Laboratorium tersebut tampak seperti bangunan tua biasa apabila dipandang dari kejauhan. Beberapa bagian dari dinding-dindingnya terselimuti salju tebal. Tampak juga lumut-lumut hijau segar yang tumbuh di bagian dinding-dinding yang lain. Sesekali angin dingin akan berhembus sebagai latar belakang yang menambah suasana sepi pada bangunan laboratorium yang disamarkan menjadi bangunan tua biasa di tengah-tengah padang salju tak berbatas tersebut.
Sejauh mata memandang, yang bisa tertangkap oleh saraf penglihatan adalah hamparan salju putih bersih dengan udara dingin yang menggelantung di atasnya. Semuanya diam, tidak bergerak, tidak bergeming kecuali salju-salju yang sesekali terbang tertiup angin dingin.
Namun, apabila kita berjalan masuk ke dalamnya, kita akan melihat kesibukan luar biasa yang tak mengenal waktu. Sungguh kontras dengan pemandangan dari luar yang menunjukkan seolah-olah bangunan laboratorium itu merupakan bangunan tua biasa yang sudah lama ditinggalkan.
Di lantai satu kita takkan menemukan apa-apa selain jejeran kendaraan darat dan udara yang diparkir di sana. Ada mobil dan truk dalam beragam ukuran. Ada juga beberapa pesawat kecil yang bisa mengangkut tidak lebih dari 100 penumpang. Bau amis mulai menyapa hidung dan mendatangkan rasa mual. Penerangan di dalam bangunan yang hanya remang-remang menambah efek kengerian yang mulai membangkitkan bulu kuduk.
Apabila kita terus naik ke lantai dua, akan tampak banyak sekali potongan tubuh manusia yang dicelupkan ke dalam sejenis cairan kimia di dalam toples. Banyak sekali toples yang dijejerkan di rak-rak yang memenuhi dinding lantai dua. Ada tampak kepala manusia, potongan tangan dan kaki, dan bahkan potongan-potongan alat vital baik laki-laki maupun perempuan. Tampak juga organ-organ tubuh manusia yang juga dicelupkan ke dalam cairan kimia yang sama dalam toples-toples yang dijejerkan di rak-rak yang memenuhi dinding bagian belakang lantai dua bangunan laboratorium tersebut. Terlihat ada otak, lambung, jantung, hati, paru-paru, ginjal, pankreas, usus dan bahkan belahan anus manusia.
Apabila kita naik lagi ke lantai tiga, kita akan menemukan ratusan karyawan dengan seragam baju hijau mereka layaknya dokter-dokter bedah. Bau amis tercium di mana-mana. Mayat-mayat dengan potongan-potongan tubuh bertebaran di mana-mana. Darah, daging dan bau amisnya yang menyebar ke mana-mana akan menambah efek lengkap neraka yang menyelimuti seisi lantai tiga bangunan laboratorium tersebut. Terlihat seluruh karyawan dalam seragam dokter bedah tersebut larut dalam kesibukan dan konsentrasi masing-masing.
Mendadak saja dunia mimpi buyar dan Liana Fransisca terbangun dari tidurnya yang panjang. Sedikit ketakutan, dia merasa napasnya sedikit tersengal-sengal. Mata memandang ke jam dinding. Sudah pukul dua lewat sedikit. Seisi kamar dalam keadaan sepi karena memang pas pada dini hari. Hanya terdengar detak-detik jam dinding.
Kaki turun dari tempat tidur. Perlahan tangan menggapai tangkai pintu dan pintu kamar pun terbuka. Liana Fransisca keluar dari kamarnya sejenak. Dia menuruni tangga dan sampailah ia ke lantai satu. Kaki melangkah ke ruangan dapur. Tidak ada siapa-siapa lagi di sana, tentu saja. Semua pembantu sedang terlelap dalam alam mimpi masing-masing. Ketiga anaknya juga sedang terbuai dalam alam mimpi masing-masing.
Masa lalu kembali menghantui. Sudah sejak lama aku tidak pernah mendapat mimpi itu. Kenapa sekarang aku bermimpi tentang tempat itu lagi? Tempat itu begitu indah pada awalnya. Namun, semakin ke ujung, akan semakin mengerikan. Kenapa mimpi mengerikan itu tetap saja menghantuiku meski sudah belasan tahun berlalu?
Liana Fransisca tidak bisa mengendalikan alam bawah sadarnya. Dari waktu ke waktu, masa lalu akan berubah wujud menjadi semacam ketakutan yang mengendap di dalam tudung pikirannya. Ketika ia lengah, ketakutan tersebut akan kembali mencuat ke permukaan dan kembali menghantuinya.
Pandangan mata mengarah ke anak-anak tangga yang menuju ke lantai atas. Kaki mulai melangkah menaiki anak-anak tangga. Perlahan-lahan, akhirnya Liana Fransisca sampai di depan pintu kamar anak sulungnya. Tangan menggapai tangkai pintu, tetapi rupanya pintu dikunci oleh Maxy Junior dari dalam.
Tangan merogoh ke dalam saku. Rupa-rupanya Liana Fransisca memiliki kunci cadangan kamar anak-anaknya atau bahkan seluruh ruangan yang ada di rumah besarnya itu. Tangan membuka pintu perlahan-lahan. Liana Fransisca berjalan masuk dan tangan kembali menutup pintu dengan perlahan.
Tampak Maxy Junior tertidur di atas tempat tidurnya. Tubuhnya terlihat sedikit gelisah. Napasnya sedikit tidak teratur. Tampak Maxy Junior yang memang tidur dengan hanya mengenakan undies. Seluruh lekuk tubuh dan guratan ototnya terpahat dengan sempurna di depan mata Liana Fransisca Sudiyanti. Liana Fransisca mulai berjalan perlahan menghampiri anak sulungnya dari sisi tempat tidur.
Mendadak saja Liana Fransisca membaringkan kepalanya ke dada si anak sulung. Terdengar detak jantung Maxy Junior yang memang kurang beraturan malam itu. Napasnya juga sedikit tersengal-sengal. Jelas terlihat tidurnya kurang nyenyak malam itu. Akan tetapi, dia tidak bisa membuka matanya dan bangun dari tidur yang kurang nyenyak tersebut.
"Kau begitu sempurna, Maxy Junior… Tahukah dirimu kau itu begitu sempurna di mataku? Tahukah dirimu sebagian besar orang yang bertemu denganmu atau bahkan orang yang mengenalmu sampai detik ini tidak bisa menemukan satu celah pun kecacatan yang ada pada dirimu? Hehehe…"
Mendadak Liana Fransisca meledak dalam tawa ringannya. Akan tetapi, jelas terdengar sedikit nada ganjil dalam tawa ringan tersebut.
"Bahkan manusia-manusia lain yang selama ini katanya adalah ciptaan Yang Maha Kuasa, takkan bisa sesempurna ini. Manusia-manusia lain takkan bisa melampaui kesempurnaan ini. Mereka takkan bisa melampaui tingkat kesempurnaan yang ada pada dirimu, Maxy Junior Sayang. Aku sungguh bangga bisa berkesempatan menjadi ibumu sampai dengan hari ini, menit ini, detik ini."
Lagi-lagi Liana Fransisca meledak dalam tawa ringan dengan sekelumit nada ganjil di dalamnya.
Tangan mulai membelai-belai sekujur tubuh Maxy Junior, mulai dari wajah turun ke leher, turun ke dada, turun ke perut, dan akhirnya turun ke batang kejantanan Maxy Junior yang terbungkus di dalam undies-nya yang berwarna biru gelap.
Liana Fransisca tertawa ringan lagi. Dia berdiri dari tempat tidur Maxy Junior. Dia sudah puas menjelajahi kesempurnaan yang terdapat pada sekujur tubuh Maxy Junior. Tangan membuka pintu secara perlahan. Liana Fransisca melangkah keluar dari kamar anak sulungnya secara perlahan. Dia menutup pintu kamar anaknya dan menguncinya kembali dari luar.
Kaki perlahan melangkah kembali ke kamarnya sendiri. Liana Fransisca masuk kembali ke kamarnya dan merebahkan dirinya kembali ke tempat tidur.
Terlihat Liana Fransisca menerawang keluar jendela kamarnya. Dia menerawang ke pepohonan di luar jendela kamar, yang sesekali akan bergerak-gerak karena ditiup angin malam. Keriap memori masa lalu kembali berselarak di padang sanubari hati. Perlahan tapi pasti, Liana Fransisca mulai terbuai ke dalam alam mimpinya sendiri.