"Gantian dong, Kendo… Aku benar-benar sudah capek…" bisik Liana Fransisca dengan gairah dan hasrat yang sudah membanjiri seluruh sinar matanya.
"Siap laksanakan perintah, Ratuku…" Kendo Suzuki mengerling nakal. Dia segera bangkit dari rebahannya.
Jilat-menjilat juga dirasakan oleh sang wanita selingkuhannya dari tengkuk hingga ke punggung dan akhirnya turun ke pinggul dan bokongnya. Kendo Suzuki menyisipkan kepalanya ke bagian kewanitaan Liana Fransisca dari bawah. Aksi menjilat dan mengisap dilanjutkan di sana. Terdengar erangan dari sang wanita selingkuhan yang mendayu-dayu nan mengalun-ngalun ke seluruh penjuru kamar itu.
Lima menit juga berlalu. Kendo Suzuki mengeluarkan kepalanya dan mulai memosisikan dirinya di belakang punggung sang wanita selingkuhannya. Dengan sekali hentak, barang kejantanannya segera dihujamkannya ke liang kehangatan yang sudah sabar menanti di bawah sana.
Liana Fransisca mengerang lagi. Ketika Kendo Suzuki mulai menggerakkan pinggulnya secara berirama, Liana Fransisca merasakan sekujur tubuhnya menggelinjang nan menggelepar-gelepar di bawah penyiksaan kenikmatan yang diberikan oleh lelaki selingkuhannya. Liana Fransisca berusaha menyesuaikan kenikmatan yang ia peroleh dengan sensasi kenikmatan yang ia berikan pada barang kejantanan selingkuhannya yang masih bersarang di dalam liang kehangatannya di bawah sana. Ia mengerepas mata sekaligus menjepit erat-erat barang kejantanan tersebut di dalam liang kehangatannya.
Terdengar terus desahan dan erangan kedua pasangan tersebut di dalam kamar. Merasa kejantanannya dijepit sedemikian erat, Kendo Suzuki juga berkali-kali mengerepas mata berusaha membendung sensasi kenikmatan yang bergerak hendak mencapai klimaks. Tampak gerakan memompa Kendo Suzuki yang semakin dan semakin cepat.
Dua puluh detik berlalu dengan cepat begitu saja. Liana Fransisca mengerang kuat; sekujur tubuhnya juga menegang kuat ketika ia berhasil meraih puncak kenikmatannya. Kendo Suzuki juga tidak bisa membendungnya lagi. Dia meraih puncak kenikmatannya dan menyemburkan seluruh sari-sari vitalnya ke dalam liang kehangatan wanita selingkuhannya.
Dengan napas yang masih ngos-ngosan, dengan peluh yang masih menempel di sekujur tubuh, dengan barang kejantanan yang masih menancap dalam liang kehangatan wanita selingkuhannya, Kendo Suzuki berbaring saja telungkup di atas tubuh wanita selingkuhannya. Liana Fransisca sendiri sudah jatuh terlelap ketika dia berhasil meraih puncak kenikmatannya tadi.
Tak berapa lama kemudian, Kendo Suzuki juga terlelap dengan posisi tubuh yang setengah menindih tubuh wanita selingkuhannya.
Kendo Suzuki dan Liana Fransisca pun terhempas kembali ke masa kini. Bukan kenikmatan kencan yang ada dalam pikiran mereka, melainkan beberapa masalah yang menyertai kegiatan mereka di Bali hari kemarin.
Siapa orang yang meneleponnya itu? Siapa? Kenapa dia tidak ingin menceritakannya kepadaku? Dia belum percaya sepenuhnya kepadaku walau kami sudah lama bersama. Wanita ini sungguh penuh dengan misteri… penuh dengan misteri yang aku sendiri juga tak sanggup memahaminya sampai dengan saat ini. Liana… Oh, Liana Fransisca Sudiyanti… Dalam lubuk hatimu yang terdalam, sebenarnya kau benar-benar mencintaiku atau selama ini kau hanya menganggapku sebagai alat pemenuhan kebutuhan biologismu? Sekelumit kecewa mengerabik di semenanjung pikiran Kendo Suzuki.
Aku sudah mengirimkan bahan-bahan mentahnya ke Jepang sana. Kenapa dia justru meminta bahan-bahan mentah yang tercerai-berai? Dia ingin meracik dan menggabungkannya sendiri? Mmm... Sepertinya ada udang di balik batu di sini. Aku harus lebih berhati-hati lagi. Dia bukan hanya ingin berbisnis denganku. Dia mengincar sesuatu yang lebih lagi daripada itu. Aku takkan membiarkannya mendapatkannya dengan mudah. Takkan kubiarkan… Hati nurani Liana Fransisca juga berteriak nyaring.
Sekerjap amarah menyelangkupi rangkup pikiran Liana Fransisca siang itu.
***
Malam meladung di kota Jakarta. Natsumi Kyoko yang kecapekan karena habis keliling-keliling kota Denpasar pagi harinya, langsung masuk ke kamar dan tidak tampak keluar lagi. Shunsuke Suzuki sebenarnya ingin mengajak adiknya itu mengobrol. Namun, karena dilihatnya adiknya sama sekali tidak muncul lagi dari dalam kamarnya, dia hanya bisa menelan ludah dan sabar menunggu hingga keesokan paginya.
Shunsuke Suzuki juga berlalu masuk ke kamarnya sendiri. Perasaannya kacau-balau dan campur aduk malam itu. Dia hanya bisa menuntaskan hasratnya melalui self-satisfaction malam itu.
Sementara itu, pasangan suami istri Suzuki belum tidur. Tentu saja Kendo Suzuki menceritakan perihal pertemuannya dengan Hiroshi Hanamura kepada istrinya, Faustina Tokwin.
"Jadi Ryuzaki Hanamura sudah melihat Natsumi Kyoko kita?" Faustina Tokwin sedikit mereka-reka dan tenggelam dalam alam pertimbangannya sendiri.
Kendo Suzuki hanya menganggukkan kepalanya. Sedikit banyak dia merasa bersalah terhadap apa yang bakalan mereka perbuat kepada kedua anak perempuan mereka di masa mendatang.
"Apakah dia menyukai Natsumi Kyoko kita? Dia terus memandanginya atau memandangi sekali dua kali saja?" kejar Bu Faustina Tokwin lagi.
"Terus memandanginya… Mata si Ryuzaki Hanamura itu tidak bisa lepas dari putriku kurasa…" kata Kendo Suzuki sedikit mengerutkan dahinya sekarang.
"Kenapa? Kau tidak senang?" tanya Bu Faustina Tokwin lagi, dengan sebersit senyuman kepuasan yang mulai merekah di sudut bibirnya sekarang.
"Aku rasa… Aku rasa sedikit tidak bijak jika kita langsung menjodohkan kedua putri kita begitu saja. Mereka berhak menentukan masa depan mereka. Mereka berhak menentukan siapa calon pasangan mereka. Tidakkah sebaiknya kita batalkan saja perjodohan itu, Faustina?"
"Takkan bisa dibatalkan lagi… Kau kira keluarga Hanamura itu keluarga apa? Mereka sangat berpengaruh di Jepang sana. Sempat saja kau menyinggung perasaan mereka, mereka bisa menghabisi kita sekeluarga hanya dengan jentikan jari. Enak saja kau bicara! Makanya sebelum kau pinjam uang dari mereka dulu, seharusnya kau lihat dulu keluarga mereka itu seperti apa! Jangan asal orang bersedia meminjamkan uang kepadamu, kedua putrimu juga kaugadaikan kepada mereka! Perjanjian sudah terlanjur dibuat, mana bisa seenaknya kau membatalkannya begitu saja!" Bu Faustina Tokwin menaikkan nada suaranya dan berdiri berkacak pinggang di depan suaminya.
Kendo Suzuki hanya bisa menelan ludahnya. Sebagian besar, itu memang kesalahannya di masa lalu yang sering berjudi dan membuat perusahaannya hampir bangkrut. Ia bertemu dengan seorang mafia kelas atas yang bersedia meminjamkannya uang untuk membangkitkan kembali perusahaannya.
"Lagipula, menikah dengan putra-putra dari keluarga Hanamura takkan merugikan bagi Natsumi dan Ciciyo. Harta kekayaan mereka berlimpah. Bisnis di mana-mana. Aset di mana-mana. Setiap hari hidup bagai di kerajaan surga; uang tiada berhenti mengalir. Kurang apa lagi coba! Sudah! Yang penting Ryuzaki Hanamura itu menyukai Natsumi kita! Yang lainnya aku tak peduli lagi!"
"Tak mungkin kita mengabaikan perasaan Natsumi dan Ciciyo, Faustina…"
"Mereka itu perempuan. Perempuan itu ya harus menurut sama orang tua. Kita melakukan semua ini kan demi mereka juga, supaya kelak mereka bisa hidup berkelimpahan dan tidak serba kekurangan. Lagipula, cinta itu kan bisa dipupuk. Hidup sebagai suami istri selama beberapa waktu akan menumbuhkan cinta di hati dan perasaan mereka berdua. Di zaman modern begini, mana ada lagi yang namanya cinta pada pandangan pertama! Tahi kucing itu! Tak ada itu!"
Bu Faustina Tokwin merebahkan dirinya kembali di atas tempat tidur. Dia sudah capek mengurus rumah seharian. Dia ingin beristirahat sekarang. Dia tidak ingin lagi memperdebatkan hal-hal yang menurutnya tidak penting dengan sang suami.
Tinggallah Kendo Suzuki masih duduk seorang diri di tempat tidurnya. Segelintir perasaan bersalah masih menggeligit kuncup pikirannya.