"Selama ini Bang Maxy Junior takkan pernah mengorbankan kepala sendiri hanya demi melindungi pacar dari terjangan kerangka kipas angin. Pernah kan salah satu pacarmu dulu diserempet becak mesin dan masuk rumah sakit? Waktu itu kau biasa-biasa saja dan bahkan tidak ke rumah sakit menjenguknya dengan alasan kau banyak PR dan banyak kegiatan. Kali ini kulihat agak sedikit berbeda. Bagian kepalamu adalah bagian yang sangat penting dan bagian yang kaulindungi setiap saat. Namun, tadi sore kau baru saja mengorbankan bagian kepalamu untuk melindungi seorang anak cewek yang duduk sebangku denganmu. Kau sendiri tidak menyadari hal itu, Bang Maxy Junior?" tanya Martin Jeremy santai.
Maxy Junior sedikit tertegun.
"Jadi apa hubungannya dengan Kak Mary Juniar? Dia adikku dan seharusnya dia senang dong sekarang aku sudah benar-benar menyukai seorang cewek." Maxy Junior benar-benar memandangi Martin Jeremy dengan sinar mata polos.
"Kau benaran tidak tahu, Bang Maxy Junior?" Martin Jeremy menatap lekat-lekat ke dalam kedua bola mata abang sulungnya.
"Aku sungguh tidak mengerti arah pembicaraanmu, Martin. Apa sebenarnya yang ingin kauceritakan kepadaku?"
Baru saja Martin Jeremy ingin membuka mulutnya, pintu kamar Maxy Junior sudah diketuk oleh seseorang. Terpaksa Martin Jeremy menunda pembicaraannya. Maxy Junior membuka pintu dan langsung mengernyitkan keningnya melihat sosok ibunya berdiri di depan kamarnya.
"Aku tahu kau belum tidur, Maxy Junior. Namun, aku tidak tahu ada Martin yang sedang mengobrol denganmu malam ini. Apakah… Apakah aku mengganggu?" Liana Fransisca Sudiyanti tersenyum dengan kikuk.
Maxy Junior tidak tahu harus menjawab apa. Tidak biasanya ibunya mencarinya dan ingin membicarakan sesuatu dengannya. Martin Jeremy yang berdiri di belakang abang sulungnya langsung menyela,
"Tidak… Kami sudah selesai kok," kata Martin Jeremy juga tersenyum dengan kikuk. Tidak adanya kedekatan antara ibu dan kedua anaknya itu menciptakan semacam jarak di antara mereka. Mereka hanya bisa saling melemparkan senyuman kaku tanpa tahu apa yang mesti dikatakan atau diperbuat terhadap satu sama lain.
Maxy Junior berbalik dan menatap adiknya. Sang adik hanya membalas tatapan Maxy Junior dengan sebersit senyuman lemah lembut.
"Akan kita sambung di lain kesempatan, Bang Maxy Junior," kata Martin Jeremy menepuk ringan bahu abang sulungnya. Maxy Junior menganggukkan kepalanya dengan mantap.
Martin Jeremy berjalan keluar dari kamar si abang sulung. Sesungguhnya Liana Fransisca Sudiyanti ingin sedikit berbasa-basi lagi dengan anak bungsunya. Akan tetapi, Martin Jeremy yang langsung keluar begitu saja, sama sekali tidak memberinya kesempatan apa-apa.
Liana Fransisca Sudiyanti masuk dan menutup pintu kamar anak sulungnya secara perlahan.
"Sepertinya ada yang ingin kausampaikan kepada Martin tadi, Bu. Kenapa kau tidak mengucapkannya?" Maxy Junior seakan bisa menebak jalan pikiran ibunya hanya melihat dari sorot matanya dan gerak-geriknya.
Liana Fransisca hanya tersenyum tipis dan menggeleng lemah.
"Terlalu lama saling mendiamkan; begitu bertemu, tidak tahu apa yang mesti dikatakan." Maxy Junior mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Liana Fransisca mencoba untuk berkelit. "Bukan itu yang ingin aku bicarakan denganmu, Maxy Junior."
"Oh ya? Lantas apa?"
"Ada satu cabang perusahaan baru yang akan grand opening di Bali Minggu depan. Aku akan mengajakmu ke Bali juga. Jika tidak ada aral melintang, ke depannya cabang anak perusahaan itu akan menjadi daerah kekuasaanmu."
"Kenapa mendadak sekali?" Maxy Junior terlihat sedikit menaikkan kedua alis matanya.
"Aku sudah tua. Sudah saatnya aku mundur perlahan-lahan dan biarlah kalian anak-anakku yang akan mengurus semuanya. Jika sudah tiba saatnya, aku bisa mundur dari semua ini dan menikmati hari-hari tuaku dengan damai," ujar Liana Fransisca lemah lembut.
"Cabang baru Beauty & Me Enterprise akan segera grand opening di Bali. Aku akan ikut denganmu ke sana," gumam Maxy Junior seakan-akan ia sedang bersenandika dengan dirinya sendiri. "Kau tidak mengajak Mary dan Martin ikut serta ke sana, Bu?"
"Martin sih iya… Aku akan berbicara dengannya setelah ini. Mary mungkin tidak. Mary itu perempuan. Suatu saat nanti dia akan menikah dan memiliki keluarganya sendiri. Dia tentu saja akan lebih berkonsentrasi terhadap perusahaan dan bisnis suaminya."
Maxy Junior mangut-mangut.
"Tumben sekali kau bisa mengajak kami ikut serta terjun ke bisnis dan perusahaan-perusahaanmu, Ibu…"
Liana Fransisca Sudiyanti menghela napas panjang. Dia merasa ini memang sudah agak terlambat. Ini memang sudah agak terlambat dia mendekati anak-anaknya pada saat dia mulai merasa dia membutuhkan kehadiran dan bantuan mereka. Namun, dalam kamus Liana Fransisca Sudiyanti, tidak ada hal apa pun yang benar-benar terlambat. Semuanya bisa diperbaiki asalkan seseorang memiliki tekad dan usaha.
"Seperti yang aku bilang tadi, Maxy Junior… Sudah saatnya kalian tampil ke publik. Kau dan Martin sudah mulai beranjak dewasa. Aku juga sudah mulai tua. Aku akan menyerahkan semuanya ini kepada kalian dan aku bisa mundur perlahan-lahan. Nasib Beauty & Me Enterprise ke depannya bergantung padamu dan Martin."
Maxy Junior kini membisu seribu bahasa. Dia tampak melihat keluar jendela dengan sorot mata menerawang.
"Bagaimana? Kau akan ikut aku ke Bali Minggu depan kan, Maxy Junior?" tanya Liana Fransisca lagi setelah satu menit dia tidak mendapatkan reaksi dari anak sulungnya.
"Aku fine-fine saja. Kau boleh bicarakan hal ini dengan Martin dulu, Bu. Jika Martin mau ikut ke Bali Minggu depan, aku juga akan ikut," kata Maxy Junior santai.
Liana Fransisca hanya bisa menganggukkan kepalanya. Malam itu juga dia ke kamar Martin Jeremy dan juga menyampaikan hal yang sama. Walau sedikit terperanjat nan terheran-heran pada awalnya, Martin Jeremy mengangguk menyetujui juga pada akhirnya.
"Bagaimana dengan pandangan dan penilaian Bang Maxy Junior, Bu? Apakah dia akan ikut Ibu ke Bali Minggu depan?" tanya Martin Jeremy santai.
"Abangmu bilang dia ikut keputusanmu saja. Makanya, kau harus setuju ikut Ibu ke Bali Minggu depan ya. Kau akan belajar sedikit demi sedikit. Nasib Beauty & Me Enterprise di masa mendatang bergantung pada kerja sama kau dan abangmu. Kau mau kan?" Liana Fransisca berusaha membujuk anak bungsunya lagi.
Martin Jeremy mengangguk menyetujui pada akhirnya. Ia kembali ke kamar anak sulungnya lagi.
Maxy Junior yang mendengar adiknya telah mengangguk menyetujui, juga hanya bisa mengangguk menyetujui. Liana Fransisca tampak sedikit mengulum senyumannya karena ia telah berhasil meyakinkan kedua anaknya untuk ikut dengannya ke Bali Minggu depan.
"Oke deh… Aku akan mengurus tiket kalian besok pagi."
Liana Fransisca tampak hendak berjalan keluar dari kamar anak sulungnya ketika Maxy Junior sekonyong-konyong berceletuk,
"Ibu… Ada satu hal yang membuatku penasaran sejak aku kecil sampai detik ini…"
"Apa itu?"
"Apakah aku anakmu dan anak Ayah?" tanya Maxy Junior langsung ke inti persoalannya. Ia menatap lurus-lurus ke dua bola mata sang ibu yang tampak terkesiap di tempatnya.
Namun, Liana Fransisca masih bisa mengendalikan keterkejutannya dan ia masih terlihat tersenyum normal kepada anak sulungnya.
"Tentu saja kau anak kami. Kau mewarisi darah Tanuwira. Kelak kau juga akan mewarisi Beauty & Me Enterprise yang telah menjadi hasil kerja kerasku selama puluhan tahun ini. Tahukah kau? Kau itu begitu istimewa bagiku, Maxy Junior…" Liana Fransisca mulai menyentuh dan membelai-belai kedua belahan pipi sampai ke dagu anak sulungnya.
"Kenapa aku begitu istimewa bagimu, Ibu?"
Maxy Junior jadi mengernyitkan keningnya. Ia menjadi semakin tidak mengerti. Jawaban itu sama sekali tidak menjawab misteri jati dirinya yang telah mengungkungnya selama ini.
"Suatu saat jika sudah tiba waktunya, aku akan memberitahumu. Sekarang belum waktunya. Perjalananmu yang panjang justru baru akan dimulai. Perjalanan panjang Martin juga sama…"
Liana Fransisca menampilkan sebersit senyuman yang menggantung dan keluar dari kamar anak sulungnya kemudian. Terlihat ia menutup pintu secara perlahan. Terdengar langkah-langkah kakinya yang semakin jauh dari kamar Maxy Junior.
Dia tidak ingin bersikap jujur kepadaku. Dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Sampai kapan dia ingin menutupi rahasia perselingkuhannya? Sampai kapan dia akan terus membiarkan kami tenggelam dalam teka-teki yang membingungkan ini? Siapa sebenarnya aku? Aku yakin aku bukan anak Nicholas Tanuwira dan juga bukan anaknya. Wajahku sama sekali tidak mirip dengan wajah Mary maupun Martin apalagi wajah Liana Fransisca Sudiyanti ini. Lantas kalau begitu, siapakah orang tuaku yang sebenarnya?
Hati nurani Maxy Junior seolah-olah memercik nyaring, mengoyak keheningan dan memecah kesunyian. Di tengah-tengah resah gelisah yang terus mengerabik di semenanjung pikiran Maxy Junior, bayangan Natsumi Kyoko sekonyong-konyong hadir menyapa. Entah kenapa semua keresahan dan kegelisahan Maxy Junior berangsur-angsur lenyap dan ia kini bisa tersenyum-senyum sendiri ketika ia membaringkan dirinya ke tempat tidurnya dan menerawang ke langit-langit.
Aku belum yakin dengan keberanianku sendiri. Ya Tuhan… Aku tidak yakin aku akan berani memperjuangkan kedekatan kami dan berpikir sedikit lebih jauh ke depan dengan sedikit merencanakan apa-apa saja yang akan kulakukan esok-esok hari. Namun, entah apa sebabnya… Dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku yakin dia bukanlah adik tiriku. Aku yakin aku dan dia berhak bersama.
Menit demi menit berlalu. Barulah Maxy Junior sadar bath tub-nya sudah penuh. Ia berjalan masuk ke kamar mandi. Sebelum mandi, terpaksa ia harus sedikit self-satisfaction dulu karena tidak bisa lagi menahan hasrat liarnya yang muncul begitu saja dan terus mendesak ke atas tatkala ia memikirkan tentang Natsumi Kyoko tadi.
Damai merambak, menyeruak ke setiap relung perasaan dan pikiran Maxy Junior.
***
Damai juga merambak, menyeruak ke setiap relung perasaan dan pikiran Natsumi Kyoko.
Kembali terngiang-ngiang kalimat-kalimat abang angkatnya beberapa saat sebelumnya.
Aku ingin kau selalu waspada dan selalu menjaga jarak dengan si Maxy Junior itu, Natsumi. Kau mengerti kan? Jangan sampai dia melakukan hal-hal kurang ajar padamu dan merenggut kegadisanmu. Bahkan ciuman pun tidak boleh kauberikan padanya. Ciuman pertamamu itu haruslah kauberikan kepada lelaki yang benar-benar pantas, yang benar-benar mencintaimu, dan yang benar-benar kaucintai.
Senyuman merekah di sudut bibir Natsumi Kyoko. Dia teringat kembali ke kejadian tadi sore di dalam kelas. Bibirnya dan bibir Maxy Junior sudah sempat beradu dan saling bertaut tatkala laki-laki itu melindunginya dari kerangka kipas angin besar yang terlepas.
Senyuman masih merekah di sudut bibir Natsumi Kyoko. Terasa seolah-olah ada bunyi-bunyian manis yang diturunkan dari surga di atas sana. Natsumi Kyoko beringsut ke dalam selimutnya. Dia pasti akan tidur dengan nyenyak di hamparan bintang yang melatarbelakangi mimpi indahnya malam ini.
Apakah dia tahu dia telah mengambil ciuman pertamaku? Apakah dia tahu aku sudah kehilangan ciuman pertamaku gara-gara dia? Bagaimana aku bisa bertanya padanya ya? Aduh…! Aku malu… Aku tidak berani bertanya padanya…
Malam itu tentu saja dilewatkan oleh Natsumi Kyoko dengan mimpi indah. Ribuan cahaya manis bersaing ribuan gemintang bintang datang menyapa kesadaran mimpi Natsumi Kyoko.