Bening bergegas mempercepat laju motor matic-nya. Ia sudah tak peduli akan ucapannya sendiri. Masalah dilaknat Allah urusan nanti. Yang penting suaminya berada di kelab yang Mario sebutkan tadi agar Bening segera datang. Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia menggerutu dibalik doanya agar diberikan keselamatan karena tindakan ekstrimnya - mengebut di jalanan ibu kota yang cukup lenggang.
Sepuluh menit, waktu yang Bening tempuh agar sampai di kelab yang Mario sebutkan. Bening memarkirkan motornya sembarangan. Hingga petugas parkir menegurnya karena tidak tertib. Ia bergegas lari dan hendak masuk ke dalam. Di ambang pintu ia meragu, bangunan kelab malam itu sekilas seperti gedung kantor kosong dan gelap yang karyawannya sudah berpulang kerja.
"Ada yang bisa saya bantu, Non?" tanya salah satu petugas keamanan.
"Emm...saya mencari seseorang," jawab Bening.
"Cari siapa?"
"Saya hubungin abang saya dulu deh, Pak." Bening berbalik lalu menghubungi Mario.
"Bang, aku di luar. Gimana masuknya ini? Hah? Abang sini aja jemput aku! Oke, aku tunggu."
Bening berjalan mondar mandir menunggu Mario menjemputnya. Tak lama kemudian seseorang memanggilnya. Bening menoleh lalu berlari ke arah Mario.
"Ayok, ikut Abang!" ajak Mario. Bening mengikutinya.
Pada pintu pertama Bening tak merasakan atau mendengar suara apapun hingga Mario mangajaknya masuk ke dalam sebuah lift. Angka 20 yang Mario tekan saat pintu lift tertutup lalu mengangkut mereka ke lantai yang Mario tekan tadi. Di dalam lift Bening merasa harap-harap cemas. Entah mengapa ia begitu mengkhawatirkan pria yang jelas-jelas takkan mengharapkan kedatangannya. Meskipun mereka adalah suami istri, tapi Bening tahu, pernikahan mereka didasari oleh keterpaksaan. Walau begitu, Bening tahu dan masih mengingat pria yang menjadi suaminya adalah pria terindah yang Bening lihat ketika ia melewati masa kritisnya dan mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit yang menimpanya setelah kecelakaan itu terjadi. Di taman rumah sakit itulah Bening melihat sosok indah namun rapuh yang membuat semangat hidupnya kembali.
Hingga suara dentingan lift yang membawa mereka berhenti dan membuyarkan lamunan Bening. Tanpa bersuara Bening masih mengikuti Mario. Jika ada yang memegang tangannya pasti bisa merasakan betapa dinginnya telapak tangannya saat ini. Mario menangkap ekspresi tegang dari adik angkatnya itu. Dengan berhati-hati ia menggenggam telapak tangannya membuat Bening menoleh seketika. "Tenanglah," dengan tersenyum Mario menenangkannya.
Mario melangkah melewati lorong-lorong sepi yang hanya ada beberapa penjaga berbadan besar dan berpakaian serba hitam menundukkan kepalanya saat Mario melewati mereka.
"Abang sering ke sini?" tanya Bening.
"Ya, sesekali. Temen abang yang punya kelab ini," jawab Mario.
"Trus, Bang Iyo ngapain ke sini?" tanya Bening lagi. Sebenarya ia merasa geli sendiri akan pertanyaannya. "Maksudku, apa tante sama om tau kalo Abang suka ke tempat kayak gini?"
Tepat di saat Bening mengutarakan pertanyaannya, saat itu pula Mario menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu besi seperti lift tapi ini lebih besar. Mario menempelkan sebuah kartu akses pada sisi pintu dan men-scan-nya. Pintu pun terbuka. Masih ada pintu lain yang di depannya ada seorang penjaga yang berwajah tanpa ekspresi. Dia membukakan pintu kaca gelap tersebut lalu mempersilahkan Mario dan Bening masuk dengan sopan.
Satu langkah pertama ketika Bening memasuki pintu itu. Dari luar jelas sekali tak terdengar suara dentuman dari musik yang di putar begitu keras. Nuansa di dalam ruangan begitu remang hanya berbiaskan cahaya dari lampu kerlap kerlip yang di padukan suara musik yang di putar oleh seorang disc jokey (DJ). Hiruk pikuk terdengar ketika orang-orang yang sedang meliuk-liukan badannya merasa kesal karena sang DJ tersebut bercanda mempermainkan mereka yang sedang berjoget ria di lantai dansa.
"Sorry-sorry, hehe. Oke lanjut have fun every body!!" Teriak DJ tersebut lalu memutar musik kembali lalu menyerahkannya pada DJ yang lain. Sedang dia meninggalkan tempatnya bermain lalu berlari menyusul Mario.
Ya, bukan semata karena mempermainkan orang-orang di lantai dansa, Edwin sang DJ, menghentikan musiknya karena perhatiannya teralihkan ketika melihat Mario menuntun seorang gadis yang berpakaian jauh dari kesan seksi dibanding para perempuan yang berada di kelab malam. Gadis bercelana jeans dengan hoodie kebesaran, sepatu kets bladusnya dengan topi yang dipakai Bening menyita perhatiannya. Edwin berjalan dengan tergesa menyusul Mario.
Mario membawa Bening berjalan menyusuri lorong yang kini jauh dari kebisingan. Banyak pintu-pintu tertutup, seperti kamar hotel pintu tersebut diberi nomor yang terpajang di depannya. Langkah mereka terhenti tepat di depan pintu di ujung lorong dengan bertuliskan VVIP.
"Apa...di sini?" tanya Bening yang diangguki Mario sebagai jawaban.
"Ayok, kita masuk," ajak Mario. Ia masih belum melepaskan genggaman tangannya. Bahkan ia bisa merasakan betapa tegang dan takutnya Bening ketika mereka mulai memasuki pintu kelab tersebut.
Bukan tanpa alasan Bening bersikap seperti itu. Tepatnya tiga bulan setelah ia pulih dan kembali membantu tante Lily di toko. Seorang pelanggan memesan cake ulang tahun dan menyuruhnya mengantarkan cake tersebut ke alamat yang ternyata sebuah kelab malam. Pelanggan tersebut merayakan ulang tahunnya di kelab malam dan membuat Bening tidak nyaman karena tak sedikit pria 'kelaparan' mengganggunya. Beruntung pelanggan yang memesan cake ulang tahun tersebut membantu Bening untuk segera keluar dari kelab dan meminta maaf padanya.
Pintu yang bertuliskan VVIP itu dibuka. Hal pertama yang Bening lihat adalah suami dadakannya yang sedang terbaring di atas tempat tidur dengan noda darah di bajunya.
"Eh, lo udah balik?" Rudy bangkit dari kasur tempat ia duduk di dekat Aslam. Pandangannya seketika teralihkan pada sosok perempuan yang masih dituntun Mario. "Siapa dia, eih?" tanyanya kemudian.
Mario menoleh pada Bening. Dan memilih tak menjawabnya.
"Ke-kenapa Mas Aslam?" dengan bergetar Bening berusaha tetap tenang.
"Ah...ya! Dia bininya Aslam, kan? Gue inget sekarang!" Pekik Rudy. "Hai, kenalin, gue Rudy, sahabatnya Aslam. Selamat ya atas pernikahan kalian. Waktu itu gue buru-buru pulang jadi gak sempet ngenalin diri. But, you look so beautiful waktu itu." Panjang lebar Rudy mengenalkan diri dengan mengulurkan tangannya. Namun, Bening tak membalas uluran tangannya dan malah mengabaikannya. Membuat Rudy kikuk dibuatnya.
"Mas Aslam kenapa, Bang?" tanyanya lagi pada Mario.
"Hahaha," tiba-tiba seseorang tertawa keras di ambang pintu. Membuat semua mata teralih padanya. "Lo dikacangin. Haha." Rasanya
Rudy ingin sekali menjitak kepala Edwin.
"Laki lo mabok," ujar Rudy kesal. "Tapi luka ditangannya udah ditangani tadi," sambungnya kemudian.
Bening menoleh pada telapak tangan suaminya yang dibalut perban. Lalu menatap Rudy dengan nanar seolah meminta penjelasan.
"Di-dia...meremukkan gelas," jelasnya.
"Kenapa?" cecar Bening. Rudy tak bisa menjawab apa yang terjadi. Karena ia pun tak mengerti kenapa Aslam bersikap seperti tadi. Apa harus ia menceritakannya? Tapi jika ia bicara, maka sama halnya ia menjatuhkan dirinya ke dasar jurang. Ia tak ingin teman-temannya itu salah paham. Apalagi ada Bening yang menjadi topik utamanya.
"Sudah, percuma kamu tanya dia. Abang tadi udah tanya tapi dia gak mau jawab," tutur Mario, ia menatap Edwin yang seakan ingin mengetahuinya juga.
"Kenapa lo di sini dan bukannya bekerja?" bertanya pada Edwin yang sedari tadi masih berdiri di ambang pintu.
"Gue penasaran aja lo bawa cewek manis itu ke sini," jawabnya datar.
Tak lama kemudian terjadi pergerakan dari tempat tidur, Aslam tersadar. Ia mengerjapkan matanya, lalu perhatiannya teralihkan karena sudah ada empat orang yang berdiri mengelilinginya.
***
"Wah...kalian berkumpul, eh?" ucapku dangan parau ketika membuka mataku. Aku menatap telapak tangan yang terbalut perban dan mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Seketika ingatanku menembus parimeter disela-sela rasa sakit yang mendera kepalaku. Aku menoleh pada sosok lain yang berada di antara ketiga temanku. Gadis mungil bertopi putih dan berjaket hoodie kebesaran itu membuat aku memfokuskan diri padanya. Bukan karena itu aku menatapnya tajam, tapi pada sebuah tangan yang menggenggam erat telapak tangan mungilnya. Seketika aku terlonjak dan masih terduduk di tempat tidur karena rasa sakit pada kepalaku semakin mendera. Dan anehnya aku malah terkekeh, merasa konyol akan tingkahku.
"Istri kecilku..." Aku meracau. "Auramu sepertinya membuat para lelaki itu menginginkanmu..." Ya, aku masih dalam pengaruh alkohol. "Rio...Bang Iyo-mu itu...dia...dia menyukaimu dan menginginkanmu. Apakah kau tau?" Aku memandang lekat pada telapak tangan yang masih saja tak lepas sedikitpun. "Dan...Rudy. Duda beranak satu itu menginginkanmu juga..." Kulihat Rudy menegang. Tatapan Mario dan Edwin langsung beralih pada Rudy.
"I-ini gak seperti yang kalian pikirkan," Rudy tergeragap.
Aku malah semakin terkekeh. Lalu menatap nyalang pada istriku. "Kau tau, Sayang? Rudy sengaja memberiku relaxing dan seketika dia kabur karena aku tak bisa straight! Rudy mengejekku...dia bilang aku bahkan tak bisa menyenangkan istriku!" Aku semakin meracau. Dan mengapa aku memanggilnya sayang?
"Rudy bilang ingin memuaskanmu untuk menggantikanku!" Aku mengepalkan tangan, membuat darah kembali merembes karena luka yang terbuka lagi.
Kulihat Mario melepaskan genggaman tangannya pada Bening yang sepertinya menegang. Seketika Mario merangsek pada Rudy dan mencengkram kerah bajunya. "Apa benar, Rud? Kenapa lo ngomong kayak gitu?"
"Sudah! Kenapa kalian seperti ini?" Edwin melerai.
"Dan kenapa lo ada di sini, eh?" Aku menatap Edwin dengan sinis. Merasa aneh karena biasanya anak itu bersikap acuh.
"Aku melihat dia membawa gadis itu!" tunjuknya pada Bening. "Gue kira Mario membawa relaxing untuknya. Namun jauh dari jangkauan, dia malah membawa gadis yang jauh dari kesan seksi dan itu membuat jiwa kepo gue berontak. Karena gadis itu menarik perhatianku..." jelas Edwin begitu jujur.
Sial! Sepertinya perkataan dan tindakan teman-temanku itu memicu adrenalinku.
"Ha..." Aku menepuk tangan menyanggah ucapan Edwin. "Tak terduga, istri kecilku ini menjadi pusat perhatian..." Aku memandang satu persatu wajah teman-temanku.