Aku memandang satu persatu wajah teman-temanku. Lalu menatap wajah Bening yang sepertinya menahan kekesalannya. Tanpa bicara ia pergi meninggalkan kami di dalam kamar setelah ia membanting pintu dengan keras. Di tengah kemabukanku, aku berjalan terseok-seok mengejarnya. Entah mengapa pula aku tak ingin ia kesal padaku?
Aku melihat Mario dan yang lainnya ikut-ikutan mengejar istriku dengan mendahuluiku. Apa-apaan mereka? Dia istriku!
Saat itu, dengan susah payah aku keluar menuju area di mana suara hiruk pikuk dari musik yang terdengar kencang menggema di telingaku. Aku melihat Mario, Rudy dan Edwin sepertinya sedang membujuk Bening. Aku mendekati mereka dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
"Wah wah wah, ternyata kalian sampai segitunya mengejar istriku!" Aku berseru membuat mereka meneloh padaku.
"Istri dadakanku...lihat, mereka menyukaimu..." Aku semakin meracau. "Mereka mau menggantikanku melakukan 'itu' padamu, hm? Aku memang tak bisa melakukannya karena cuma Erina yang bisa membangkitkan gairahku...kau...kau...hanya istri pilihan mama yang sama sekali tak menarik untukku!"
"Lam!" Mario menggeram. Sepertinya ia tak terima aku berkata seperti itu.
"Apa? Lo marah? Lihat! Abang kesayangan yang begitu menyayangi, tidak, tapi mencintai adiknya..." Aku terkekeh, sepertinya aku mulai di ambang kesadaranku.
"Cukup! Sebaiknya lo bawa Aslam dari sini, Yo," Edwin menengahi. "Biar bini lo, gue anterin pulang."
"Lo sebaiknya fokus sama kerjaan lo. Lihat, sudah berapa lama lo ninggalin tempat lo!" Timpal Rudy menunjuk tempat di mana seharusnya seorang DJ berada dengan lirikan matanya.
"Bininya Aslam biar gue yang anter. Di sini gue bosnya. Karena Aslam, gak memungkinkan dirinya buat nyetir," sambungnya kemudian.
"Nggak! Cibey gue yang antar! Gue abangnya! Aslam biar lo yang antar! Gara-gara lo, doi jadi kayak gitu!" Mario menyela.
Wah, drama apalagi ini? Mereka berkumpul mendiskusikan hal yang membuat aku semakin tak terkendali. Marah? Kesal? Ya, aku merasakannya!
Entah mengapa teman-temanku ini mendadak menyebalkan seperti itu? Dan lihatlah! Apa yang menarik dari istri kecilku itu? Dia hanya anak remaja yang tak menarik di mataku. Tapi, mengapa aku begitu kesal ketika mereka memperebutkan siapa yang akan mengantarkan istriku?
Istri? Entah sudah berapa kali aku menyatakan kalimat yang membuat hatiku melambung tinggi itu? Istriku...
"Hei...hei!! Dia istriku!" Aku berteriak racau. "Mengapa kalian memperebutkannya? Dia!" tunjukku. "Is-tri...ku..." aku terhuyung hampir terjatuh ketika Edwin menahan tubuhku.
"Lam, lihat kondisi lo! Untuk berdiri tegak saja lo gak mampu sekarang. Sebaiknya lo pulang diantar Mario. Bahaya kalo elo pulang dengan kondisi kayak gini. Apalagi kalo elo nyetir sendiri," hardik Edwin. "Udah, lo tenang aja. Biar bini lo, gue yang antar," keukeuhnya.
Tanganku terkepal, dengan segenap kekuatan yang ada, seketika aku melayangkan tinjuku pada wajah Edwin dan membuatnya sedikit terhuyung.
Edwin mengusap sudut bibirnya, ada darah di sana. "Brengsek, lo!" Dia hendak melayangkan pukulannya padaku. Tapi Rudy menengahi. Seketika itu kami saling adu mulut dengan sedikit pukul memukul tapi bukan baku hantam. Seketika kami menjadi pusat perhatian. Bahkan bodyguard yang bertugas mencoba melerai kami. Namun Rudy selaku bos memerintahkannya untuk tidak ikut campur.
Aku melihat istriku pergi meninggalkan kami dengan sikap membisunya. Bening menatap kami dengan tajam dan tak terbaca. Dan entah mengapa hatiku terenyuh melihat manik matanya. Ia mengalihkan tatapannya dan membiarkan kami layaknya anak kecil yang berebut mainan.
Bening berjalan menuju meja bar dan berbalik di belakangnya - seolah mencari sesuatu. Dengan bantuan seorang bartender yang terlihat kebingungan saat Bening mengatakan sesuatu yang aku sendiri tak dapat mendengarnya karena suara musik yang meredam percakapan antara kami. Padahal kami kini tengah berkumpul dan ribut di depan meja bar tersebut dengan orang-orang yang tengah asyik menikmati minumannya sambil memperhatikan keributan yang terjadi di antara kami. Karena faktanya, sudah hal yang biasa untuk sebagian orang yang ada di dalam kelab ini tak peduli akan tingkah laku kami.
Seorang bartender itu kembali dari dalam dengan membawa sebuah ember berukuran sedang yang pasti di dalamnya terdapat air yang cukup penuh mengingat ia mengangkatnya dengan bertenaga.
Kemudian, Bening terlihat sibuk memasukkan es batu yang tersedia di dalam ice box yang berada di bawah meja bar. Ia memasukkan es batu tersebut ke dalam ember berisi air itu. Lalu dengan sekuat tenaga menganggkat dan membawanya mendekat ke arah kami. Seketika aksi perdebatan yang terjadi di antara kami terhenti ketika Bening menyiramkan air bersamaan dengan es yang begitu dinginnya kepada kami. Tak ayal, kini semua mata tertuju pada kami.
Selamat! Istriku berhasil membuat kami menjadi pusat perhatian seutuhnya. Ternyata jiwa kepo para nitizen masih bergolak di antara segelintir jiwa-jiwa yang tertinggal di dalam kelab malam yang penuh nista ini.
"Ap-apaan ini?!" teriakku kesal.
Bening meletakkan ember yang sudah kosong itu dengan kasar. "Apa tidak sebaiknya aku membawa kalian ke arena tinju saja? Kebetulan itu tak jauh dari sini. Atau kalian mau di sana saja agar semua orang menyaksikan siapa yang menang di antara kalian dan bertepuk tangan setelahnya?" menunjuk area DJ berada karena di sana cukup tinggi.
"Bey, kenapa kamu siram abang kayak gini? Ini dingin banget!" Mario memekik kesal dan...malu.
Bening bersedekap, menatap kami satu persatu. "Biar Abang sadar!" Ujarnya kemudian. "Apa? Kalian pikir ini tontonan lucu?" ucapnya sinis pada orang-orang yang sedang mengerumuni kami. "Suruh bodyguard Om buat laksanain tugasnya dengan benar!" matanya menatap galak pada Rudy.
Om? Rudy kalah telak di tempat. Mulutnya menganga ingin menyanggah, namun ia kehabisan kata-kata. Hanya Edwin yang terbahak mendengar apa yang Bening ucapkan. Aku melihat kondisiku dan teman-temanku satu persatu. Kami basah kuyup dengan dingin yang menembus tulang. Keadaan kami kacau balau, tentu saja karena ulah istriku. Aku pun tak bisa tidak terkekeh pada akhirnya.
"Kenapa Om malah ketawa? Mang ini lucu?" Bening menaikkan alisnya. Membuat Edwin bungkam seketika. "Hei, Om pemilik kelab yang irit listrik! Kenapa diam aja? Suruh om-om berbadan besar itu menyingkirkan deterjen kepo di sini!"
Rudy benar-benar kehabisan kata-kata. Perempuan mungil di hadapannya benar-benar jauh dari kesan anggun.
"Bey, ayok pulang. Abang anterin kamu sama Aslam." Rio menyela. "Abang tau, kamu gak bisa lama-lama di sini." Tangannya hendak menarik tangan Bening.
Dengan cepat aku menepis tangan itu. "Bening istriku! Dia, bukan urusan lo lagi!" Seruku di tengah ketidaksadaranku.
Aku marah? Kenapa aku sebegitu marahnya? Apakah ini karena aku masih dalam pengaruh alkohol?
Aku menggenggam tangan istriku dan menariknya untuk segera keluar dengan kasar. Kurasakan jemari tangannya begitu dingin kemudian tangannya mengerat saat aku genggam. Rasa takut, aku merasakan dirinya ketakutan saat melewati orang-orang dan keramaian di dalam kelab ini. Aku menoleh ke belakang yang ternyata Mario dan yang lainnya sepertinya akan mengikuti kami. Oh, sungguh, apa-apan mereka itu?
Langkah kami terhenti ketika Bening menahan tubuhnya untuk bergeming di tempat saat kami keluar dari kelab malam tersebut. Bening mencoba melepaskan tanganya. Wajahnya memucat, seakan sel-sel darah tak mengalir di tubuhnya. Apakah sejak dari tadi karena di dalam sana minim cahaya dan hanya dihiasi lampu khas kelab malam sehingga aku baru bisa melihat wajahnya yang pucat?
Seketika aku teringat ucapan Bening yang mengatakan jika Rudy pemilik kelab yang irit listrik. Begitu konyol pernyataan yang diucapkannya. Karena memang begitulah khas kelab malam.
Pandanganku teralihkan ketika menyadari Bening meninggalkanku dalam lamunan. Kulihat ia berjalan terseok-seok dengan tangan meraba-raba dinding lorong seakan mencari-cari sesuatu. Aku yang masih mabuk dan ia yang malah kepayahan. Dengan menahan rasa pusing di kepalaku aku mengejarnya.
"Mau ke mana kamu?" Aku menghadang langkahnya. Ia mengacuhkanku! Aku mengepal tanganku, tak peduli apa yang akan aku lakukan karena saat ini pun toh aku dalam pengaruh alkohol.
Ya, salahku yang memang memilih jalan untuk meneguk alkohol itu ke dalam tubuhku. "Hei! Lo berani nyuekin gue?" Kesalku.
Tatapan kesalku seketika berubah karena kulihat manik mata itu seolah meminta bantuan. Bening memegang dadanya dengan nafas yang terengah-engah.
"Di ma-na lift-nya?" Tanyanya dengan putus asa.
"Kamu kenapa? Hei!" Bening ambruk di lantai, nafasnya terengah-engah seolah mencari oksigen. "Kamu baik-baik aja?" Aku berjongkok. Ekspresinya kepayahan. Ada dorongan dalam diriku yang membuat diri ini seketika melakukan tindakan di luar akal sehatku. Aku membawa tubuhnya mendekat padaku. Memeluknya erat lalu membenamkan bibirku padanya.
Tunggu! Ini bukan yang seperti kalian pikirkan. Aku memberikan cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau disebut juga nafas buatan padanya. Dengan perlahan, nafasnya berangsur membaik. Dan kondisinya mulai tenang. Aku melepas mulutku dari mulutnya. Melihat bibirnya yang memerah basah karena ulahku membuat aku tergoda untuk mencicipinya kembali. Bukan tidak mungkin ketika aku melakukan CPR padanya tadi, bibir kami tidak bersentuhan. Hasratku bergelora, aku menginginkan daging kenyal nan manis itu.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" Mario menyahut. Aku menoleh pada sumber suara di belakangku. Tatapanku berubah ketika melihat ketiga temanku yang ternyata benar-benar mengikuti untuk menyusul kami kemudian.
Otak terkutuk ini mulai berpikir cepat. Saat istriku mulai mengatur keadaannya. Tanpa pertahanan aku menundukkan kepalaku kembali dan kali ini benar-benar aku memagut bibirnya yang begitu terasa nikmat. Aku melummatnya dengan rakus. Disaksikan ketiga temanku yang sepertinya salah tingkah.
***
EPILOG
Pusing melanda ketika langkahku memasuki area minim penerangan dengan suara musik yang begitu memekakan telinga. Aku memurus jemari Bang Iyo dengan erat dan takut. Kurasa ia merasakannya. Saat itu pun aku sampai di sebuah kamar bertuliskan VVIP. Yang ternyata di dalamnya ada mas Aslam yang sedang berbaring dengan telapak tangan berbalut perban.
Tak lama kemudian, ruang kamar ini terasa sesak karena aku di kelilingi pria dewasa tampan yang aneh. Tunggu, aku bukanlah tokoh utama pemeran wanita dalam serial drama yang dikelilingi 4 pria tampan!
Setelah memandang pria-pria aneh itu, aku pergi meninggalkan mereka. Tak lupa pintu yang tak bersalah pun ikut-ikutan merasakan kekesalanku.
Setibanya di ruang yang full dengan orang-orang butuh hiburan, langkahku terhenti karena aku begitu takut. Trauma yang dulu sempat menggayuti dan aku masih merasakannya. Kepalaku semakin pusing ketika aku mendengar perdebatan pria-pria tua yang sungguh menyebalkan!
Mereka anggap apa aku ini? Hei, kalian! Hatiku sakit ketika mendengar semua yang mereka ucapkan. Apa kalian gak mikirin perasaanku? Apalagi suamiku sendiri. Aku tau, kami memang tidak saling mencintai. Tetapi setidaknya, hargailah aku!
Aku bukan barang atau makanan yang bisa dicicipi sembarangan!
Tanganku mengepal, kakiku mengajak tubuh ini mencari sesuatu yang bisa menghentikan ucapan frontal mereka. Aku melangkah menuju meja bar dan mencari-cari sesuatu dibaliknya. Hingga seorang bartender menanyakan kepentinganku dan membantuku memberikan apa yang kuperlukan. Hingga apa yang kubutuhkan tiba tanpa ragu aku menyiram kepala panas pria-pria tua mesum itu. Aku tak merasa bersalah, sedikit pun.
*
Dilorong ini nafasku tercekat. Aku sungguh mencari-cari sumber oksigen ketika langkahku ditarik paksa melewati betapa ramainya suasana di dalam kelab itu. Hingga sesuatu yang kenyal menyentuh bibirku, menyalurkan oksigen beraroma vodka masuk ke dalam rongga pernafasanku.
Sejenak otakku membeku, apakah ini CPR atau dia pelaku pencuri ciumanku?
TBC