"Tadi ngobrol apa sama Bang Iyo?" tanya Bening memecah keheningan yang terbentang ketika kami dalam perjalanan pulang.
Setelah drama perpisahan tadi di rumah Rio, membuatku memikirkan banyak hal. Dan aku menyetir dalam kondisi melamun. Beruntung, Bening bertanya dan membuatku sadar. Hampir saja aku menabrak mobil yang sedang berhenti tepat di depanku karena lampu merah sedang berlangsung dan untungnya tak terjadi karena jarak mobil kami cukup jauh.
"Kamu tanya apa?" tanyaku.
"Mas, tadi ngobrol apa sama Bang Iyo?" tanyanya lagi.
"Bang Iyo?" Aku menaikkan alisku.
"Iya...Bang Iyo. Bang Rio maksudku. Tadi kalian ngobrol apa aja?"
"Emm, bukan obrolan apa-apa. Masalah pekerjaan saja," jawabku.
"Ooh..."
Ooh? Dia yang bertanya, tanggapannya cuman 'Oh' doank? Hah, kenapa pula aku harus kesal. Apalagi ketika ia menyebut Rio dengan Iyo.
Aku melajukan kembali mobilku ketika lampu hijau menyala.
"Mas, emm...pernikahan kita ini, apa...Mas mau kita bikin kontrak?" Hampir saja aku menginjakkan rem dadakan karena pertanyaan yang tiba-tiba itu.
Aku menepikan mobilku dan berhenti. "Apa maksudmu?"
"Seperti di novel-novel itu lho, Mas. Bikin perjanjian pernikahan kontrak ato apalah itu," jelasnya.
Ya Tuhan...ni anak apa keseringan baca novel picisan yang tingkat halunya tinggi apa yak? Aku mengusap gusar wajahku.
"Hati-hati Mas, kumannya nanti nempel di muka!" Menyodorkan tissu basah.
Oh, ya ampunn! Apa istriku ini terkena virus songongnya si Rio? Gak abang, gak adek, nyebelinnya seratus dua ratus!
"Bening." Jantungku serasa mau copot ketika mulutku mengucapkan namanya.
"Ya, Mas?" Dia menggeser tubuhnya menghadapku.
Arghh, aku tak bisa berlama-lama menatap wajahnya yang membuat pertahananku runtuh. Seketika aku mengalihkan pandanganku, menghindarinya.
"Pernikahan kita ini bukanlah cerita novel yang sering kamu baca."
"Trus, jadi Mas mau nikah lagi secara terang-terangan, gitu?" Bening menyela.
"Aku gak mau di madu lho, Mas. Mendingan Mas ceraikan aku aja mumpung kita baru menikah kemarin."
Astagaaa!! Bener-bener nyebelin nih bocah!
"Bening! Saya belom selesai bicara!" bentakku.
"Maaf..." menundukan kepala.
"Ah, sudahlah lupakan! Sebaiknya kita pulang!"
Aku malas membahas ini. Entah mengapa kata-kata yang sudah siap terangkai dalam otakku menjadi ambyar ketika melihat tatapan sendunya dan menunduk takut padaku. Aku melanjutkan menyetir mobil.
***
Sebelum pulang ke rumah, kami menyempatkan untuk makan dulu di sebuah rumah makan lesehan dekat pusat pertokoan yang Bening rekomendasikan. Sebenarnya aku enggan sekali. Tapi kata Bening makanan di sini tak kalah enaknya dengan masakan di hotel bintang lima.
Setelah makanan yang dipesan datang, dengan lahap Bening memakan makanannya. Ia menyuruhku makan. Aku masih enggan. Tanpa malu ia membuka bungkusan nasi bakar yang dibungkus daun itu. Lalu mencubit daging ayam bakar yang ia satukan bersamaan dengan nasi dan sambal. Kemudian tangannya mengarah kepadaku.
"Ayok, buka mulutnya. Cobain ini enak banget. Sambelnya gak pedes, kok. Aku tau Mas-nya gak suka yang pedas-pedas," ucapnya. "Ayok, nih, cobain deh." tangannya menggantung di depan mulutku.
Aku merasa enggan karena tangan yang ia gunakan itu untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Terlebih tadi ia menjilati jari-jarinya sebelum ia membuka bungkusan nasiku.
"Ah, aku jorok ya? Maaf aku lupa cuci tangan bekas makanku." Ia menyadarinya. "Ya udah deh, ini buat aku dulu aja. Setelahnya aku cuci tangan dulu."
Aku menahan tangannya ketika ia hendak menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya. Dengan ragu tanganku menarik tangannya lalu memasukkan sesuap makanan itu ke dalam mulutku. Bening merasa terkesiap akan tingkahku. Tapi kemudian ia tersenyum. "Enak, kan? Gak pedes, kan?" tanyanya ingin tau pendapatku. Aku hanya mengangguk sambil mengunyah pelan. Tak ingin ia tau kalo sebenarnya makanan ini enak. Ya...selera yang cukup bagus.
"Mau lagi?" Aku mengangguk. "Oke, sekarang pake ini ya, kol gorengnya enyak." dengan bersuara khas anak kecil, ia menyuapiku lagi. Kemudian ia juga menyuapi dirinya sendiri. "Anggap aja kita lagi makan di hotel bintang lima-lima," ucapnya kemudian.
"Bintang lima!" seruku. Membenarkan kalimatnya yang menurutku salah.
"Iya, bintang lima-lima. Ha ha. Bahasa orang Thai kan, gitu. Hahaha.." Bening tertawa. Candaannya garing. Tapi tawanya cukup menular.
Aku tersenyum dalam diam. Bagai anak kecil yang disuapi oleh ibunya, aku menuruti apapun yang istriku lakukan. Aku mendengarkan apapun yang ia katakan. Aku membuka mulutku lebar-lebar ketika suapan demi suapan datang dari tangannya. Jorok? Tidak! Aku bahkan sangat menikmatinya. Aku bersemangat dan ingin terus seperti ini. Bahkan moment ini tak ingin segera berakhir dan berlangsung lama...
Lambat laun kebawelannya menghilang, pedas katanya, jadi jangan banyak ngomong dulu. Kalo ngomong, pedasnya kerasa banget. Berkali-kali ia meneguk teh hangat yang ada di depannya. Rasanya aku ingin tertawa melihat tingkahnya. Ia cerewet namun protes pada dirinya sendiri. Menyebalkan tapi menggemaskan.
Sejenak aku melupakan Erina karena moment indah ini. Kehadiran Bening saat ini bagaikan air yang menyirami kesegarannya pada hatiku yang kering dan layu.
***
"Ehh udah pada pulang?" Mama menyambut kami saat tiba di rumah. Aku neloyor begitu saja membawa dua koper kepunyaan Bening ke atas. Sekilas kulihat Bening menyalim tangan mama.
"Ishh tuh anak gada sopan-sopannya sama orang tua!" Mama Eugene jengkel melihat tingkah Aslam. "Eh, udah pada makan belum?" tanyanya kemudian.
"Udah, Ma. Tadi aku sama Mas Aslam makan dulu di rumah makan favorit aku," jawabnya
"Wah, beneran? Aslam mu makan?" Mata mama Eugene berbinar, dia begitu antusias.
"Iya, Ma. Ampe nambah malah." Bening sama antusiasnya. "Oh ya, Ma. Aku ke atas dulu ya. Mau beresin barang-barangku dulu," pamitnya kemudian.
Bening mengetuk pintu kamar. Tak lama ia masuk lalu menutup rapat pintunya. Hal yang langsung ia kerjakan adalah membuka isian koper yang ia bawa. Sepertinya ia bingung untuk menaruh barang-barangnya.
"Mas, boleh ngga, aku ikut taro barang-barangku di sini?" menunjuk meja rias. Aku tak menjawab. Aku tak suka barang-barangku tercampur dengan orang lain. Pasti bakalan penuh dan berantakan nanti.
"Oh, boleh. Oke, baiklah, maacihh," ucapnya tersenyum, menjawab dirinya sendiri.
Oh, ya ampun! Mengapa ada gadis seperti dia di kamarku ini?
Tanpa aku menginjinkan, perempuan kurang akhlak itu mengatur tempatnya sendiri. Mulai dari ia membereskan peralatan di meja riasku, kemudian merapikan milikku dengan menatanya rapi ke dalam kotak yang kurasa itu miliknya.
Demi apa, peralatanku menjadi tertata indah karena kumalas untuk membereskannya selama ini.
Di sebelahnya ia menyimpan peralatan miliknya. Mataku melebar ketika melihat bedak bayi, pelembab wajah dan juga pelembab bibir yang ia letakkan di dalam rak kosmetiknya dengan rapi. Tak lupa ada lotion dan juga cologne serta entah cairan apa botol bergambar bayi itu. Berbanding jauh dengan Erina yang pastinya meja rias itu akan ia kuasai dibanding milikku.
Bila dilihat lebih dekat, Bening istriku memang selalu berpenampilan polos. Dan dia terlihat manis tanpa memakai make up.
Kemudian, dia membereskan pakaiannya ke dalam lemari yang ada di ruang ganti. Tanpa perasaan aku membiarkannya beres-beres sendirian. Masih kesal akan omongan Rio yang masih terngiang jelas di telingaku. Dan juga panggilan sayang itu. Emosi membuatku tega membiarkan Bening menyelesaikan semuanya sendirian hingga jam sepuluh malam.
"Mas, aku ijin pake ruang kosong lemari yang ada di sebelah baju Mas ya. Ada baju-baju Mas sih sedikit, tapi maaf aku pindahin ke ruang sebelahnya. Pokoknya aku gak acak-acak lemari Mas. Aku cuma ngosongin tempat di sebelahnya aja. Cuma sepintu, karena bajuku juga gak banyak," tuturnya seraya menyuguhkan segelas susu hangat yang ia letakkan di atas nakas samping tempat tidur. Kemudian ia duduk di sebelahku.
Sambil tetap fokus memainkan ponselku, aku melirik segelas susu itu. "Saya bukan anak kecil yang suka minum susu malam-malam. Lebih baik kopi hitam atau teh panas," ucapku sinis.
Bening menyambar gelas susu itu dengan raut yang kesal. Yes! aku berhasil membuatnya kesal sehingga memudahkannya menceraikanku seperti yang ia katakan tadi, kelak, karena tak tahan akan sikapku.
Ya, selama aku memperhatikannya serta memikirkan akan kontrak pernikahan yang dibahas olehnya, aku memutuskan supaya Bening yang menggugat ceraiku saja. Jadi aku gak usah pusing-pusing mikirin gimana caranya lepas darinya ketika Erina pulang nanti.
Iblis sialan apa yang membisikkan ke telingaku ini sehingga aku bisa lancar memikirkan hal itu.
"Kata siapa susu ini untuk Mas? Aku bikin untukku sendiri," sahutnya menyebalkan, ia menyeruputnya dengan sengaja.
"Lagian, gak baik minum kopi hitam malam-malam. Itu mengandung caféin. Tar yang ada, bukannya tidur, Mas malah begadang!" semburnya gak kenal takut.
"Kalo teh, nanti aku pikirin dulu deh."
Sejujurnya aku parno! Aku memang memikirkan rencana yang keterlaluan, tapi aku sungguh takut jika Bening menyiramkan susu yang masih mengepulkan uap itu padaku.
Benar-benar menyebalkan!
"Kenapa bang Iyo?" Penasaran. Masih pura-pura sibuk memainkan ponsel, aku menyembunyikan perasaan dongkolku akan panggilan yang sedari tadi terus mengusikku.
"Hah?" Yang ditanya kurang konek.
"Maksudku kenapa panggilannya bang Iyo?" jelasku.
"Oh...itu." meletakkan gelas susu yang masih penuh di atas nakas.
"Ya...panggilan sayang kita aja. Aku panggil dia bang Iyo. Bang Iyo panggil aku Cibey," jelasnya.
"Cibey?"
"Iya, Cibey. Crystal Bening. Disingkat Cibey," terangnya.
Panggilan sayang? Sedekat apa hubungan tanpa ikatan darah itu? Dan, apa ini? Kenapa aku harus kesal?
***
EPILOG
Ini hari pertama setelah pernikahan dadakan kemarin dilakukan. Sama seperti Mas Aslam, sejujurnya aku masih belum siap menjalani pernikahan ini. Terlebih ketika Bang Rio memberikan wejangannya pada suamiku saat mereka memasukkan barang-barangku ke dalam bagasi mobil.
Mas Aslam berbohong ketika kutanya apa yang ia bicarakan dengan Bang Rio.
Setelah selesai membungkus kado dan membereskan barang-barangku aku pergi untuk membersihkan diri. Tak lupa kado yang akan aku berikan pada Mas Aslam, aku simpan di dalam lemariku. Tadi, ketika Mas Aslam pergi ke toilet sehabis kami makan sore bersama, diam-diam aku pergi membeli sesuatu di pusat perbelanjaan yang berada dekat dengan rumah makan. Untungnya Mas Aslam terlalu lama ke toilet. Entah apa yang dilakukannya.
Posisi Mas Aslam masih sama seperti saat pulang tadi. Entah apa yang sedang dilakukannya. Menurutku ia cukup kuat mantengin layar gadget-nya. Bahkan ia sama sekali gak membantuku. Sungguh keterlaluan...😔
Aku pergi ke dapur, menyiapkan apa yang bisa aku berikan untuknya. Aku putuskan membuatkan susu hangat untuknya. Selain menyehatkan, susu juga bisa membuat tidur lebih rileks. Semoga Mas Aslam mau meminumnya.
TBC