronde yang selanjutnya.
"Apa yang dibilang oleh Mary Juniar kepadamu? Apakah ia bilang secara terus terang bahwasanya aku sedang menunggumu di hotel ini untuk berkencan?" tanya Vindy Tjendera penasaran.
"Iya… Dia memperlihatkan fotomu padaku. Aku melihatmu dan aku menyetujuinya…" jawab Shunsuke Suzuki santai dan gampang seperti ketika ia sedang membeli suatu barang secara daring.
Vindy Tjendera meledak dalam tawa seksinya.
"Menurutmu, apakah aku cantik?"
Shunsuke Suzuki mengangguk dengan bersemangat. Senyuman seksi merekah dan menghiasi wajah Vindy Tjendera yang memang cantik.
"Thanks banget sudah memberikanku kesempatan untuk bersenang-senang denganmu malam ini, Vindy. Waktu Mary Juniar memberitahuku, terus terang saja… Aku sungguh tidak menyangka kau bisa memilihku, Vindy."
"Kenapa kau bisa begitu terkejut?" tanya Vindy Tjendera terus menatap mata Shunsuke Suzuki dengan lembut.
"Pasalnya aku ini kan biasa-biasa saja. Juga tidak begitu tampan… Aku dengar kau dulunya pernah dengan Maxy Junior kan? Dibandingkan dengan Maxy Junior, aku akui aku kalah banyak. Aku tidak sehebat dia…" Shunsuke Suzuki terlihat tersenyum simpul.
Tangan Vindy Tjendera terangkat dan membelai-belai dada bidang nan atletis milik Shunsuke Suzuki.
"Kau terlalu meremehkan dirimu sendiri, Shunsuke. Masing-masing orang kan punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kau hebat dan sempurna malam ini kok. Aku tidak menyesal telah menghabiskan malam ini denganmu."
Sedikit berbunga perasaan Shunsuke Suzuki mendengar pujian dari Vindy Tjendera. Malam itu mereka habiskan dengan bercinta sampai empat ronde yang selanjutnya. Kepada Ciciyo Suzuki, Shunsuke bilang dia akan menginap di apartemen saja malam ini dan tidak pulang ke rumah. Ciciyo Suzuki yang tidak curiga apa-apa hanya mengangguk mengiyakan.
***
Natsumi Kyoko turun dari mobil Grab yang membawanya sampai ke rumah. Berdiri di depan gerbang rumah besarnya, dia menarik dan menghela napas panjang sejenak. Dia melihat jam pada ponselnya sesaat. Memang sudah jam sembilan malam. Dia tidak balik ke sekolah setelah dari apartemen Maxy Junior tadi. Dia juga tidak pergi ke les bahasa Inggris. Dia hanya mengurung diri di apartemen ayahnya. Untuk makan malam dia juga hanya memesan dari Grab dan makan seadanya di apartemen ayahnya. Dari siang sampai jam delapan malam tadi sesungguhnya ia tidak berselera makan. Ia hanya melamun, merenungkan, dan menanti-nanti suatu jawaban yang tak kunjung datang.
Sudah masuk banyak panggilan tak terjawab dari sang ibu. Natsumi Kyoko tidak berniat menjawab panggilan itu. Lebih tepatnya, dia lebih menunggu kemarahan dan hukuman dari sang ibu saja daripada memperdebatkan hal yang tidak penting dengan sang ibu di telepon.
Sambil menarik napas panjang sekali lagi, Natsumi Kyoko melangkah masuk ke dalam rumah dan siap lahir batin untuk menerima kemarahan dan segala hukuman sang ibu yang kadang tidak logis nan tidak manusiawi. Benar saja… Sudah terdengar suara Bu Faustina Tokwin yang berdentum begitu seorang pembantu membukakan pintu depan dan kaki kanan Natsumi Kyoko menginjak lantai bagian dalam rumah.
"Dari mana saja kau semalam ini baru pulang!" teriak Bu Faustina Tokwin. Tak bisa menahan kegeramannya lagi, satu tamparan telak langsung didaratkan ke wajah Natsumi Kyoko.
Ciciyo Suzuki terhenyak bukan main. Ia terlihat menutupi mulutnya dengan kedua tangan sembari menahan napas. Kendo Suzuki juga terperanjat kaget bukan main istrinya bisa terang-terangan menampar anak mereka di depan adik perempuannya yang jauh-jauh datang dari Jepang mengunjungi mereka hari ini.
"Ditelepon juga tak diangkat! Kau sengaja tidak mau menjawab panggilan telepon kan! Kau sengaja kan! Kau ingin mencari perkara dengan berani membangkang sekarang ya!" teriak Bu Faustina Tokwin terus melampiaskan segala emosi dan kemarahannya. Tangan kembali mendaratkan tamparan telak ke wajah Natsumi Kyoko. Natsumi Kyoko hanya berdiri mematung dengan matanya yang kini mulai berkaca-kaca.
Terperanjat kaget bukan main juga, Keiko Suzuki lantas berdiri dan menahan tangan Faustina Tokwin.
"Faustina! Dia sudah besar, sudah tujuh belas tahun. Aku rasa bukan ide yang baik memukuli anak itu tanpa memberinya suatu penjelasan." Keiko Suzuki berusaha menahan tangan Faustina Tokwin agar kekerasannya tidak terus berlanjut.
"Kau gila! Apa tidak bisa dibicarakan nanti saja! Apa tidak bisa dihukum nanti saja atau besok pagi! Mesti kali main tampar-menampar di depan Keiko yang jauh-jauh datang dari Kyoto mengunjungi kita hari ini!" teriak Kendo Suzuki kepada istrinya.
"Ini harus diselesaikan detik ini juga! Jika tidak, ia akan kembali mengulangi perbuatannya ini di kemudian hari. Katakan dari mana saja kau selarut ini! Katakan kenapa bisa pulang selarut ini!" teriak Faustina Tokwin semakin menjadi-jadi.
Keiko Suzuki hanya bisa mengurut-ngurut keningnya. Sungguh suatu cara mendidik anak yang salah kalau menurutnya. Tidak pernah sekali pun dia menemui cara mendidik anak yang seperti ini di Kyoto tempat tinggalnya sana. Memang jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat, tapi tidak berarti si ibu bisa main tampar dan main teriak-teriak kepada si anak seperti orang gila di depan tamu mereka bukan?
"Kau takkan dapat makan malam! Masuk ke kamarmu sekarang juga! Pikirkan apa kesalahanmu malam ini!" teriak Bu Faustina Tokwin menunjuk ke pintu kamar Natsumi Kyoko.
"Terima kasih sudah mengingatkan, tapi aku sudah makan malam," balas Natsumi Kyoko sedikit sinis, masih dengan tatapan tajam yang sama.
"Melawan lagi kau ya! Melawan dan terus membangkang! Tidak pernah mau mendengarkan perkataan orang tua kau ya! Dasar anak kurang ajar kau!" teriak Bu Faustina Tokwin lagi.