Chereads / 3MJ / Chapter 3 - Sedikit Sebab-Musabab

Chapter 3 - Sedikit Sebab-Musabab

Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu. Kini tampak kelima sahabat itu berkumpul di coffee shop yang terletak dekat sekolah. Maxy Junior celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Dia belum melihat batang hidung Mary Juniar yang katanya juga ingin makan siang di coffee shop tersebut. Mungkin masih sibuk dengan teman-temannya di dalam sekolah, pikir Maxy Junior.

"Cari siapa? Si Celine?" tanya Thobie Chiawan.

"Dia tidak mungkin bisa makan siang di sini. Anak rumahan kayak begitu biasanya makan di rumah…" kata Rodrigo Wisanto.

"Bukannya meremehkan atau apa… Tadi aku ada cari informasi sebentar tentang si Celine itu. Anak kelas sebelas alias kelas SMA 2 di sekolah kita juga. Nama lengkapnya Celine Quade Tjandra. Ayah ibunya buka toko berjualan alat-alat tulis. Dia bisa masuk ke sekolah ini karena memang dia sangat pintar matematika dan berhasil memperoleh beasiswa sekolah ini. Mana mungkin anak dengan kondisi perekonomian seperti itu diizinkan ayah ibunya makan siang di coffee shop seperti ini. Bangkrut dong…" cetus Verek Felix dengan nada santai.

"Aku tidak sedang menunggu si Celine itu. Aku sedang menunggu adikku. Mary tadi bilang ingin makan siang di sini juga, tapi sampai detik ini belum menampakkan diri," ujar Maxy Junior.

Keempat temannya membentuk huruf O kecil dengan bibir mereka.

Tak berapa lama kemudian, seorang pelayan datang menghampiri mereka dan mengambil pesanan mereka.

"Ada rapat orang tua dan guru lagi… Dan seperti tahun-tahun kemarin, kita tidak mendapatkan undangan bukan?" celetuk Saddam Demetrio sepeninggal si pelayan yang berlalu pergi.

"Sudah menjadi rahasia umum orang tua kita memiliki investasi saham di sekolah ini jadi mereka tidak perlu hadir di sekolah ini," sahut Maxy Junior. Ibunya memang ada menanamkan saham sekitar 30% ke pihak yayasan sekolah.

"Tapi, waktu kita kelas sepuluh, ayahmu ada hadir kan, Rod?" tanya Verek Felix kepada Rodrigo Wisanto.

"Ada… Itu karena dia ingin menambah jumlah investasinya di sekolah – ingin bersaing dengan jumlah saham ayah ibu kalian mungkin," celetuk Rodrigo Wisanto asal-asalan dan acuh tak acuh.

"Atau mungkin dilihatnya bisnis sekolah Newton Era itu semakin berkembang dari tahun ke tahun? Jumlah murid barunya bertambah terus tiap tahun kan?" tukas Thobie Chiawan.

"Entahlah… Aku tidak pernah mau pusing-pusing mengurusi apa yang menjadi urusannya – begitu juga dengan sebaliknya…" kata Rodrigo Wisanto mengangkat kedua bahunya dengan enteng. "Dia terlalu sibuk mengurusi bisnis-bisnis dan istri-istri simpanannya."

"Ada di mana ibumu sekarang, Rod?" tanya Thobie Chiawan dengan sorot mata serius.

"Ada di Bali… Buka salon di sana barengan pacar barunya yang katanya orang RRC. Jarang dia telepon ke Jakarta sini. Aku juga malas contact sama dia. Setiap kali chat atau calling, aku juga tidak tahu apa yang mesti kubicarakan sama dia."

Suasana hening sejenak tatkala pelayan datang menghidangkan makanan dan minuman pesanan mereka.

"Dan bagaimana dengan ayahmu, Thob?" tanya Rodrigo Wisanto kepada Thobie Chiawan sekarang.

"Masih sama… Ketika ibuku meninggal sepuluh tahun lalu, ayahku gonta-ganti istri tiap tahun, sama kayak dia gonta-ganti mobil dan rumah. Aku memiliki belasan adik tiri yang bahkan aku tidak ingat lagi nama-nama mereka. Aku hanya kenal wajah mereka."

"Kau masih tinggal sendiri di PIK?" tanya Verek Felix.

"Tentu saja… Aku takkan tahan tinggal berdua dengan ayahku dan sekumpulan istri-istri barunya dan setiap hari bisa bertemu dengan saudara-saudara tiriku yang berbeda-beda," tukas Thobie Chiawan sembari mendengus dan menyeringai kecil. "Bagaimana denganmu, Ver?"

"Yang mana yang ingin kauketahui? Ayah atau ibu?" tanya Verek Felix meledak dalam tawa renyahnya.

"Ibu dulu…" Thobie Chiawan sedikit mengulum senyumannya.

"Ibuku dengan suami barunya ada di Medan. Suami barunya itu kudengar salah satu pemegang saham mayoritas di salah satu hotel top di sana. Entahlah… Aku tidak banyak tanya ke dia dan jarang contact sama dia." Verek Felix mengangkat bahunya petanda acuh tak acuh.

"Ayah?" sahut Saddam Demetrio.

"Ayahku baru saja bercerai dengan istrinya yang kelima, dan bulan lalu kudengar baru saja menikah dengan istrinya yang keenam di Beijing. Istri keenamnya itu orang RRC. Kira-kira begitulah yang aku dengar dari salah satu adik tiriku akhir-akhir ini," gumam Verek Felix dengan nada santai.

"Sama kayak ayahku kalau begitu… Ayahku ada tanam saham pada salah satu kasino di Manila. Kepincut dengan salah satu gadis penari di kasino itu. Jadilah gadis kasino itu istrinya yang kedelapan sekarang. Aku dengar dari salah satu saudara tiriku begitu ya…" kata Saddam Demetrio meledak dalam tawa santainya.

"Ibumu sendiri sekarang tinggal di mana?" tanya Maxy Junior merasa penasaran. Sudah lama mereka tidak saling tukar kabar seperti ini.

"Ada di Papua sana… Ketemu dengan seorang karyawan pertambangan emas yang berasal dari Kanada. Kepincut mereka satu sama lain. Kalau nggak salah, mereka menikah awal Januari lalu dan sekarang masih tinggal di Papua. Kerjaan suami barunya di Papua itu masih belum selesai kudengar."

"Kalau sudah selesai?" tanya Thobie Chiawan sekarang.

"Ibuku tentu saja akan ikut suami barunya ke Vancouver," sahut Saddam Demetrio dengan santai.

Tampak Maxy Junior sedikit menghela napas panjang.

"Bagaimana denganmu, Maxy? Kau masih sering sembahyang ke makam ayahmu?" tanya Saddam Demetrio kali ini. Maxy Junior hanya menganggukkan kepalanya tanpa berkata apa-apa.

"Kau sudah memaafkan ibumu atas apa yang telah ia lakukan pada ayahmu sehingga ayahmu bisa… bisa… bisa bunuh diri?" tanya Rodrigo Wisanto sedikit takut-takut karena itu akan memancing kemarahan dan kekesalan Maxy Junior.

"Aku takkan pernah bisa lupa hal yang pernah ia perbuat pada ayahku sehingga ayahku bisa bunuh diri. Hanya saja, selama ini aku berusaha untuk tidak membencinya," sahut Maxy Junior tersenyum skeptis.

"Kau sebenarnya tahu siapa ayah kandungmu bukan? Selama ini ada terpikir olehmu untuk menemuinya dan bicara dengannya?" tanya Saddam Demetrio lagi dengan nada yang sangat hati-hati agar Maxy Junior tidak marah.

Maxy Junior mengangguk. "Iya… Aku tahu siapa dia… Namun, aku tidak berniat untuk menemuinya. Aku tidak pernah berhadapan secara emosional dengannya. Dia tidak pernah benar-benar mengurus kami. Dia tidak pernah benar-benar melaksanakan peranannya sebagai seorang ayah kepadaku, kepada Mary, maupun Martin. Dalam hatiku, selamanya aku takkan pernah bisa menerimanya sebagai ayah kandungku."

Mereka mulai melahap makanan masing-masing. Maxy Junior tenggelam ke dalam alam pikirannya yang terdalam. Tidak ada yang bicara setelah itu.