Sudah pukul lima sore. Kami sudah menyelesaikan semua project tepat waktu. Klien pun puas dengan semua hasilnya. Rio memang partner kerja yang bisa diandalkan.
Sejenak aku meluruskan punggungku dengan bersandar pada sofa, kaki berselonjor ke atas meja kaca, aku memejamkan mataku.
"Belum mau pulang, eih? Mau gue temenin?" Rio menyahut. Sepertinya dia bersiap akan pulang.
"Duluan aja. Gue mau istirahat bentar," jawabku malas tanpa membuka mataku.
"Yowis, gue pulang duluan. Kapan lagi gue bisa pulang masih sore kek gini." Rio terkekeh.
"Lo juga sebaiknya cepet pulang. Ingat, ada orang yang nungguin lo sekarang. Gue pamit!" Rio keluar dari ruangan.
Aku membuka mataku kemudian. Ucapan Rio menyadarkanku. Ada seseorang yang menungguku? Ya, sejenak aku lupa kalo aku sudah menikah. Mengingat aku sudah beristri sekarang membuat perasaanku menghangat. Apalagi aku mempunyai istri yang tak biasa. Aku tersenyum samar bila mengingat semua kelakuannya. Aku menghela lalu menghembuskan nafas. Beranjak berdiri untuk segera pulang.
***
"Pak Aslam!" Aku menghentikan langkahku saat seseorang memanggilku. Suara ketukan heels pada lantai marmer itu menggema dengan cukup tergesa. "Maaf, Pak." Hilda, dia kepala HRD di kantorku.
"Ya?" Aku menoleh padanya.
"A-pa benar kalo Bapak sudah menikah?" tanyanya sambil menundukkan kepala.
Aku menatap Hilda dengan pandangan tajam. Mengamati ekspresinya. Lalu kuputuskan menjawabnya dengan jujur, "Ya. Saya sudah menikah."
Seketika Hilda mengangkat kepalanya. Menatapku dengan tatapan tak percaya. "I-itu gak benar, kan, Pak?" Matanya sudah berkaca-kaca, tapi aku tak tersentuh sedikitpun. "Tapi mengapa?"
"Apa ada hal lain yang lebih penting? Saya harus segera pulang." Aku mengalihkan pertanyaannya. Malas sekali berurusan dengannya.
"Tapi ini penting!" Hilda berteriak. Untung saja suasana kantor sudah sepi karena karyawan yang lain sudah pulang dari jam empat sore. "Ini penting bagiku!" ucapnya menggebu.
"Pelankan suaramu! Kamu berani berteriak pada atasanmu?" Aku tak kalah memolototinya. Sikapnya sungguh tak sopan sekali.
"Selama ini, kamu anggap apa aku ini?" tanyanya mulai menangis, bahkan bicaranya sudah gak formal lagi.
"Apa kamu cuma manfaatin aku lalu setelahnya kamu membuangku, begitu? Selama ini aku diam dan merahasiakan hubungan kita, tapi kamu...kamu malah menikahi orang lain?" Hilda histeris.
"Cukup, Hilda! Saya gak ada waktu buat ladenin ucapan kamu. Satu hal yang perlu kamu tau, saya, tidak pernah memanfaatkan kamu! Justru kamu yang memanfaatkan saya di saat saya hilang kesadaran! Dan itu, kamu sendiri yang datang sukarela!" ucapku dengan menggebu-gebu, menggertakkan rahang dengan keras menahan emosi yang seakan ingin meledak dengan keras.
"Lagipula, saya tidak melakukannya waktu itu!" Tegasku.
Hilda mengusap air matanya dengan kasar, lalu ia tertawa getir dengan penuh ejekan. "Heh, ya, kamu memang tidak melakukannya, karena memang kamu tidak bisa melakukannya. Kamu pria dewasa yang tidak matang. Aku penasaran, apakah istrimu itu lari di malam pertama kalian? Atau...justru kamu sendiri yang kabur karena tak ingin istrimu tau kalo kamu...tidak bisa memuaskannya..."
Aku mengepalkan tanganku, jika Hilda adalah pria, mungkin aku akan menghajarnya saat itu juga. Tak bisa aku pungkiri apa yang hilda ucapkan memang benar adanya. Apakah aku bisa straight kembali? Apa cuma Erina yang bisa membangkitkan gairahku kembali? Tidak, semenjak bertemu Bening istriku, hanya dengan menatap atau berdekatan dengannya membuat gairahku bangkit. Padahal tidak ada cinta di antara kami.
"Sudah kuduga, kalian belum melakukannya, bukan? Apa kamu takut istrimu tau kalo kamu gak bisa memuaskan serta memberinya keturunan?"
Ah, pengen kusumpal mulutnya itu. Hilda benar-benar masalah yang harus aku bereskan. Aku kira dia takkan memperpanjang masalah yang terjadi di antara kami. Tepatnya sekitar enam bulan yang lalu. Saat itu pikiranku yang sedang kalut karena memikirkan Erina dan begitu merindukannya. Hatiku kacau karena Erina mengabaikan semua pesan yang aku kirim lewat sosmednya. Aku meminum wine yang aku stok di dalam ruang kerjaku hingga mabuk. Saat itu, Hilda datang ke ruanganku dan merayuku. Aku tau, Hilda memang menyukaiku sejak ia masuk sebagai kepala HRD di kantorku. Dan sepertinya ia rela melakukan apa saja demi mendapatkanku. Sampai-sampai ia rela menyerahkan dirinya padaku karena saat itu aku mengira dia adalah Erina. Namun, saat itu hal yang tak terduga pun terjadi. Di mataku, bayangan Erina terus melekat dan tak bisa dihilangkan, tapi, lagi-lagi junior tak mau bangkit hingga membuat Hilda kesal karena sepertinya kabut gairahnya sudah memuncak. Hingga pada akhirnya Hilda menyerah meninggalkan aku yang tertidur pulas.
"Terserah apa yang kamu ucapkan. Sampai besok saya melihat bayangan kamu di sini, maka aku pastikan, kamu gak akan hidup tenang!" Ancamku pada Hilda. Aku meninggalkannya dalam kekesalan dan pulang membawa luapan emosi. Tak peduli saat itu apakah masih ada orang yang berada di sekitar situ atau tidak. Tapi kurasa suasana cukup sepi saat itu. Ya, semoga saja...
Sebenarnya aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Mengingat Hilda wanita yang nekad berbuat apa saja. Padahal dia seorang pegawai dengan skill yang mumpuni, dia juga bisa dibilang cantik bagi pria yang mungkin terpesona padanya.
Dengan kasar aku menutup pintu mobilku. Lalu memukul kencang kemudi mobil yang ada di depanku. Padahal salah apa mobilku ini? Dengan kasar pula aku segera melajukan mobilku untuk segera pulang.
Namun, bukannya pulang, aku malah membelokkan mobilku ke salah satu kelab malam yang biasanya aku datangi. Masih cukup sore aku tiba di sana. Suasana kelab tersebut pun masih sepi. Denyan gusar aku duduk di depan meja bar dengan tangan menumpu sambil meremas rambut kepala.
"Tumben masih siang." Seseorang menyahut. Rudy, pemilik kelab yang memang salah satu temanku juga. "Butuh relaxing?" tanyanya. Maksud dari perkataannya adalah seorang penghibur. Ya, aku membutuhkannya!
Tanpa sadar aku mengangguk menanggapi pertanyaannya.
Tak lama kemudian Rudy tiba dengan beberapa perempuan seksi. Aku menelisik satu persatu, lalu memilih salah satunya yang menurutku paling cantik. Yang lainnya bubar karena tidak aku pilih. Sebut saja namanya A karena aku tak peduli siapa nama perempuan yang kini sedang menuangkan vodka padaku. Aku menyesap minumannya, ditemani wanita A yang dengan sabar melayaniku. Hingga entah sudah berapa banyak gelasvodka yang aku teguk. Padahal aku tau, kadar alkohol dalam vodka cukup tinggi, hanya dengan satu gelas kecil saja bisa membuat orang yang meminumnya merasa berputar.
Wanita A kini mulai merayuku, ia sengaja menempel-nempelkan tubuhnya yang seksi padaku. Sejenak aku memejamkan mata, merasakan setiap jamahan dari tangannya. Namun, ini benar-benar keterlaluan! Mengapa kau masih saja tertidur wahai masa depanku?
Aku menyerah. Benar-benar menyerah! Kali ini terserah apa yang dipikirkan wanita A itu. Ucapan Hilda terngiang kembali dalam kepalaku. Dengan kasar aku mendorong wanita A hingga terjatuh lalu memekik kesal padaku. Dia pergi.
"Tak bisa straight lagi, eih?" Rudy duduk di sebelahku yang sedang merasakan pusing. Aku memejamkan mata dengan tangan memijat-mijat pelipisku.
"Apa lo perlu bantuan lainnya? Selain perempuan, misalnya." Ada nada keraguan dalam ucapannya.
Seketika aku membuka mataku lalu menatap Rudy dengan tajam. "Sialan, lo!"
Rudy tertawa hambar, "Ya...siapa tau lo emang gak normal semenjak Erina ninggalin elo."
Ya, hidupku memang gak normal lagi selama setahun ini. Kepergian Erina membuat hidupku berbalik 180 derajat. Tak bisa dipungkuri, aku memang sangat sukses sekarang. Aku mapan dengan usahaku sendiri. Bahkan pundi-pundi rupiah menggemukkan rekeningku dan entah seberapa kayanya diriku ini hingga sampai anak cucu pun takkan habis jika digunakan. Dan...aku juga sudah menikah...
Hening...
Hening...
"Apa sama halnya dengan bini lo?" celetuk Rudy menanyakan hal yang tak bisa aku jawab. "Lo diam, berarti sama aja, bukan?"
"Kami belum melakukannya," tukasku seketika. "Tapi gue straight hanya dengan memandang dan menyentuhnya. Maksudnya menyentuh dalam artian bersentuhan saja. Walau tak sengaja." Dengan mudahnya aku bicara begitu saja pada Rudy. Mungkin karena pengaruh vodka, sehingga membuatku sedikit berani dan hilang kendali.
Rudy menatap lekat wajahku. Seketika ia tertawa terbahak-bahak. "Seriusan?" aku mengangguk. "Wahh...hebat juga bini lo. Selain Erina, ternyata ada yang bisa bikin tuh senjata andalan bangun! Eh, next lo kenalin bini lo lebih dekat sama gue, oke?"
"Gak oke!" tukasku. Entah mengapa saat Rudy ingin mengenal istriku lebih dekat, aku begitu kesal.
"Pelit banget lo! Gue juga gak pelit kasih lo relaxing secara cuma-cuma."
"Gue tarik saham gue di sini!"
"NO!! Gue janji bakal kasih lo relaxing lebih sering tiap kali ke sini. Asal lo juga jangan pelit-pelit." Rudy mengedip-ngedipkan matanya.
"Apa maksud lo?" menahan kesal.
"Masa lo gak paham. Gue tau, ampe kapanpun cuma ada Erina dalam hati lo. Ya...siapa tau aja lo gak butuh, bini lo bisa..."
Aku meremukkan gelas yang sedang aku genggam dengan penuh emosi sebelum Rudy melanjutkan ucapannya. Ucapan Rudy seolah ia ingin berbagi istriku dengannya. Apa-apaan ini? Dan mengapa aku marah? Aku begitu tak suka seolah Rudy melecehkan istriku.
"Te-tenang, Bro. Santuy...oke?" Rudy tergeragap. Gelas yang ada di tanganku sudah remuk hingga pecahannya melukai telapak tanganku. "Ta-tangan lo berdarah!" Rudy panik namun dengan jelas aku bisa melihatnya ia takut jika aku menghajarnya. Tapi aku tak peduli. Dengan emosi pula aku meneguk sisa vodka yang masih tersisa setengahnya langsung dari botolnya. Setelah habis aku langsung melempar botol kosong itu hingga pecah dan berserakan di lantai. Kemudian, aku tak sadarkan diri...
***
EPILOG
Ponselku bergetar ketika aku hendak mengemudikan motor matic-ku. Tertera nama Bang Iyo di sana. Aku memasang headset menerima panggilannya lalu mulai menjalankan motorku.
"Ya, Bang." Aku menyahut meninggalkan halaman toko yang sudah aku tutup karena sekarang pukul delapan malam. Mbak Yuni dan Kak Iman udah pamit pulang. Sebenarnya deg-deg'an karena jam segini aku masih keluyuran di luar dan berharap semoga suami juga mertuaku tidak mengintrogasiku. Walaupun tadi mama udah menelpon menanyaiku.
"Kamu di mana?" tanyanya.
"Otw pulang," jawabku.
"Datang ke kelab X sekarang!" Perintahnya dengan nada yang bergetar.
"Idih, ogah. Gue gak demen ke tempat begituan, Bang!" Aku menolak. "Tar dilaknat sama Allah! Apalagi kalo tar Mas Aslam tau, bisa-bisa aku di gantungnya," sahutku keras.
"Datang ke sini secepatnya! Ato abang yang seriusan bakalan gantung laki lo sekarang juga!" ancam Bang Iyo menakutkan.
Membuatku akhirnya membelokkan kemudi motorku ke tempat yang disebutkannya tanpa bisa membantah lagi.
TBC