Mendadak Maxy Junior teringat akan pistol Saddam Demetrio yang ia pinjam dan bawa ke Bali kemarin. Dia berpaling dan membuka mulutnya kepada Saddam Demetrio,
"Thanks very much untuk pistolmu, Dam. Sudah kukembalikan kepada ajudan ayahmu di rumah ayahmu sebelum aku ke sekolah tadi pagi," bisik Maxy Junior dengan sebersit senyuman menawan.
Saddam Demetrio dan ketiga teman yang lain spontan membelalakkan mata mereka. Dari cerita Maxy Junior, mereka berempat tahu Maxy Junior bertemu dengan Natsumi Kyoko di Bali dan Maxy Junior sempat menyelamatkan gadis itu menggunakan senjata milik ayah Saddam Demetrio. Kontan Natsumi Kyoko juga membelalakkan matanya dan serta-merta berpaling ke samping kanannya.
"Kau… Kau… Kau menolongku dari tiga lelaki mengerikan itu dengan menggunakan senjata api? Kau tahu caranya menggunakan senjata api, Maxy Junior?" Bicara sedikit gelagapan, tampak Natsumi Kyoko menelan ludahnya ke dalam kerongkongannya yang tercekat.
Kali ini Maxy Junior tersenyum sedikit skeptis.
"Aku akan menggunakannya jika memang keadaan mengharuskanku, Natsumi. Tapi kau jangan khawatir… Selama ini yang paling parah adalah aku hanya menembakkannya ke tempat di samping musuhku berdiri. Keadaan belum separah itu sehingga mengharuskanku untuk membunuh sih…" Maxy Junior meledak dalam tawa ringan.
Natsumi Kyoko tetap saja sedikit gemetar. Selain lelaki player, Maxy Junior dan keempat temannya ini memang pantas dijuluki anak para mafia yang berasal dari kalangan dunia hitam. Natsumi Kyoko berpaling ke belakang dan mengajukan sebuah pertanyaan,
"Verek, Saddam, Thobie, dan Rodrigo juga pernah memegang senjata api itu dan… dan… menembakkannya?" Natsumi Kyoko bertanya dengan sedikit ragu yang menyelinap ke dalam tudung pikirannya.
"Natsumi dekat dengan kita, Kawan-kawan… Aku rasa tidak ada yang perlu kita sembunyikan darinya…" sahut Maxy Junior sembari tersenyum simpul. Mau tidak mau, keempat teman Maxy Junior di belakang itu juga menganggukkan kepala mereka meski terasa sedikit berat di hati.
Natsumi Kyoko menghela napas panjang. Ibarat sekuntum bunga teratai, dia sama persis dengan sekuntum bunga teratai tersebut. Dia sudah terlanjur dekat dengan sang pangeran tampan dan keempat sahabatnya ini. Mau tidak mau dia juga harus dekat dengan latar belakang keluarga mereka, dunia kehidupan mereka, dan kepribadian-kepribadian mereka bukan? Terlihat Natsumi Kyoko akhirnya tersenyum simpul dan kembali memancarkan sedikit keceriaannya melalui senyuman simpul itu.
"Peluru memang tidak memiliki mata. Namun, aku yakin kalian yang memegang pistol ini, tentu saja memiliki mata dan naluri. Tentunya kalian bisa membedakan ke mana peluru harus diarahkan dan siapa-siapa saja yang harus ditembak bukan?" desis Natsumi Kyoko selembut mungkin sehingga percakapan mereka itu tidak terdengar oleh murid-murid lain yang ada di sekitar mereka.
Mendengar itu, tentu saja Verek Felix dan kawan-kawan mengangguk dengan cepat. Maxy Junior kembali memancarkan senyumannya yang paling menawan.
"Tentu saja… Seperti yang aku bilang tadi. Senjata itu akan dipergunakan hanya jika kondisi memaksa dan mengharuskan. Jika tidak, ya tidak…"
Natsumi Kyoko melebarkan senyumannya.
"Thanks… Kalian sudah membiarkan aku tahu mengenai soal pistol ini. Aku bisa menyimpulkan itu berarti… berarti kalian mempercayaiku bukan? Aku bisa menarik kesimpulan kau mempercayaiku bukan, Maxy Junior?" tanya Natsumi Kyoko sedikit takut-takut.
"Tentu saja…" jawab Maxy Junior, masih dengan sebersit senyuman menawannya.
"Natsumi Kyoko… Natsumi Kyoko…" panggil seorang murid yang berasal dari kelas lain.
Natsumi Kyoko bertukar pandang sejenak dengan Maxy Junior dan mengerutkan dahinya.
"Ada yang bisa kubantu?" Natsumi Kyoko tersenyum lembut kali ini.
"Dipanggil ke kantor kepala sekolah sebentar. Beliau ingin kamu menyerahkan laporan kas acara pemilihan ketua OSIS beberapa hari lalu."
Natsumi Kyoko mengeluarkan laporan yang sudah ia print dan jilid menjadi semacam buku. Dalam hati Maxy Junior berdecak kagum. Pekerjaan Natsumi Kyoko sebagai seorang sekretaris memang sangat rapi. Dalam hati, ia semakin yakin ia tidak salah pilih sekretaris di OSIS periodenya kali ini.
"Apakah harus diserahkan sekarang?" tanya Natsumi Kyoko menggenggam laporan tersebut di tangannya.
"Iya…" jawab si murid dari kelas sebelah itu. Dia berlalu begitu saja.
"Aku pergi dulu…" kata Natsumi Kyoko tersenyum manis kepada Maxy Junior. Mata Maxy Junior tak berkedip sama sekali ketika ia mengantar kepergian sekretarisnya hanya dengan sorot matanya.
"Kau benaran jatuh cinta padanya deh, Maxy Junior…" ujar Verek Felix sepeninggal Natsumi Kyoko.
"Tak kusangka kau akan membuka soal pistol yang kaupinjam dariku itu terang-terangan di depannya…" kata Saddam Demetrio menepuk jidatnya. "Aku sempat shocked tadi. Bagaimana jadinya jika seandainya Natsumi Kyoko akan ketakutan dan memilih untuk menjauhi kita? Rugi di dirimu loh, Maxy Junior…"
Maxy Junior menggelengkan kepalanya dengan penuh keyakinan.
"Natsumi Kyoko adalah cewek yang kritis. Dia bisa membedakan mana jahat, mana nakal, mana setia kawan, mana egois, dan mana yang hanya ingin mementingkan diri sendiri. Buktinya dugaanku benar kan? Aku sudah mempertimbangkannya masak-masak sebelum kuputuskan aku akan memberitahunya hari ini, Kawan-kawan… Tenanglah… Perhitungan dan pertimbanganku jarang meleset."
"Jadi, apa ada terjadi sesuatu antara kalian di Bali sana?" tanya Thobie Chiawan mulai mengerling-ngerlingkan matanya dengan nakal.
Maxy Junior hanya tersenyum simpul dan menggelengkan kepalanya dengan lembut.
Keempat temannya sedikit terperanjat kaget.
"Kau bilang kau menolongnya yang sudah sempat terkena obat bius dari ketiga lelaki misterius yang hendak menjamahnya bukan? Kau bilang kau bawa dia ke hotel tempat kau menginap. Kukira kalian sudah…" Rodrigo Wisanto tidak kuasa menyelesaikan kalimatnya.
Maxy Junior hanya menghela napas panjang. Ia kembali menggelengkan kepalanya dengan sedikit malu.
"Astaga! Kau sungguh mencintai Natsumi Kyoko, Maxy Junior…" kata Rodrigo Wisanto menepuk jidatnya. Tampak Maxy Junior hanya setengah cengengesan.
"Apakah kau bisa menahan hasratmu sampai semalaman?" tanya Verek Felix sembari menyipitkan matanya. Ia kurang percaya sahabatnya ini bisa menahan hasratnya sampai semalaman.
Maxy Junior menjadi salah tingkah. Ia tampak mengelus-elus kepala belakangnya.
"Aku self-satisfaction saja sekali. Habis itu, karena gairah ini terus saja naik dari waktu ke waktu, aku terpaksa menginap di kamar adikku, si Martin Jeremy itu."
Keempat temannya meledak dalam tawa cekikikan mereka. Karena suasana kelas yang lumayan ribut, tidak ada yang begitu memperhatikan mereka.
"Kalau tahu kalian hanya akan menertawakanku, lebih baik tidak usah kuceritakan tadi." Terlihat Maxy Junior berpaling kembali ke depan dengan wajah yang sedikit bersungut-sungut.
Keempat sahabatnya membujuk-bujuknya lagi. Maxy Junior berpaling lagi ke belakang dan ia menjawab pertanyaan sahabatnya satu demi satu, yang merasa penasaran apa-apa saja yang dilakukannya dengan Natsumi Kyoko selama mereka berduaan di Bali.
***
Menit demi menit berlalu…
Dalam perjalanan balik dari kantor kepala sekolah, kebetulan sekali Natsumi Kyoko juga berpapasan dengan Shunsuke Suzuki yang berjalan berduaan dengan Mary Juniar. Mulanya Shunsuke Suzuki terlibat ke dalam suatu pembicaraan seru dengan Mary Juniar. Mereka terlihat beberapa kali meledak dalam tawa ringan mereka. Namun, ketika mereka berjumpa dengan sosok Natsumi Kyoko di hadapan mereka, tawa ringan langsung lenyap dan pembicaraan seru – entah pembicaraan apa itu – langsung hilang tertiup angin.
"Dari mana, Bang Shunsuke?" tanya Natsumi Kyoko dengan sebersit senyuman manis.
"Dari kantin… Guru bahasa Mandarin tidak datang. Kami hanya diberikan beberapa tugas sederhana. Setelah selesai, kami memutuskan untuk ke kantin diam-diam dan beli beberapa jajanan," jawab Shunsuke apa adanya dengan sedikit cengar-cengir pada wajahnya yang tampan.
"Kau sendiri dari mana?" tanya Mary Juniar kepada Natsumi Kyoko, nyaris tanpa senyum.
"Dari kantor kepala sekolah… Baru saja menyerahkan laporan kas acara pemilihan ketua OSIS beberapa hari lalu…" jawab Natsumi Kyoko masih tersenyum manis.