Chereads / Menikahi Bening / Chapter 21 - Lepas Kendali

Chapter 21 - Lepas Kendali

Keesokan harinya...

Pagi ini aku beraktivitas seperti biasanya. Setelah kemarin aku bolos, hari ini pekerjaanku pasti berlipat ganda. Walaupun ada Mario yang sebenarnya bisa meng-handle semua pekerjaan, tapi setelah kejadian di kelab Rudy waktu itu, aku tak mendapatkan kabar atau pesan apapun darinya seharian kemarin.

Apa Mario marah dan kesal padaku karena dengan sengaja mencium Bening di hadapannya?

Lalu, mengapa ia harus kesal dan marah padaku? Hei, Bening istriku! Aku berhak melakukan apapun padanya, bukan?

"Mas, ini bekalnya." Bening muncul membuyarkan lamunan kesalku.

Ia menaruh bekal makan siang di atas meja kaca. Lalu menghampiriku yang sedang memakai jas kerjaku sambil berkaca.

"Mas udah mau berangkat, kan?" Tanyanya membantu membenahi jas yang sudah aku kenakan.

Aku merasa terkesiap. Bahkan aku merasa gugup ketika dia begitu dekat denganku. Jarak kami hanya sejengkalan tangan. Tingginya memang hanya sampai dadaku. Namun dengan begitu aku bisa mencium aroma wangi shampo dari rambutnya. Kulihat Bening tertunduk. Ah, jangan sampai 'ini' bangkit!

"Mas, boleh nggak, aku..." ucapnya meragu. "Aku...ke toko lagi?" semakin menunduk takut. Tangannya meremmas kerah jas di dada. Apa dia begitu takut padaku? Tangannya saja sampai bergetaran.

Ya, mungkin Bening takut padaku mengingat kejadian kemarin ketika aku tak bisa mengontrol ucapanku karena emosi. Aku melarangnya bekerja, seolah harga ini terenggut karena tak bisa membiayai serta menafkahi kebutuhannya. Aku tidak salah, bukan? Aku hanya ingin istriku ini menungguku di rumah saja. Menghabiskan waktu atau melakukan hal yang ia mau, aku takkan melarangnya asal itu bukan bekerja.

Jika itu Erina, mungkin dia akan menghabiskan tabunganku, membeli apapun yang ia mau seperti dulu. Walaupun aku yakin jika tabunganku takkan habis. Bukannya sombong, karena uang bisa dihasilkan kembali jika kita bekerja lebih keras lagi. Uang yang dihasilkan akan lebih bermanfaat dan menjadi lebih berkah apabila digunakan oleh orang yang tepat karena mereka berbahagia menggunakannya dengan baik dan tepat pula.

"Gak boleh, ya..." pegangannya perlahan terlepas, wajahnya lesu. Apakah ia sadar atau tidak, namun aku tak ingin pegangan tangannya lepas dari tubuhku. Dengan refleks aku menahan tangannya.

"Kenapa?"

"Hah?" Bening terkesiap saatku menahan tangannya. Lalu ia mendongak menatapku.

Wajah itu...wajah polos tanpa make-up namun begitu manis. Aku sungguh tak bisa melepaskan pandanganku padanya. Dia perempuan yang sebenarnya bukan kriteriaku. Bahkan membayangkannya saja tidak pernah terlintas dalam benakku untuk memperistri seorang perempuan seperti dirinya yang jauh dari kata sempurna seperti Erina.

Bila dibandingkan dari apapun, dia memang jauh berbeda dari Erina. Tapi, mengapa dia begitu memikatku?

Seolah pandanganku tak ingin berpaling darinya. Bahkan ketika mata ini terbuka untuk pertama kalinya saat terbangun, hal yang ingin kulihat adalah wajah teduhnya. Bagai orang gila, aku mencari hanya sekedar bayangannya saja bila dia tak ada ketika kubangun dari lelapnya tidur.

"Mas?" Aku mengerjap, lupa apa yang hendak aku katakan. Perlahan ia hendak melepaskan tangannya dari genggamanku. Kulihat memarnya mulai memudar, syukurlah. Kurasa ia rajin mengoleskan salepnya.

"Maksud Mas apa bertanya kenapa?" tanyanya.

"Pandang saya jika bicara!" Tegasku tak ingin ia menunduk.

"Ya." Ia mendongak. Ah, mengapa ia sungguh menggemaskan?

"Kenapa kamu pendek sekali..." Lirihku tanpa sadar.

"Hah? Haruskah aku les berenang untuk mempertinggi tubuhku? Atau rajin minum susu pertumbuhan karena aku masih dalam masa pertumbuhan satu tahun lagi?"

Ambyar sudah moment yang kukira akan romantis itu. Aku sudah mendekatkan diriku padanya dan hampir saja aku mengecup keningnya sebelum pertanyaan konyol itu menggangguku. Masa pertumbuhan? Akh, ucapannya membuatku sungguh mengingatkan aku tentang usiaku. Aku melepaskan tangannya.

"Kenapa kamu ingin bekerja? Apa perkataanku kemarin kurang jelas?" kesalku. Lalu berjalan melewatinya, mencari jam tangan mana yang akan kupakai.

"Aku sangat mengerti jika Mas melarangku untuk bekerja. Tapi aku harus ke toko. Mbak Yuni kesulitan tanpa bantuanku. Banyak sekali pesanan kue dan bunga," jelasnya mengikutiku.

"Ada tante Lily yang mengurus semuanya, bukan?" Aku berjalan mondar mandir ke sana ke mari tanpa tau sebenarnya apa yang hendak aku lakukan. Aku merasa cemas.

"Ya, tapi kan itu tugasku." berjalan mengikutiku.

"Bening." Aku menghentikan langkahku dan berbalik.

"Ya, Mas." Terbentur dadaku karena aku mendadak berhenti. Ia mengusap dahi serta hidungnya.

"Saya paling tidak suka jika ada orang yang membantah peraturan yang sudah saya buat," ucapku lambat-lambat agar ia mengerti.

"Ya, Mas. Aku mengerti," ucapnya. "Tapi..."

"Ya sudah jika kamu mengerti. Saya terlambat sekarang," sanggahku kemudian. Tak ingin berdebat lagi.

Mengapa aku kesal istriku itu tak mematuhiku? Aku takut, karena aku tak bisa melihatnya lagi...sungguh pemikiran yang konyol. Padahal tak kurang dari seminggu aku mengenalnya. Ya, kami mungkin dipertemukan selama sembilan bulan ini. Tapi aku baru benar-benar mengenalnya sekarang.

"MAS!" Ya ampun, bukannya bersikap baik dia malah berteriak?

"Bening!" Aku membalasnya dengan geraman.

"MAS, TAPI INI GAK ADIL! Mas boleh bekerja, sedang aku tidak. Mas boleh melakukan yang Mas mau, trus, aku nggak, gitu? Katanya Mas gakkan menganggap aku ada karena di hati Mas cuma ada Erina. Bahkan dulu Mas bersikeras kalo aku bukan istri idaman yang Mas mau. Jadi, biarkan aku melakukan apa mauku juga!" Wah...wah...punya keberanian dari mana istriku ini berteriak serta membangkangku? Sampai-sampai aku tak bisa berkutik akan ucapannya.

"Pokoknya, dengan atau tanpa izin dari Mas, aku bakalan tetap pergi ke toko. TITIK!" Tegasnya lalu mengambil tas dan menyelempangkannya.

Aku begitu kesal sehingga membuatku gelap mata. Aku menariknya dengan kasar lalu membantingnya ke tempat tidur. Emosi yang sudah merambah naik membuat aku menciuumm bibirnya dengan sedikit kasar. Aku menjadi bernaffsu karenanya. Ciummanku semakin dalam dan menuntut. Tak ingin aku melepaskan pagutanku pada kemanisan bibirnya. Aku menahan tangannya ketika ia meronta menjauhkan diriku darinya. Aku semakin kesal. Diri ini semakin liar menjelajah titik-titik sensitifnya. Dengan kasar pula aku menyingkap kaos yang ia kenakan hingga kulit mulus perutnya terlihat. Aku semakin buas, menyesap kulit mulus perutnya dengan gemas dengan tanganku yang semakin nakal menjelajah pada sesuatu yang begitu pas di tanganku, begitu hangat...

"M-mas..." lirihnya ketakutan, tubuhnya menggelinjang.

Aku tak peduli! Hasrat yang begitu lama terpendam ini harus tuntas. Sekian lama rasa ini kembali lagi. Tidak, aku tidak berpikiran tentang Erina. Hanya Bening, hanya istriku yang sekarang ada di kepalaku!

Aku melempar sembarangan jas yang membalut tubuhku. Dengan sebelah tangan masih menahan tangan istriku agar ia tak memberontak. Sorot matanya takut padaku. Sekali lagi, aku tak peduli!

Kaos hitam model turtle neck yang aku kenakan membuatku gerah. Aku melepas kaosnya lalu melemparnya. Kemudian, aku membuka ikat pinggangku, membuka kancing dan menurunkan resleting celanaku, melonggarkannya. Isi di dalamnya sudah memberontak ingin segera keluar. Sekian lama, akhirnya aku straight! Ya, aku selalu straight jika berada di dekatnya.

Aku menunduk kembali. Merasakan manisnya bibir yang sudah membengkak itu. Tak peduli ia meronta, tanganku dengan liar menjamah sesuatu yang pas di tanganku. Aku mengangkat sedikit pinggangnya untuk lebih merapat padaku, melepas kancing celana jeans miliknya lalu menurunkan resletingnya, menurunkan sedikit celananya sehingga menampilkan CD berwarna pink yang ia kenakan. Aku menggesekkan punyaku di bagian inti yang masih tertutup CD-nya. Ahh...hangat... Sungguh, aku menginginkannya saat itu juga!

"Nak, mama sama pap..." mama tiba-tiba membuka pintu, menerobos masuk ke dalam kamar. Oh, Ma...apakah tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu? Aktivitas brutal ini terhenti. Kami terciduk lagi...

Namun kali ini aku benar-benar melakukan sesuatu yang begitu mendamba pada istriku. Dan kesalahanku adalah selalu lupa mengunci pintu kamar. Mungkin masih kebiasaan setelah pasca kecelakaan itu mama memperingati supaya aku tidak mengunci pintunya karena terlalu khawatir akan keadaanku. Tapi situasi kali ini beda, Ma...tidak bisakah mama mengerti?

"Maaf-maaf, silahkan lanjutkan lagi!" Seru mama buru-buru menutup pintu.

Aku berdecak sebal. Memukul kasur dengan kasar. Membuat Bening memejamkan matanya karena takut. Cairan di sudut matanya mengalir. Hingga akhirnya kesadaranku kembali ketika melihat air yang sudah menganak sungai di sudut-sudut matanya itu. Bening terisak tanpa suara. Tubuhnya gemetar. Aku melihat keseluruhan dirinya yang tampak kacau karena perbuatanku. Mama pasti melihatnya walaupun di sudut yang berbeda. Aku pasti membuatnya malu. Aku memang bangga karena ini sah sah saja. Dan aku bebas melakukannya pada istriku. Tapi...seharusnya ini adalah hal yang paling privacy di antara kami.

Aku menurunkan kaos yang tadi aku singkapkan. Tubuhnya terkesiap ketika aku melakukannya. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Dia menangis...

"Maaf," aku merengkuh tubuhnya. Seolah melindunginya dari pandangan apapun. "Maaf..." Aku menyesal. Sungguh aku bersikap tak sopan padanya. Bening meronta ketika aku merengkuh tubuhnya yang sedang berbaring. Namun rontaannya tak urung membuatku berpaling darinya. Aku semakin memperat pelukanku padanya. Hingga ia menyerah lalu menangis sepuasnya dalam rengkuhanku tetap dengan kedua telapak tangan yang menutup wajahnya.

Pagi ini...aku membuka awal yang mungkin buruk untuk istriku sendiri.

Perihal mama yang tiba-tiba muncul, aku bersyukur, seolah tuhan mengingatkanku untuk tidak berbuat lebih jauh lagi. Aku teringat karena istriku masih berhalangan...

***

Bening mencium punggung tanganku ketika aku hendak berangkat kerja. Dia tidak menatapku dengan binar matanya. Tanpa mau berlama-lama membiarkan aku meninggalkan rumah, Bening masuk ke dalam rumah. Tak ada teriakan pemberi semangatnya, tak ada lambaian tangan penuh ceria. Dengan lunglai aku memasuki mobilku. Kejadian tadi membuat aku merasa begitu bersalah.

Tapi di mana letak kesalahannya? Wajar saja jika aku begitu menggebu padanya. Ya, memang salahku. Dengan emosi aku memperlakukannya dengan tidak hormat. Bahkan tak ada suasana romantis yang seharusnya aku berikan padanya.

Aku menyalakan mobil lalu melajukannya. Betapa terkejutnya diriku ketika di depan gerbang rumah sudah berdiri sosok yang sedari tadi ada dalam pikiranku. Selama itukah aku melamun?

Kulihat ia melihat waktu pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Aku menghentikan mobilku lalu keluar menghampirinya.

"Mau ke mana? Bukannya tadi kamu masuk ke dalam?" tanyaku dengan gusar. Padahal tak begitu lama ketika kulihat tadi ia buru-buru masuk ke dalam rumah. Kapan dia keluar dengan rapi seperti itu? Bahkan tas sudah terselempang ditubuhnya.

"MAU KE MANA?!" Aku tak bisa menahan emosiku.

"A-aku..." gugupnya. Ada sinar ketakutan dalam matanya.

"Kamu gak denger apa yang suami perintahkan, hah?" Sial, mengapa mulut ini gak bisa terjaga bila menyangkut soal istriku? Aku marah, karena...takut kehilangan?

"I-iya, aku tau, Mas. Tapi tolong izinkan aku untuk ke toko hari ini. Mbak Yuni beneran kerepotan kalo aku gak bantu. Banyak sekali pesanan kue hari ini," jelasnya.

"Pliss," mohonnya.

"Mas, beneran deh aku janji, setelah ini aku bakalan nurutin apa yang Mas suruh. Aku gak bakalan membangkang lagi. Tapi tolong Mas jangan galak-galak dan bersikap menakutkan kayak tadi..."

Aku terdiam, menatapnya dengan wajah yang sedang memelas seperti itu membuatku merasa serba salah. Aku tak tega, sungguh! Tapi aku juga tak ingin membebaskannya.

Wahh, pria macam apa aku ini? Sungguh sikap yang egois. Rasa takut kehilangan begitu mendominasi jika ia benar-benar pergi.

TBC