Chereads / Menikahi Bening / Chapter 11 - Mario

Chapter 11 - Mario

"Jawab! Kenapa ini?" Emosi terkutuk ini sungguh tak bisa tertahan. Dan mengapa aku semarah ini ketika melihat luka pada tubuhnya. Tanpa sengaja aku mencengkram kuat pada lengannya.

"Mas," Bening meringis. Seketika aku melepaskan lengannya. "I-ini...kemarin Mas yang bikin jadi memar," ucapnya pelan seraya menundukkan kepala, merasa tak enak.

"Saya?" tak terima apa yang ia ucapkan.

"Ya, siapa lagi? Kemarin Mas mencengkram tanganku pake emosi." Mendongakkan wajahnya, menatapku.

"Sudahlah, aku gakpapa. Ayo, sarapan dulu. Nasi gorengnya keburu dingin nanti."

Bening. Perempuan yang baru kemarin aku nikahi itu. Entah apa sebenarnya yang ia rasakan saat ini?

Tanpa membantah, aku duduk di sampingnya. Ia menyerahkan sepiring nasi goreng itu padaku. Awalnya aku merasa ragu, aku menyendok nasi goreng itu lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Dengan enggan aku mengunyah, namun lambat laun aku menyendok satu suapan lagi dan lagi. Rasa nasi goreng ini...begitu enak. Membuatku tanpa sadar menghabiskan satu piring penuh nasi goreng itu dengan cepat. Seolah baru menemukan makanan selama berhari-hari.

Aku meletakkan piring kosong itu di atas meja. Bening istriku tersenyum. Ia mengambil piring kosongnya lalu disusul satu gelas air putih hangat untuk menyegarkan tenggorakanku. Aku baru menyadari jika ia begitu sabar menunggui dan menemaniku menghabiskan sarapanku.

"Anak pintar." Ia mengelus rambut kepalaku. Membuat aku merasa kikuk. Rasa tak asing yang pernah aku rasakan ketika tangannya mengelus rambut kepalaku.

"Nasgor buatanku enak, kan? Kalo Mas suka, aku bakalan sering-sering bikinin Mas nasgor," ucapnya dengan riang.

"Kata Mama hampir selama setahun ini Mas gak pernah sarapan. Makan pun jarang. Pantes aja Mas kurusan," sambungnya berbicara tanpa canggung.

Aku melirik pada tangannya yang memar. Rasa bersalah yang bergelayut sedari tadi karena gengsi, tak bisa aku bendung lagi. Ya, tak bisa dipungkiri, bekas cengkraman jemariku melekat pada lengannya yang terdapat bekas jahitan. Ngeri, tapi aku tidak merasa ilfeel. Aneh...

"Ehem," aku berdehem untuk mengusir kegugupanku. Jujur, berada didekatnya aku merasa seperti anak ABG yang lagi PDKT. "Tanganmu, apa itu sakit?" Ah, kata-kata yang keluar malah begitu.

"Maksudku, apa perlu periksa ke dokter?"

Bening tersenyum, "Aku tadi udah bilang, bukan? Aku gakpapa. Ya, terasa sakit diawal sih...dan masih terasa ngilu, tapi beneran aku gakpapa," ucapnya menenangkan.

"Makasih ya, Mas. Udah cemasin aku."

"Siapa yang cemasin kamu?" Nadaku meninggi. "Aku cuma gak mau ya, orang lain, terutama papa dan mama mengira aku ngelakuin KDRT sama kamu," aku mengelak.

"Iya...iya. Aku tau, kok. Mas gak usah khawatir. Cuma lain kali, nanti kalo mau ngambek, jangan pegang di sebelah sini ya." menunjukkan letak tangannya yang memar.

"Mas, bisa pegang tanganku di sebelah sini aja." menunjuk tangan kirinya. "Karena tinggal tangan ini aja yang masih normal," tuturnya membuat aku terkesiap.

"Hehe, tangan kananku ini dipasang pen. Tepat di sini." Tunjuknya kali ini pada tangan kanannya.

"Keliatan, kan? Ini bekas jahitan operasinya."

Demi apa! Aku tak bisa berkata-kata. Ada rasa yang bergemuruh di dalam dadaku ini.

"Mas, pasti malu ya punya istri cacat dan gak mulus kayak aku. Tapi tenang aja, aku gak bakalan bikin Mas malu, kok. Aku bakalan pake baju panjang buat nutupin bekas jahitan ditanganku ini biar orang lain gak tau dan Mas gak merasa ilfeel," mangangkat jarinya membentuk huruf V.

"Beneran deh. Justru aku mau bilang makasih karena Mas yang ganteng ini mau nikahin cewek kayak aku. Walopun sebenarnya aku juga masih belom terima sii...aku masih 19 taun," ungkapnya dengan lirih.

"Tapi beneran kok, Mas. Aku bakalan belajar jadi istri yang baik buat Mas Ganteng. Mau gimana pun, mungkin ini takdir yang sudah digariskan untuk kita."

Menatap perempuan yang berada di hadapanku bagaikan buku yang terbuka. Terkadang ia malu-malu, mungkin merasa tak enak. Tapi setelahnya ia menyerocos tanpa henti, mengekspresikan diri tanpa merasa canggung. Yang bisa aku lakukan adalah mendengar sambil menatapnya. Namun begitu, ia bukanlah perempuan egois mengingat usianya yang masih remaja. Disela obrolannya, ia memberiku kesempatan agar aku terbuka padanya. Berbeda dengan Erina yang selalu ingin aku mendengar dan menuruti ucapannya, bahkan Erina tak pernah mau aku menyanggah ataupun memberikan saran. Perempuan yang baru kukenal ini, sungguh membuatku merasa nyaman berada didekatnya. Tapi aku masih belum bisa menerima kehadirannya di hatiku. Hanya Erina, perempuan yang sudah aku serahkan jiwa dan ragaku untuknya.

"Ada hal yang ingin aku katakan padamu. Aku sedang menunggu kekasihku. Erina," ucapku tanpa basa basi.

Ya, aku harus serius dan tegas sebelum kami menjadi lebih dekat.

"Erina sedang berada di Paris. Dia menyuruhku untuk menunggunya selama dua tahun. Dan satu tahun telah berlalu. Masih ada waktu satu tahun untuk kita menyelesaikan pernikahan dadakan ini." Ah, kenapa mulut ini tanpa penyaringan? Kulihat ada titik sendu dalam manik matanya ketika aku mengatakan semuanya.

"Iya...aku ngerti, kok. Mas tenang aja. Satu tahun kemudian, jika mbak Erina pulang. Aku akan membiarkan Mas kembali padanya." Seulas senyum mengukir bibir mungilnya. Bukannya merasa lega, hatiku malah terenyuh dan merasa bersalah padanya.

"Apa ada lagi yang mau Mas bicarakan?" tanyanya. Aku hanya bisa menatapnya lagi lekat-lekat.

"Mas, kenapa doyan banget liatin muka aku, sih? Aku cantik ya, Mas?" Memegang pipinya, sok imut. Aku mengalihkan pandanganku. Terciduk lagi kali ini. Sumpah malu banget!

Bening tertawa, sepertinya ia senang sekali menggodaku. Apapun yang ia lakukan, semuanya menular. Tanpa Bening sadari, seulas senyum samar terukir disudut-sudut bibirku. Aku merasa damai...

***

Sore hari ini aku duduk di toko bunga dan kue milik tante Lily. Menunggu Bening untuk mengemas barang-barangnya. Ada Rio yang menemaniku minum kopi. Ekspresi Rio tak terbaca. Tadi ketika kami tiba, ia begitu senang saat Bening memanggil dirinya dan juga tante Lily. Rio berhambur memeluk istriku, yang bisa aku lakukan adalah mengepalkan tanganku. Cemburu? Gak mungkin!

Dan sekarang, di sini, Rio menemaniku dengan murung. Entah sudah berapa banyak rokok yang ia hisap selama menemaniku. Yang jelas puntung rokok di asbak itu sudah menggunung.

Jika diteliti kembali, ekspresi Rio seperti aku ketika ditinggal Erina dulu. Keadaan Rio agak berantakan.

"Udah berapa bungkus rokok yang Abang habiskan? Abang mau masuk rumah sakit lagi karena paru-paru Abang membengkak?" Seseorang menyahuti keheningan kami. "Jangan ngerokok di sini. Abang pengen bikin bunga-bunga itu layu?" menyambar asbak yang berada di meja lalu membuang isinya.

"Lagian, Abang kan udah lama gak rokok, kenapa sekarang kumat lagi?" sewotnya.

"Abang belom mandi yak dari kemaren?" Istriku berkacak pinggang setelah mengendus badan Rio.

"Lihat dan coba cium deh, Abang bau dan jelek banget tau!"

Rio tak berkutik. Melihat Bening begitu padanya, ia langsung kikuk. "Ciyusan nih, Bey? Abang bau?" Rio mengendus-ngendus badannya sendiri. Lalu menatap Bening yang sedang berdiri di dekatnya.

"Huum." Bening mengangguk. Matanya membulat penuh. "Ciyusan deh! Abang bau banget! Gantengnya Abang ngilang seketika!" tangannya mengibas.

Tontonan yang menarik. Terlebih melihat Rio yang menjadi salah tingkah cuma karena istriku mengejek penampilannya.

"Ah, parah lo mah, Bro. Dari tadi lo duduk deket gue tapi gak ngomong. Lo sengaja ya, pengen ganteng sendirian?" Beuh, kesongongan Rio kembali. Sumpah, pengen gue tabok kepalanya! Dari tadi dia yang mendiamkanku dan sibuk dengan rokoknya, sekarang malah menyalahkanku?

"Tapi, Abang tetep abang Cibey yang paling baik dan guaanteng seantaro raya!" Bening menyahuti, ia mengangakat kedua tangannya mengambarkan betapa ia menyanyangi Rio sebagai abangnya.

Suasana hening terbentang seketika. Tatapan Rio menjadi sendu, tak kuasa ia bergerak memeluk Bening dengan erat.

"Maafin Abang. Abang tadi sempet jutek sama kamu," ucapan Rio bergetar. "Maafin Abang..." Rio ingin mengatakan sesuatu. Tapi niatnya terurungkan ketika ia menatapku.

Aku tau, Rio menahannya karena merasa tak enak padaku. Bagaimanapun, Rio tetaplah sahabat terbaikku. Ia selalu mementingkan perasaan orang lain dibanding perasaannya sendiri. Tapi, PLISS, Yo! Kendalikan kedua tanganmu yang melingkari pinggang Bening layak seekor gurita. Ah, kenapa pula aku kesal?

"Bang. Ciyusan deh. Abang bau banget..." Mereka tertawa dengan saling memeluk.

Ya, kali ini aku membiarkan Rio memeluk istriku untuk melepaskan kepenatannya. Bagaimanapun, aku mengerti perasaan Rio. Kebersamaan kakak beradik tak sedarah itu membuat hatiku berdesir. Aku merasa tak enak, sekaligus merasa enggan.

.

.

.

"Kenapa lo gak jujur aja kalo lo mencintai Bening dari dulu?" ucapku membuat Rio menoleh seketika saat kami memasukkan barang-barang Bening ke dalam bagasi mobilku yang telah selesai di packing.

"Ya, gue tau, kemarin tanpa sengaja gue dengar lo nangis dan marah sama tante Lily karena menikahkan Bening sama gue. Apa sungguh karena dia, lo nolak Cindy selama bertahun-tahun? Gue kira ucapan lo waktu itu gak serius," tanyaku kemudian dan Rio masih bungkam.

"Lo diem, berarti gue bener." Menutup bagasi mobil.

"Lam, seperti yang dulu pernah gue katakan sebelumnya, jujur, gue harus bilang iya karena gue cinta sama Cibey dari dulu. Dan...ya...gue kecewa, gue sedih. Karena cewek yang gue cinta selama bertahun-tahun, nikah sama sahabat gue sendiri. Dan gue tau elo dari dulu," jujur Rio.

"Walaupun lo cukup brengzekk, tapi satu hal yang pasti, karena gue tau elo dari dulu, gue percaya, lo pasti jagain dan lindungin Cibey untuk gantiin gue. Gue tau lo orangnya setia. Dan gue harap, lo bisa mencintai Cibey dengan tulus seperti elo mencintai Erina. Dan kalo, ternyata lo gak bisa mencintai Cibey, maka di saat itu juga, tolong lo lepasin dan balikin Cibey ke gue. Lo janji?" Rio mengangkat tangannya.

Dan entah mengapa tanganku menyambut tangan Rio, membuatku berjanji padanya.

***

EPILOG

Aku sibuk berkutat di dapur menyiapkan sarapan apa yang harus aku sediakan untuk suamiku. Suami? Hihi...aku jadi tersipu sendiri.

Hingga kuputuskan aku akan membuat nasi goreng spesial untuknya. Ya, cuma masakan ini yang bisa aku buat karena membuat nasi goreng tak membutuhkan waktu lama. Tanganku terasa ngilu ketika digerakkan.

Beruntung Ibu Eugene, maksudku mama mertuaku, sepertinya tidak melihat memar pada tanganku karena aku memang sengaja menyembunyikannya agar ia tak melihatnya. Mama juga memberitahuku kalo Mas Aslam alergi sea food dan makanan pedas.

Hmmm...nasi goreng ala-ala buatan Cibey udah siap. Semoga Mas Aslam suka. Karena aku juga baru tau kalo dia tak pernah sarapan dan jarang makan. Akan kubuat Mas Ganteng ini berisi kembali! Hwaiting!!

TBC