Chereads / Menikahi Bening / Chapter 10 - Terciduk

Chapter 10 - Terciduk

Bening keluar dari kamar mandi. Ia keluar masih memakai gaun pernikahan kami. Rambutnya yang basah ia balut dengan handuk. Aku menatapnya semakin tajam. Membuat Bening salah tingkah.

"Maaf..." Ia nyengir. "Aku pinjam handuknya." Sepertinya ia mengerti arti tatapanku padanya. "Mas, gak akan bersih-bersih?" tanyanya kemudian. Dia duduk tanpa canggung di sofa kamarku.

Sebenarnya, apa yang dirasakan istriku saat ini? Sungguh aku tak bisa menebak isi hatinya. Sebagai orang yang tiba-tiba mendadak dinikahkan seharusnya ia memberontak. Aku beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Saatku masuk aku melupakan handukku, aku keluar dari kamar mandi dengan cepat. Saat itu, pemandangan pertama yang aku lihat adalah perempuan yang menjadi istriku itu sedang memijat betis kakinya. Aktivitasnya terhenti, seperti maling yang ketauan.

"Hehe...tadi kelamaan berdiri, kakiku pegal," ucapnya. "Mas, udah selesai bersih-bersihnya?"

Aku mendekatinya hendak meminta handuk yang sedang ia pakai di rambutnya. "Ah, handuk ya?" lagi, seperti bisa mengertikan diriku, ia hendak melepaskan handuknya dan memberikannya padaku. Aku hendak menerima, tapi ia menarik kembali handuknya. Sumpah, gedeg banget saat itu!

"Mas, gak punya handuk lain? Ini basah lho, Mas," ucapannya benar. Handuk itu basah. Tanpa berbicara aku melangkahkan kakiku menuju lemari dan mengambil handuk yang baru. Tanpa memperhatikan istriku lagi, aku masuk ke dalam kamar mandi. Dibalik pintu aku bersandar. Mengapa jantungku berdebar-debar ketika melihat rambut basah istriku yang tergerai saat ia melepaskan handuknya. Dia begitu seksi, cantik dan...segar.

Sungguh pikiran halal yang terkutuk!

***

Entah berapa lama aku di dalam kamar mandi. Aku melamun tak karuan. Harus bagaimana aku menghadapi situasi yang terjadi saat ini. Terlebih ada orang asing yang tiba-tiba saja menjadi istriku.

Seseorang mengetuk pintu kamar mandi. "Mas, Mas gakpapa, kan? Mas pingsan?" Itu Bening yang menyahuti. Aku terdiam dan tak ingin menjawab. "Mas! Mas baik-baik aja, kan? Mas!" ketukan pintu itu menjadi gedoran.

Aku membuka pintu kamar mandi. Keluar dari sana. Tak ingin menyahut aku melewati Bening yang memang sepertinya khawatir padaku. "Mas, gakpapa, kan?" Dia bertanya sambil mengikutiku ke ruang ganti.

Aku tetap cuek dan tak menanggapinya. Aku sibuk memakai kaos dan celana pendek untuk tidur. Sekilas aku lihat Bening membalikkan tubuhnya membelakangiku ketika aku berpakaian.

"Mas, aku mau bicara," ujarnya.

"Udah malem, aku capek," ketusku.

"Ah, ya. Mas bener. Oke kalo gitu, besok kita bisa bicara, kan, Mas?" tanyanya.

"Hm," jawabku.

Aku naik ke tempat tidurku, mengibas kelopak bunga mawar yang menghiasi tempat tidurku. Kemudian aku menyelimuti seluruh tubuhku, tenggelam dalam selimut yang hangat.

Satu menit...

Sepuluh menit...

Tak ada tanda-tanda yang terguncang di sebelah tempat tidurku. Aku membuka perlahan selimut yang membungkus tubuhku. Gerah. Mengintip apa di sebelahku ada seseorang atau tidak. Ternyata, kosong.

Seketika aku membuka selimut lebar-lebar. Seperti ada sesuatu yang hilang.

Aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok yang telah menjadi istriku. Rasa bergemuruh dari dalam dada tak bisa aku kendalikan. Padahal sosoknya baru saja hadir beberapa saat yang lalu, di sini.

Rasa lega langsung menyelimuti kalbu saat aku menangkap sosok yang aku cari ternyata tertidur di sofa kamarku. Tubuhnya meringkuk dengan gaun resepsi pernikahan tadi sebagai selimutnya. Tangannya dilipat memeluk dirinya sendiri. Malam ini memang terasa dingin. Beruntung hujan turun di saat pesta tadi berakhir.

Aku menghampirinya yang sedang tertidur lelap di sofa. Ia tak terusik sama sekali ketika aku berjongkok di dekatnya. Matanya terpejam rapat membuat bulu mata lentik itu terlihat indah. Tanganku terhenti bahkan sebelum menyentuhnya karena ia meluruskan kakinya yang tadi ditekuk. Tak lama kemudian seperti mencari sesuatu di antara kakinya, ia menarik-narik gaun yang ia kenakan untuk menutupi kakinya. Tanpa permisi aku memegang telapak kakinya yang terasa dingin. Apa ia kedinginan? Apalagi ia tertidur di saat rambutnya masih terasa basah.

Entah ada apa dengan naluriku ini. Aku membungkukkan tubuhku lalu tanganku bergerak mengangkat tubuhnya. Perlahan aku berjalan membawanya menuju tempat tidur.

"Nak, apa kalian sudah ti..." Aku menghentikan langkahku dan seketika menjatuhkan Bening yang berada dalam gendonganku. "...dur?" Tanya mama terjeda.

"AWW!" Bening memekik karena tubuhnya membentur karpet bulu. "Ah," dia berusaha bangun.

"Ups, maafin mama. Abis ini beneran deh mama gakkan ganggu," mama tersenyum geli.

"Ini gak seperti yang mama kira," ucapku datar lalu berjalan meninggalkan Bening yang sedang mengaduh mengusap bokongnya.

"Lha, dasar bocah tua! Itu istrinya kesakitan bukannya ditolongin malah ditinggalin! Gimana sih kamu!" Mama mengomeliku dan membantu Bening untuk berdiri. "Kamu gakpapa kan, Sayang?"

"Aku gakpapa kok, Bu."

"Dasar anak bandel!" Mama sudah mendaratkan pukulannya di punggungku, membuatku berjingkat kaget dan otomatis melindungi diri sebagai tameng jika mama memborbardir tubuhku. "Kalo malu gak usah nyakitin istrimu sendiri!"

"Apaan sih, Mama. Aku gak ngapa-ngapain," aku mengelak.

"I-iya kok, Bu. Kami tidak melakukan apa-apa. Ini salah paham aja." Bening menyahut.

"Ngapa-ngapain juga gakpapa, kok. Tenang aja." Mama mengedipkan sebelah matanya, membuat wajah Bening merona. "Gak usah malu." Yaelah, begini nih kalo punya ibu yang modelnya kayak mama.

"Mama ngapain ke sini? Aku mau istirahat," tanyaku ketus.

"Judes amat sih. Ngambek ya Mama ganggu?" Mama terkekeh, aku udah memasang ekspresi siap mendebat mama lagi.

"Oke-oke, Mama gakkan ganggu kalian lagi. Ini, Mama mau kasih baju ganti buat mantu Mama. Pernikahan ini mendadak, jadi Bening belom nyiapin semuanya. Ayok, cepetan ganti gaunnya. Gak nyaman kalo tidur pake gaun. Kebetulan Mama ada piyama tidur yang masih baru. Kayaknya ini pas buatmu," tutur Mama. "Maafin mama karena mama gak sempet nyiapin seserahan buat kamu," ekspresi mama menjadi sendu dan penuh sesal. Mama menyiapkan segalanya dengan sempurna. Tapi ia melewatkan ritual seserahan.

Bening menerima bajunya dengan riang. "Gakpapa, Bu. Makasih buat bajunya."

"Mama! Panggil aja seperti Aslam manggil Mama. Kamu juga putriku sekarang," sanggah Mama.

"Iya, M-ma."

"Ya udah, cepetan ganti. Trus istirahat. Ini juga, keringingin dulu rambutnya sebelum tidur. Gimana sih kamu, Nak? Istrimu bisa sakit nanti!" Bawelnya Mama, ampyun! Aku lagi yang disalahin...dikeringin pake apa coba? Aku bukan cowok melankolis yang segala ada di meja rias termasuk hair dryer.

"Ya udah mama pergi dulu. Maaf udah ganggu, kalo mau lanjutin, lanjutin aja yang tadi. Awas! Yang lembut sama istrimu. Pelan-pelan aja. Tapi cepet kasi mama cucu." Mama pamit dengan godaannya yang menjengkelkan. Aku berjalan lalu mengunci pintunya setelah mama keluar dari kamarku.

"Kok dikunci, Mas?"

Aku berjalan menaiki tempat tidurku. "Kamu mau kejadian kayak tadi terulang lagi? Orang lain bisa salah paham!" kesalku.

"Ya lagian kenapa, kok tadi Mas bisa jatohin aku? Seingatku, aku tadi tidur di sofa lho," tutur Bening membuat aku tak bisa bicara. "Mas? Mas!"

"Udah, ganti baju sana! Aku capek, mau tidur!" Menenggelamkan kembali seluruh tubuhku ke dalam selimut.

"Aku kan cuma nanya, jutek amat sih!" Bening menggerutu pelan, tapi masih terdengar olehku.

Kenapa aku bisa sekesal ini padanya? Padahal ia memang gak salah apa-apa.

Sejujurnya aku begitu malu...

***

Keesokan paginya.

Entah berapa lama aku tertidur, mengingat semalam aku tak bisa tidur sama sekali. Semalaman aku menahan diri dalam selimut yang bikin aku gerah. Aku tak bisa membuka bajuku karena tak ingin Bening melihatku tanpa baju ketika kutidur. Mengingat hal itu, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Berharap kejadian kemarin hanya mimpi. Tapi ternyata mimpi ini belum berakhir. Lihatlah, kamar yang disulap seperti kamar pengantin ini masih belum berubah.

Aku menoleh ke sebelah kananku. Sudah banyak sekali kado yang masih terbungkus rapi dan menggunung. Entah sejak kapan kado-kado itu ada di sudut ruangan? Membuat kamar ini semakin berantakan.

"Pagi..." Seseorang menyahut. "Baru bangun, Mas?" Senyuman cerah itu membuatku memandangnya lekat. "Ke air dulu, Mas. Nih, aku udah bikinin sarapan," ucapnya kemudian meletakkan satu nampan sarapan yang ia bawa tadi. Ada susu hangat dengan nasi goreng. Dan kurasa itu bukan bikinan mama. Aku tak tertarik!

Aku melihat tampilan Bening saat ini. Dia memakai baju yang ia kenakan kemarin saat tak sengaja menguping pembicaraan kami. Dress di bawah lutut yang sederhana. Rambutnya diikat tinggi. Warna peach itu membuat kulit putihnya semakin terekspos, apalagi sinar matahari itu membuatnya berkilauan. Sungguh pemandangan yang indah ketika kau terbangun dari mimpi burukmu. Tidak! Ini bukan mimpi buruk. Aku seharusnya bersyukur karena mempunyai istri semanis dia. Dan...apa-apaan ini? Junior, kenapa kau straight di saat yang tidak tepat? Sungguh memalukan!

Aku bergegas pergi ke kamar mandi. Tak ingin istriku tau apa yang terjadi di antara selangkanganku. Aku harus mengguyur diriku dengan air dingin. Kulihat Bening menatapku dengan bingung.

*

"Mas, di minum dulu susunya. Mumpung masih anget." Bening menyodorkan segelas susu itu kepadaku saatku selesai berpakaian. Aku meneguk susunya sampai habis. Bening tersenyum. Ia masih menungguiku. "Nasi gorengnya, Mas." Menyodorkan satu piring nasi goreng. Aku enggan memakan masakan orang lain selain mama. "Ini enak kok, Mas. Dijamin Mas pasti ketagihan," ucapnya kemudian seolah tahu apa yang aku pikirkan. "Ayo, duduk dulu deh, Mas. Mas harus sarapan, dari kemarin Mas belom makan," ajaknya menarik tanganku untuk duduk.

Aku melirik tangannya yang menarik tanganku. Sebenarnya aku kesal. Kenapa aku bisa menurutinya. Erina, aku harus mengingat Erina agar hatiku ini tak goyah!

Langkah kami terhenti ketika ada sesuatu yang membuat aku terfokus padanya. "Apa ini?" dengan gerakan refleks aku mengangkat tangannya yang bernodakan memar yang sudah membiru.

"I-ini..."

***

EPILOG

Rasa lelah membuat aku tidur tanpa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi hari ini. Sesungguhnya banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan pria yang sudah sah menjadi suamiku. Suami dadakanku.

Tapi melihat keadaanya yang sepertinya kelelahan juga, aku mengalah dan tak ingin mendebatnya. Besok, ya, masih ada hari esok, bukan?

*

Saat ini aku berada di dalam kamar mandi. Aku menangis sambil mengelus lenganku yang sudah mulai memar akibat cengkraman kuat Mas Aslam tadi siang ketika ia mengira aku menguping pembicaraannya. Ia mencengkram tepat pada tulang lenganku yang terdapat pen. Lenganku semakin terasa sakit karena ia menendangku ketika aku membangunkannya untuk sholat subuh. Tepat pada lenganku yang terluka. Mungkin tak sengaja. Tapi ini sungguh-sungguh terasa sakit...

TBC