"Orang tuaku meninggal karena kecelakaan mobil saat kami hendak pulang ke Bandung. Kata tante Lily, mama yang sempat sadar tapi kritis, saat itu menitipkan aku sama dia. Karena mereka sahabatan dari SMP," cerita Bening kemudian. Seolah ia tau apa yang sedang aku ingin aku tanyakan padanya.
"Jadi karena itu, aku sama bang Iyo udah kayak kakak adek. Aku yang saat itu cuma kena luka ringan aja, di jemput tante Lily dan anaknya. Bang Iyo saat itu masih SMA. Saat itu katanya aku masih berumur 5 tahun dan bang Iyo yang menggendongku," lanjutnya, ia sudah duduk kembali di tepian tempat tidur sambil memeluk bantal.
"Katanya?" Aku mengernyitkan dahi.
"Iya, soalnya aku gak inget kejadian waktu itu," ada titik sendu dari manik matanya.
"Eh, tunggu deh, Mas. Mumpung inget, aku ambil dulu sebentar," pamitnya kemudian.
Bening beranjak meninggalkanku yang masih penasaran. Ingin rasanya aku menariknya untuk tidak membuatku terus bertanya-tanya. Kemudian ia kembali dari ruang ganti dengan tangan yang ia taruh ke belakang. Bening mendekatiku lalu menyodorkan sesuatu di balik punggungnya.
"Nih." menyodorkan kotak berbungkus kado. Aku meletakkan ponselku. Kemudian mendongak menatap wajah Bening yang tersenyum dan berdiri di depanku.
"Kado. Buat Mas," katanya, seakan tau apa yang ada dalam benakku. Tangannya terus bergerak, memintaku untuk segera mengambilnya.
"Kemarin 'kan Mas ulang taun. Maaf aku baru bisa ngasih kado," ucapnya seraya duduk di sebelahku lagi.
"Coba buka deh, Mas." perintahnya.
Cukup penasaran, aku membuka bungkusan kado yang ia berikan. Speechless, aku gak bisa berkata apapun.
"Gimana? Suka?" tanyanya. "Maaf, bukannya meledek ya, Mas. Dan aku beliin ini karena di kamar Mas gak ada sajadah sama sekali saat aku hendak sholat subuh," tuturnya dengan hati-hati.
"Tapi gak jadi karena tadi subuh aku keburu 'dapet', hehe...Aku juga beli sajadah yang sama biar couple-an. Trus, nanti kita sholat sama-sama deh...Ya...walaupun aku juga masih jauh dari kata sempurna tentang agamaku, tapi aku yakin kita berdua bisa memperbaiki dan menjalaninya dengan baik," ucapnya dengan riang.
Aku menundukan kepalaku, memandang kain berbulu lembut bergambarkan ka'bah yang berada dalam genggaman tanganku.
"Gimana? Mas suka gak?" tanyanya lagi. "Aku gak tau apa yang Mas suka, soalnya. Apalagi pasti kado-kado itu isinya barang branded dan mahal semua," mengedikkan dagunya menunjuk kado-kado di sudut ruangan yang masih terbungkus rapi.
"Gimana? Suka?" kali ini aku mengangguk. Dan kulihat Bening berbinar senang.
Sungguh hatiku bergetar. Aku memang jauh dari kata sempurna untuk menjadi imam yang baik untuk istriku. Istri yang baru aku nikahi tanpa mengenalnya lebih dahulu...
"Yaelah, gitu aja baper. Cinih cinih aku peyukk." Merentangkan kedua tangannya.
"Apaan sih?" Aku mengalihkan pandanganku, malu. Terlebih si junior mulai bereaksi.
Aneh, mengapa setiap Bening di dekatku aku selalu straight? Bahkan hasrat ini sepertinya melebihi hasrat yang dulu aku punya untuk Erina. Apa karena hampir satu tahun ini aku tidak melakukannya, maka 'kemauan' yang sangat tinggi mempengaruhiku?
Bagi pria yang pernah merasakan nikmatnya surga dunia mungkin hal itu merupakan salah satu kebutuhan utama. Tapi sudah cukup lama hasrat ini menghilang bersamaan dengan kepergian Erina. Seharusnya untuk pria normal sepertiku yang pernah merasakannya, takkan tahan jika ada ikan yang sengaja mendekati. Pernah beberapa kali aku mencoba meluapkan hasratku pada j*l*ng ketika aku mabuk. Yang ada mereka malah kabur dan mengataiku tidak normal karena aku sama sekali tidak straight.
Pikirku saat itu hanya satu, mungkin hanya Erina yang bisa membuatku 'on'. Fix, pasangan tubuhku hanya Erina!
Tapi tidak saat ini. Hanya memandang Bening saja hasratku memberontak?
Tidak tidak! Lupakan! Erina, Erina, Erina.
Aku menyebut namanya berkali-kali. Berharap hasrat ini melebur seketika.
"Mas," panggilnya. "Kenapa?"
Aku langsung beranjak ketika tangannya hendak menyentuhku.
"Gakpapa, saya ke toilet dulu." Aku menghindar.
"Mas, beneran gakpapa? Itu muka Mas merah, lho!" serunya.
Tanpa menyahut aku bergegas meletakkan kado yang Bening berikan di atas kasur lalu segera masuk ke dalam toilet dan menguncinya.
Aku mengumpat berkali-kali pada diriku sendiri. Pada akhirnya, cukup lama aku berada dalam toliet hanya untuk membuat si junior tidur. Tidak untuk mandi, karena hari sudah semakin malam. Dan tidak dengan melakukan hal-hal yang lainnya. Aku menghela dan menghembuskan nafas berkali-kali. Mencoba mengingat kejadian dan perlakuan Erina yang meninggalkanku. Dengan begitu, hasratku mulai mereda. Digantikan dengan perasaan sakit hati.
Aku keluar dari kamar mandi. Kulihat Bening merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Seketika ia beranjak karena melihatku. Aku berdehem dan menundukkan kepala.
"Mas, kok lama? Mas sakit perut? Apa karena tadi makan sambal ato kebanyakan makan?" tanyanya beruntun. Kulihat dia memang cemas. Tapi pertanyaan terakhirnya membuatku jengah.
Ya, bila dipikir-pikir dalam sehari ini selain memakan nasi, mulutku ini tak berhenti menggiling makanan. Seperti tidak pernah menemukan makanan selama berhari-hari, aku terus merasa lapar. Bahkan Rio yang tau akan porsi makanku merasa heran ketika aku terus ngemil dan memakan kue yang disuguhkan tadi siang saat mengantar Bening mengambil barang-barangnya.
"Nih." alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah menyodorkan salep memar yang sebelumnya aku ambil dari dalam laci nakas padanya.
Tadi, saat kami selesai makan sore bersama, aku ijin padanya ke toilet yang aku sambung membelikannya salep memar karena di sebelah rumah makan ada sebuah apotik. Kupikir Bening juga pergi ke toliet karena sekembalinya aku dari sana, ia tidak ada di tempatnya. Aku memanfaatkan kesempatan itu membeli salep untuk mengobati memarnya karena ia bersikeras tak ingin ke rumah sakit untuk diperiksa.
"Apa ini?" tanyanya, menilik judul dari kemasan salep memar itu. "Salep memar?"
"Hm. Saya gak mau mama sampai ngira aku nyakitin kamu," ucapku datar.
"Uuhh co cwit bangedd sih, Mas..." ucapnya manja. Sumpah! Jangan sampai ini onfire lagi! Susah payah aku menidurkannya. Kenapa sikapnya harus menggemaskan begitu sih?
"Makacih lho, Mas," syukurnya. "Pakein donk!" Menyodorkan salep dan lengannya yang terdapat luka memar.
"Pake aja sendiri!" Ketusku.
"Ih, sombong amat!" cebiknya. "Eh, tapi makasih banget ya, Mas. Kadonya." Bening tersenyum tulus. Ada kilatan tipis dari bola matanya.
"Kado?" Aku mengernyitkan dahi.
"Iya, aku kasih Mas kado itu." Menunjuk sajadah yang ia berikan. "Mas, kasih aku kado ini." Mengacungkan salep memar itu ke udara.
Ah, ya. Kemarin mama bilang ulang tahunku dan Bening sama. Maka dari itu mama memaksa menikahkan kami di hari spesial yang bersamaan. Tapi mengapa ia hadir 12 tahun kemudian setelah kelahiranku? Bahkan sekarang menjadi istriku? Sungguh takdir tuhan tak ada yang tahu...
"Tidur. Udah malem!" merebahkan diri di atas kasur. Aku masih aja judes padanya.
"Iya...Eh, tapi Mas, kapan Mas mau unboxing tuh kado-kado itu?" tanyanya gak penting.
"Biarkan saja," jawabku malas.
"Kenapa? Nanti basi lho, Mas."
"Gak akan."
"Emang, Mas tau isinya apaan?"
Sial! Kenapa pula aku terus menjawabnya?
"Mas?"
"Apalagi?" menyingkap selimut yang hampir saja membalut tubuhku.
"Boleh gak, aku tidur di sini? Di sofa dingin, Mas..." tanyanya memelas. "Aku janji gakkan macam-macam deh, Mas." Mengangkat jari tangannya membentuk huruf V. "Tapi aku gak janji kalo bakal ngelakuin satu macem aja. Hehe,"
Dih, ni anak sumpah ya, pasti ada aja ngeyelnya! Rasanya aku ingin menenggelamkan tubuhnya dalam tubuhku. Ah, sungguh pikiran terkutuk yang halal...
"Tidur! Matiin lampunya!" Tanpa menjawab ya atau tidak, aku malah menyuruhnya dengan ketus.
"Yes! Aku bisa tidur enak di kasur yang empuk," girangnya. Menafsirkan sendiri.
Aku berbalik membelakanginya dan bersembunyi di balik selimut, menggeleng-gelengkan kepala akan tingkahnya.
10 menit kemudian...
Hening...
"Bening?" panggilku.
Masih hening...
"Bening?" panggilku lagi. Kesal sendiri karena tak ada sahutan. Padahal aku sendiri yang menyuruhnya untuk tidur.
Aku bangun lalu menoleh pada subjek yang ada di sebelahku. Bening sudah memejamkan matanya. Sebelah tangannya menumpu pipinya. Aku menyingkapkan anak-anak rambut yang menutupi wajahnya. Cantik...
Aku menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang sama. Menurunkan suhu AC, lalu mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur. Tanpa sadar aku menyunggingkan bibirku.
"Selamat ulang tahun..." ucapku merasa berani karena dia sudah tertidur.
Aku menatap wajahnya, lalu beralih pada sajadah serta salep memar yang berada di atas nakas. Perasaan aneh ini muncul kembali...
***
EPILOG
"Selamat ulang tahun..."
Dengan jelas aku mendengar Mas Aslam mengucapkan kata-kata itu. Ucapannya terdengar lirih, namun sangat tulus. Aku yang sebenarnya masih belum tidur, tentu saja rasanya ingin jingkrak-jingkrak di kasur saat itu juga.
Mas Aslam, dia kalo ngomong emang hemat benget. Tapi di balik sikap dinginnya itu, ada sikap perhatian yang begitu hangat. Apalagi tadi, ketika aku melontarkan pertanyaan yang sebenarnya menjengkelkan. Dengan enggan Mas Aslam terus menjawabnya. Dan aku senang karena berhasil menggodannya.
Aku menoleh pada sosok yang berada di sampingku. Ternyata Mas Aslam sudah tertidur pulas, terdengar dengkuran halusnya. Aku mengambil salep yang Mas Aslam berikan tadi. Dengan riang aku membuka lalu mengoleskannya pada memar yang ada di tanganku sambil tiduran.
"Terima kasih, Mas. Mungkin ini kado terbaik yang pernah aku dapat karena ketulusan dari hatimu. Suamiku..."
TBC