Begitulah kehidupan anak-anak jetset dengan perhatian yang kurang dari orang tua atau perhatian yang terlalu berlebihan. Ada semacam pemberontakan dalam jiwa mereka, untuk menjerumuskan diri ke dalam apa yang mereka percayai sebagai 'kebebasan'.
Ternyata pesta ulang tahun si Yamin yang mereka bicarakan tadi diadakan di sebuah pub di Bogor juga. Shunsuke mengendarai mobil dan membawa kedua adiknya ke pub tersebut. Terlihat mobil yang dikendarai oleh Shunsuke masuk ke dalam pelataran parkir bagian belakang bangunan pub tersebut. Shunsuke, Natsumi Kyoko dan Ciciyo masuk dari pintu belakang. Dengan sedikit sogokan, tentu saja kedua bersaudari yang sebenarnya masih di bawah umur itu diizinkan masuk.
Mobil Rodrigo Wisanto juga masuk dan berhenti di areal parkir pub yang kebetulan bersebelahan dengan pub yang dimasuki oleh ketiga bersaudara Suzuki barusan. Tentu saja keempat sahabat itu sempat melirik ke wajah cantik kedua bersaudari Suzuki yang begitu memesona dan menggiurkan.
"Wow… Cantik sekali…" kata Thobie Chiawan sedikit menurunkan kacamata hitamnya.
"Aku lebih sorr dengan yang berambut panjang sedikit bergelombang itu daripada yang berambut pendek sebahu itu. Yang berambut panjang itu seperti model-model Korea itu saja…" kata Rodrigo Wisanto terus memandangi Natsumi Kyoko dari ujung rambut hingga ujung kaki sampai bayangan Natsumi Kyoko menghilang masuk ke dalam pub.
"Coba saja Maxy Junior juga tiba lebih cepat di sini… Aku yakin ia akan langsung mencari tahu tentang gadis berambut panjang itu," celetuk Verek Felix sembari menyeringai nakal.
"Iya… Dia tak jadi ikut mobil kita karena dia mau menjemput si Celine Quade itu dan mengantarnya ke sini," sambung Saddam Demetrio dengan mata yang mengerling-ngerling nakal.
"Hahaha… Bisa kubayangkan sesampainya di sini si Celine itu akan terkena serangan jantung. Pingsan di tempat pun bisa." Rodrigo Wisanto meledak dalam tawa renyahnya.
"Oke… Maxy Junior bilang kita tidak usah menunggunya. Kita langsung ke kamar masing-masing dan bersenang-senang ini kan?" tukas Verek Felix. Ketiga temannya mengangguk serempak.
"Hai, Tuan Saddam… Tak menyangka Tuan Saddam akan ke sini malam ini…" sapa seorang wanita setengah baya yang berpakaian cukup glamor.
"Ada barang bagus malam ini, untukku dan untuk ketiga temanku juga?" tanya Saddam Demetrio mengindikasikan ketiga temannya yang berdiri di belakangnya. Tampak si wanita setengah baya tersenyum sedikit menjijikkan.
"Ada lima barang baru hari ini sih, Tuan Saddam. Namun, yang Tuan minta itu hanya ada satu saja… Sisanya memang masih remaja, tapi sudah pernah dijebolkan oleh pacar mereka yang kemudian meninggalkan mereka begitu saja," bisik si wanita setengah baya merasa sedikit tidak enak hati. Saddam Demetrio mengangkat tangan kanan ke udara petanda ia sudah mengerti apa yang dikatakan oleh si wanita setengah baya itu.
Ia menyampaikan berita yang sama kepada ketiga temannya di belakang.
"Ya sudah… Barang segar itu diberikan ke Maxy saja. Sayang kan kalau kita yang pakai. Soalnya kita palingan tahan maksimal tiga kali. Bagaimana menurut kalian?" usul Thobie Chiawan.
"Aku fine-fine saja sih…" kata Saddam Demetrio menyeringai nakal. "Asalkan dapat bersenang-senang dengan barang yang tidak pernah aku jumpai di Jakarta malam ini…"
"Memang aku rasa Maxy yang lebih cocok menggunakan barang segar itu… Dia lebih telaten dalam mempergunakan produk-produk baru yang ada," kata Verek Felix.
"Aku terserah kalian saja. Palingan aku dua kali pun sudah bosan…" kata Rodrigo Wisanto.
Saddam Demetrio kembali berbicara dengan si wanita setengah baya.
"Oke… Sisakan barang segar itu untuk satu temanku yang akan menyusul kemudian," kata Saddam Demetrio. Si wanita setengah baya itu mengangguk mantap.
"Lima barang ini sudah dites kesehatan?" tanya Verek Felix lagi.
"Dijamin, Pak. Kami tidak akan sembarangan memasarkan barang yang tidak aman," kata si wanita setengah baya lagi.
Singkat cerita, mereka diantar ke kamar masing-masing. Minuman-minuman beralkohol terpampang di atas meja. Kondom dalam kemasan beragam warna juga terpampang di rak yang lengket ke dinding masing-masing ruangan. Tampak gadis-gadis belia yang akan melayani mereka ditutup mata mereka sehingga mereka takkan bisa melihat wajah Saddam Demetrio dan kawan-kawan.
Saddam Demetrio dan Verek Felix memutuskan untuk minum sedikit dengan gadis-gadis belia tersebut sebelum menggiring mereka ke meja eksekusi. Sementara itu, Thobie Chiawan dan Rodrigo Wisanto yang sudah tidak tahan lagi langsung menggiring gadis-gadis belia tersebut ke meja eksekusi. Terdengar jeritan dan lenguhan dari dalam kamar tersebut. Di luar, musik keras terus menghentak dan bersatu padu dengan penerangan pub yang remang-remang.
Celine Quade mulai terkesiap dengan sekujur tubuhnya yang bergelugut hebat ketika Maxy Junior membawanya masuk ke dalam sebuah pub yang jauh dari Jakarta. Maxy Junior membawanya masuk ke dalam sebuah kamar. Matanya kontan terbelalak lebar melihat beragam varian kondom di rak yang menempel di dinding. Napasnya tertahan di paru-paru ketika ia melihat banyak sekali minuman beralkohol yang dijejerkan di atas meja di depannya. Dia duduk di kursi dengan takut-takut.
"Inilah kencan pertama kita… Apa kau bisa minum?" tanya Maxy Junior mendekatkan diri ke arah Celine dan menawarkannya satu minuman beralkohol.
Sungguh Celine Quade tidak menyangka. Maxy Junior, yang pintar dalam hampir semua pelajaran, yang selalu masuk tiga besar tiap semester, yang digandrungi oleh banyak gadis muda di sekolahnya, ternyata adalah seorang anak main, seorang player, seorang fuckboy dari kalangan jetset.
"Sepertinya kau tidak bisa minum ya… Mau kupesankan cocktail saja? Cocktail itu kadar alkoholnya lebih rendah. Aku rasa itu lebih cocok untukmu yang tidak begitu terbiasa minum," kata Maxy Junior. Lagi-lagi ia menampilkan sebersit senyuman menawan yang benar-benar melambungkan jiwa Celine Quade ke langit ketujuh dan hampir membuatnya berlutut menyerah.
Namun, kesadaran Celine Quade masih waras. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Celine Quade sebenarnya sedikit banyak menyadari dengan paras wajah dan perawakan fisik yang sempurna, dan dengan latar belakang keluarga yang berasal dari kalangan jetset, tidak heran Maxy Junior bisa menjadi seorang anak main yang sudah cukup berpengalaman.
"Mau kupesankan cocktail?" tanya Maxy Junior lagi. Celine Quade hanya bisa menggeleng dengan badannya yang sudah bergelugut hebat.
"Oke… Apakah kalau begitu kita sudah bisa langsung ke intinya saja?" tanya Maxy Junior dengan begitu lembut.
Tangan Maxy Junior mulai meraba paha Celine Quade di balik roknya yang berwarna hitam pekat. Celine Quade terhenyak bukan main. Ia langsung mencegah tangan itu untuk bergerak semakin jauh dan semakin dalam.
"Aku… Aku… Aku ingin pulang, Maxy Junior…"
"Katamu tadi pagi ketika di sekolah kau ingin berpacaran denganku. Aku sudah bertanya padamu dengan jelas kan? Apa kau yakin kau ingin berpacaran denganku padahal kau belum begitu mengenalku? Kau bilang ini adalah kesempatan kita berdua untuk saling mengenal dengan lebih baik. Inilah kesempatan itu, Honey…"
Tangan Maxy Junior masih meraba paha Celine Quade meski ia tidak bergerak semakin dalam dan semakin jauh lagi. Begitu dekat wajah laki-laki itu dengan wajah Celine Quade. Tercium aroma parfum caramello yang begitu menggetarkan sukma. Terdengar desahan napas yang lemah lembut di telinga Celine Quade. Namun, kesadaran Celine Quade yang masih waras memintanya untuk segera keluar dari pub tersebut.
Kini Maxy Junior mengecup ringan telinga Celine Quade dan berbisik, "Pulanglah… Anggap saja cokelat tadi pagi tidak pernah kauberikan padaku. Dunia kita berdua sungguh tidak cocok."
"Aku… Aku… Aku tidak begitu mengenal jalan pulang. Ini sudah di luar Jakarta," kata Celine Quade masih tergagap-gagap.
"Oke… Akan kuminta salah satu pengawalku mengantarmu pulang…" kata Maxy Junior lagi. Dia bergerak menjauh dan mengeluarkan ponselnya. Kali ini Celine Quade bisa sedikit bernapas lega.
Tampak Maxy Junior mengetik-ngetik sesuatu pada ponselnya. Tak berapa lama kemudian, masuklah seorang bodyguard wanita, sepertinya orang Papua, dalam usia pertengahan empat puluhan, ke dalam ruangan tersebut. Tampak si bodyguard wanita berseragam cukup formal.
"Antarkan dia balik ke Jakarta. Turunkan saja di Bundaran HI. Habis itu, kau kembali lagi ke sini…" kata Maxy Junior santai.
"Baik, Maxy…" kata si bodyguard wanita. Maxy Junior menganggukkan kepalanya sembari menampilkan senyuman menawan yang menjadi ciri khasnya. Kemudian, ia memberikan isyarat mata kepada si bodyguard wanita itu untuk melakukan sesuatu.
Mendadak nan sekonyong-konyong, si bodyguard wanita membongkar tas tangan yang dibawa oleh Celine Quade. Dia mengeluarkan dua ponsel Celine Quade dari dalam tas dan membantingnya ke lantai. Juga dengan sekali injak, bodyguard wanita itu berhasil menghancurkan dua ponsel tersebut. Terdengar Celine Quade sedikit memekik tertahan ketika bodyguard wanita itu kini menggeledah seluruh isi tasnya dan juga sekujur badannya.
"Nanti sesampainya di Bundaran HI, dia akan memberimu ponsel yang baru. Pulanglah…" Masih tampak senyuman menawan Maxy Junior ketika dia sedikit mendorong tubuh Celine Quade untuk keluar dari ruangannya.
Maxy Junior kemudian mengetik-ngetik sesuatu lagi pada ponselnya. Tak berapa lama lagi, seorang gadis belia dengan pakaian yang begitu minim, yang nyaris telanjang, dengan dipakaikan penutup mata, dituntun masuk ke dalam ruangan eksekusinya malam itu.
Bulu kuduk Celine Quade berdiri dan ia sungguh merasa bergidik. Ia sedikit banyak bersyukur bukan dialah yang akan dieksekusi oleh Maxy Junior di dalam ruangan karaoke itu. Ingin sekali ia menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya kepada teman-temannya besok pagi di sekolah. Namun, kedua ponselnya telah dihancurkan. Tanpa bukti, hanya sedikit yang akan percaya dengan ceritanya. Celine Quade menghela napas panjang. Dia yang berasal dari kalangan biasa-biasa saja tentu takkan menang melawan mereka yang berasal dari kalangan atas seperti Maxy Junior Tanuwira itu.
Remiak ketakutan menggelimuni beranda hati Celine Quade Tjandra. Ia berjalan keluar dari pub tersebut dan masuk ke dalam sebuah mobil yang telah ditentukan untuknya.