"Makanya nurut apa yang suami bilang. Ini akibatnya kalo membantah sama suami."
Aku mengomel sambil mengobati sikunya yang terluka dan pergelangan kaki Bening yang sudah membengkak dengan mengompresnya. Setelah sebelumnya terjadi drama menarik ulur kakinya yang merasa tak enak karena aku menyentuh kakinya. Bukan tanpa alasan aku menarik kakinya ke atas pahaku. Entah mengapa aku merasa pantas untuk melakukannya.
"Iya...maaf," lirihnya.
"Lain kali dengerin apa kata suami. Gara-gara kamu, Mas jadi kena omelan mama. Belum lagi tadi, gara-gara anak kecil itu membuat kamu dalam bahaya dan mas_" ucapanku terjeda.
Mas? Kenapa aku memanggil diriku sendiri seperti itu? Rasanya geli, tapi mengapa mengalir begitu saja dari mulutku seolah aku ingin terbiasa dengan panggilan itu.
"Maaf..." sesalnya lagi. "Tapi kan, gak harus terus-terusan ngomel juga kali, Mas..." Bening menunduk. Bibirnya mengkerut. Mungkin ia kesal tapi tak berani membantah omonganku.
"Kamu benar-benar merepotkan," desisku.
"Aku kan, gak minta Mas buat ngelakuin ini semua. Mas yang bersikeras mau kompresin kakiku." Kali ini dia melawan. Aku menghentikan aktivitasku, lalu menatap Bening dengan tajam.
"Mas, nyebelin!" Semburnya lalu menarik handuk kompres dari tanganku dan menarik kakinya ke atas sofa.
"Maaf," ucapnya kemudian ketika aku menatapnya dengan dingin.
"Abisnya Mas kenapa bawel banget. Biasanya juga irit ngomong." Mengompres kakinya sendiri sambil mendumel.
Ya, kenapa aku cerewet sekali? Aku merasa seperti diriku yang dulu. Yang bawel dan gak sabaran. Ini seperti aku yang tak bisa menahan diri untuk mengekspresikan perasaanku.
"Udah makan belum?" Tanyaku memecah keheningan yang membentang antara kami. Hanya ada suara air yang diperas dari handuk kompres.
"Udah," jawabnya.
Hening...
"Mas sendiri, udah makan?" Tanyanya kemudian.
"Sudah," jawabku.
Bening menyimpan handuk kompresnya. Kemudian ia menurunkan kakinya dan hendak berdiri dengan berhati-hati.
"Mau ke mana?" Tanyaku merasa iba ketika ia berjalan tertatih-tatih entah mau ke mana.
Tanpa mau menjawab, Bening berjalan menuju tempat tidur lalu mengambil sesuatu dari dalam laci nakas. Kemudian ia berjalan kembali ke arahku sambil membawa bungkusan plastik putih dari tangannya.
"Mana tangan Mas," pintanya mengulurkan tangan. Aku memandang telapak tangannya yang menunggu. "Tangan Mas yang luka," ujarnya.
"Mau ngapain?" Aku malah panik sendiri. Merasa takut Bening melakukan sesuatu yang aneh-aneh.
"Susah amat, sih." Menarik telapak tanganku yang dibalut perban. "Ini dari pagi belom diganti perbannya? Mas ini jorok banget." Kali ini giliran dia yang mengomel sambil membuka balutan kain kassa pada telapak tanganku yang terluka.
"Ini kalo gak diganti bisa infeksi. Banyak kumannya tau. Nih, lihat! Perbannya udah kucel gini. Gak kebayang berapa banyak ini kuman-kuman yang menempel." Dengan telaten ia mengobati luka pada telapak tanganku lalu menggantinya dengan perban yang baru.
Tak henti-hentinya ia bicara. Dalam diam aku memperhatikannya. Setiap kalimat demi kalimat yang ia ucapkan, seakan mengalun begitu indah dan mendayu-dayu di telingaku.
"Udah selesai...!" riangnya membuyarkan pandanganku, menatapnya.
Aku menatap telapak tangan yang sudah terbalut perban dengan rapi. Seperti seorang perawat ia begitu telaten mengobati tanganku.
"Udah malem, sebaiknya kita istirahat," ucapnya kemudian.
Setelahnya, kami pun beristirahat. Kami berdua sudah merebahkan diri di tempat tidur. Bening membelakangiku, kurasa ia merasa canggung akibat kejadian tadi pagi. Ya, kali ini aku memaksanya untuk tidur di kasur. Rasanya begitu hampa ketika tadi ia bersikeras untuk tidur di sofa. Apalagi aku mencemaskan kakinya yang bengkak jika tidur tidak nyaman.
"Mas?" akhirnya ia bersuara memecah keheningan yang terbentang. Namun, ia masih membelakangiku.
"Hm," hanya itu tanggapanku.
"Makasih, udah ngizinin Byan untuk tinggal di sini." Aku tak merespon ucapannya.
Aku malah sibuk memandang langit kamarku. Memandang dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. Lagipula bukan aku yang mengizinkannya, papa dan mama yang membawa masuk anak itu.
Sebenarnya siapa anak kecil itu? Terbuat dari apa dirimu sebenarnya duhai istri dadakanku? Sehingga kau rela mengorbankan tubuhmu hanya untuk menolong anak itu. Bahkan rasa sakit sepertinya tak kau hiraukan. Padahal, bahaya bisa saja menghampirimu. Beruntung, jatuhnya kamu dari motor tadi tidak berimbas pada tanganmu yang hampir sembuh dari memar.
Hatimu, mengapa aku tak bisa menebak isi di dalamnya? Sikapmu layaknya buku yang terbuka, tapi aku sama sekali tak bisa memahami isinya.
Aku memandang punggung mungil yang ringkih itu. Luka pada siku tangannya itu membuatku merasa tak enak hati. Kenapa aku sesedih ini melihatnya terluka? Bahunya terlihat naik turun dengan teratur. Seakan mengajak tubuhku ingin selalu mendekapnya.
"Apa kau tidur?" tanyaku, dan tak ada jawaban.
Aku bangun dengan perlahan, bagai seorang pencuri yang mengendap-endap takut ketahuan, aku memandang wajahnya yang tenang ketika tertidur lelap. Cantik, mengapa akhir-akhir ini aku ingin selalu memuji dan memujanya?
Bibir polos merah muda itu, menjadi sasaran bibirku untuk mengecupnya.
"Nice dream, my wife..."
***
"Makasih, Mas. Hati-hati ya." Bening menyalimiku ketika mobil yang aku kendarai berhenti di depan tokonya. Ia pun turun dari mobilku.
Ya, satu minggu setelah kejadian waktu itu, aku berperan sebagai suami yang baik untuk mengantarkannya terlebih dahulu ke toko sebelum aku pergi ke kantor. Kakinya dan luka pada siku tangannya sudah membaik.
Jarak toko dan kantorku memang berlawanan arah dan berkali-kali ia menolak untuk kuantar. Tapi seperti biasa, ia yang keras kepala menolaknya dan aku bersikeras untuk tak ingin ditolak.
"Makasih ya, Om." disusul Byan menyalimiku lalu ikut turun bersama Bening.
Lihatlah, kami sudah seperti layaknya keluarga kecil yang bahagia. Ayah, ibu dan anak. Banyak hal yang Bening ajarkan pada anak kecil yang tak tau asal usulnya itu. Termasuk mengajari untuk bersikap sopan padaku. Walaupun kulihat dalam mata polos anak kecil itu menyimpan dendam yang tak bisa diungkapkan ketika matanya menatapku.
Ah ya, soal Byan. Sudah seminggu ini anak kecil itu enggan menjawab di mana tempat tinggalnya. Padahal menurutku ia cukup tau setidaknya di mana ia tinggal. Dilihat dari penampilannya saja kurasa dia bukan anak yang terlantar karena keadaan ekonomi.
Karena apa? Jelas sekali anak sekecil itu bisa memilih pakaian bermerek saat Bening memohon untuk membelikannya beberapa potong pakaian ganti selama ia tinggal di rumah.
"Hari ini sepertinya saya pulang malam. Nanti biar pak Maskun aja yang menjemput kalian," kataku teringat akan meeting penting bersama klien.
"Ya, Mas," tanggapnya.
Setelahnya aku pun pamit dan melajukan mobilku menuju kantor.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku tersenyum. Mengingat kejadian demi kejadian saat kami tertidur. Seperti biasa, pada awalnya kami tidur dengan saling membelakangi dan berakhir dengan saling berpelukan. Awalnya aku terkesiap akan ulahnya yang membuatku terbangun karena ia memeluk diriku layaknya guling. Tidurnya tak bisa diam, sehingga membuat si junior terus terbangun dan aku harus menahannya.
Namun begitu, aku merasa senang. Karena pada akhirnya akulah yang sering mencari tubuhnya untuk kupeluk saat tidur. Dan kecanggungan akan terjadi setelahnya ketika kami sama-sama mendapati tindakan kami.
***
"Hai anak ganteng," sapa Yuni ketika Bening dan Byan memasuki toko.
Anak kecil itu bersikap jutex seperti biasanya. Hanya kepada Bening ia bersikap layaknya anak kecil yang manja pada ibunya.
"Kalo ada yang nyapa, gak boleh jutex-jutex." Bening mengingatkan.
"Hai juga Onty Yuni." Byan menurut.
"Duh...gantengnya..." Yuni menyahut merasa senang karena Byan membalas sapaannya walaupun harus diingatkan Bening dulu. "Kalo sama Mbak Cibey, anak gantengnya nurut," cebiknya kemudian.
"Mawar mana?" Tanya Byan. Anak kecil itu sudah akrab dengan anaknya Yuni.
"Hari ini Mawar gak ikut ke sini. Eyangnya ngajak Mawar keliling Monas," jawab Yuni.
"Yah..." Byan kecewa.
Bening tersenyum melihat tingkah Byan lalu menyuruhnya untuk duduk dan bersikap baik seperti biasa. Untungnya Byan tidak pernah merepotkan Bening sama sekali. Bahkan, anak kecil itu terkadang ikut membantu Bening mengerjakan pekerjaannya di toko.
Selalu saja ada perdebatan karena Byan bersikeras membantah jika Bening menyuruhnya untuk diam saja. Bukan tanpa alasan bagi Bening melarangnya, ia tak ingin terkesan mengintimidasi anak kecil itu.
Bagaimana jika suatu saat orang tuanya - ayah anak itu lebih tepatnya - tiba-tiba datang dan menemukannya sedang dalam fase nyaman membantu Bening yang sedang bekerja keras?
Memikirkan hal itu, membuat Bening benar-benar dilema.
"Masih belum mau jawab di mana tinggalnya, Mbak?" tanya Yuni berbisik.
Bening menggeleng, "Mulutnya masih tertutup rapat." menggerakkan telunjuk dan jempolnya memberi isyarat di depan mulut.
"Mbak gak kerepotan? Mas Aslam gimana?"
"Aku sih biasa aja. Mas Aslam, ya...gitu deh. Eh Mbak, sering-sering bawa Mawar ke mari. Kalo Mawar ada, Byan suka lupa waktu. Dan gak akan bantuin aku. Aku parno, gimana kalo tiba-tiba ada papihnya yang katanya galak ke sini? Bisa-bisa habis aku..."
"Oke, ashiaapp, Mbak."
"Mana pesanan hari ini? Tante Lily gak ke sini lagi, Mbak?"
"Bu Lily semenjak Mbak Cibey nikah, dia udah jarang banget datang ke toko."
"Iya juga sii. Oke, kita mulai aja kerjaan kita."
Mereka pun sudah mulai disibukkan dengan pesanan hari ini.
***
"Kenapa?" Aku melihat Mario yang menekuk mukanya ketika ia sudah menerima telepon dari seseorang.
"Kasian si Rudy," desahnya.
"Kenapa?" tanyaku mengulang kata yang sama.
"Kalian gak ada kontek?" jawaban yang dibalas dengan pertanyaan.
"Sudah semingguan,"
"Jadi sejak kejadian waktu itu kalian belum pernah kontekan sama sekali?" Mario memekik.
"Mungkin hal yang sama akan terjadi kalo lo gak kerja bareng gue," desahku kemudian tanpa mau menatap Mario.
"Ya, lo benar," ujarnya di akhiri helaan nafas juga. "Anak Rudy hilang. Udah seminggu," ceritanya kemudian. Mengikis rasa penasaranku dari tadi.
"Kenapa bisa hilang?" tanyaku tanpa beralih dari dokumen di depanku.
"Entahlah," jawabnya mengangkat kedua bahu.
Seketika aku teringat akan Byan. Tak mungkin dia anaknya Rudy. Ngapain dia jauh-jauh sampai berada di daerah perumahanku. Dan lagi, seharusnya aku mengetahui jika itu anaknya Rudy.
Tapi, sudah cukup lama ketika Rudy kehilangan Imelda, istrinya yang meninggal setelah melahirkan buah cinta mereka ke dunia. Terakhir kali aku melihat anak Rudy ketika aku membawa Erina untuk mengenalkannya pada mereka, tiga tahun lalu. Jadi wajar saja jika aku takkan mengenalinya, bukan? Apalagi untuk seseorang yang hampir tak pernah bertemu. Kecuali jika itu anak kita sendiri atau rumah kami berdekatan.
"Jam berapa kita meeting dengan Mr. Ram?" pertanyaan Mario mengalihkanku.
"Jam makan siang,"
"Oke, kita masih punya waktu untuk meninjau lagi sketsa untuk Mr. Ram. Sepertinya hari ini kita pulang malam, eih. Apa Bening tau?"
Aku menghentikan kegiatanku memeriksa dokumen. Lalu menatap Mario yang masih fokus pada layar monitornya.
***
EPILOG
Lagi? Tangan kekar ini melingkari tubuhku. Bahkan terkadang aku sendiri yang memeluk tubuhnya yang aku kira guling hangat. Semenjak kami tidur bersama, kami tak bisa menghindari hal-hal yang tak bisa dikontrol di bawah alam sadar kami.
Namun begitu, hatiku membuncah. Aroma tubuhnya seakan melekat ketika dia selalu memelukku dalam tidurnya. Apalagi Mas Aslam selalu tidur tanpa memakai baju. Dan itu selalu membuatku terusik karena betapa dekat serta hangatnya kulit dadanya yang lengket menempel pada pipiku. Yang bisa kulakukan adalah mendongak, memandang wajahnya dalam lekat ketika ia terpejam rapat.
Ingat! Hanya tak memakai baju ya, bukan berati tak sehelai benangpun! Karena yang dibawah sana masih aman.
Walaupun terkadang ada sesuatu di bawah sana yang terbangun dan mengusikku...ups! Kontrol pikiranmu, Bening!
Nice dream and always happy for you, my husband...