Chereads / Menikahi Bening / Chapter 9 - Menikahi Bening

Chapter 9 - Menikahi Bening

Sekali lagi, Rio menegaskan agar aku membalas uluran tangannya. Dengan ragu aku mengulurkan tanganku lalu Rio mencengkramnya dengan kuat. Aku meronta menarik kembali tanganku, namun Rio menahannya. Sedikit meringis karena luka akibat memukul tembok saat di kamar tadi. Aku memberikan tatapan tajam pada Rio. Namun Rio tak gentar, ia malah menghunuskan tatapan tajam yang sama seolah ia tak ingin aku mendebatnya.

Sumpah! Ingin kutampol kepalanya saat itu juga!

"Baik, kita lanjutkan acaranya, ya...Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara-saudari semuanya yang ada di sini. Terutama calon mempelai, tentunya sudah tidak sabar," ucap Pak Penghulu sedikit menggodaku. Lalu ia melanjutkannya dengan mengucapkan bismillah dan dua kalimat syahadat. Diikuti oleh Rio, ia mulai mengucapkan kalimat sakral yang harus segera aku jawab.

Rio berijab : "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, saudara King Aslam Dewantara bin Bapak Alexander Dewantara, dengan..." Rio terjeda, nada suaranya tercekat.

Rio hendak menangis? Seberapa pentingnya gadis itu untuk Rio tangisi?

"Dengan adik saya, Crystal Bening Aurellya binti Bapak Albert Hendrawan Almarhum, dengan mahar emas murni seberat 10.000 gram, dibayar tunai!"

Dengan suasana yang hening serta disaksikan para tamu undangan yang hadir. Dan dalam satu kali tarikan nafas, Aku mengucapkan kabulnya dengan segera.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Crystal Bening Aurellya binti Bapak Albert Hendrawan Almarhum. Dengan mahar tersebut dibayar tunai!"

Dengan tegas dan entah kenapa aku bisa begitu lancar mengucapkan janji sakral itu di luar kepala ketika Rio menghentakkan tangannya.

Hiruk pikuk ramai terjadi setelahnya. Kata SAH serta tepuk tangan dari orang-orang yang menyaksikan janji suci yang aku ucapkan itu begitu riuh dan semarak.

Aku memandang orang-orang di sekitarku. Wajah-wajah penuh bahagia ini, terutama dari orang tua yang membesarkanku. Tangisan haru yang bahagia. Aku mengerjapkan kedua mataku. Rasanya ingin menangis, berharap ini hanya mimpi. Dan aku ingin segera terbangun dari mimpi ini.

Tapi dibalik itu semua, mengapa aku begitu lega? Hatiku membuncah, ingin menangis tapi aku bahagia. Dengan bodohnya aku terus menyangkal akan perasaanku ini yang seolah mengkhianati Erina.

Aku menatap Rio yang saat itu langsung menunduk ketika kata SAH itu terucap. ada tatapan sendu dari wajahnya. Tadi sebelumnya ia masih bersikap songong padaku, tapi sekarang, ekspresi Rio tidak seperti biasanya.

Ada beberapa hal yang menggangguku saat kalimat ijab kabul tadi terucap. Mahar 10.000 gram emas murni? Mama sungguh LUAR BIASA menyiapkan mahar yang membuat orang tercengang. Sama halnya dengan sepuluh emas batangan 1 kilogram, mama benar-benar dermawan menyiapkan mahar untuk orang yang baru dikenalnya. Bisa kaya mendadak dan benar-benar beruntung.

Lalu saat ucapan Rio tercekat. Adik saya? Setahuku Rio anak tunggal, sama sepertiku. Dan binti Bapak Albert Almarhum? Dari situ saja mulai terasa aneh. Nama papanya Rio bukan Albert dan papanya Rio masih hidup. Dia rekan bisnis papaku juga. Dan yang paling penting, om Satya ada di sini mengobrol dengan papaku di seberang sana. Apa hubungan dia dan Bening istriku? Apa mereka satu ibu dua ayah? Sedang kemarin dia bicara jika dia menyukai gadis yang menjadi istriku saat ini. Ah, memikirkan itu membuatku pusing! Dan apa-apaan otak sialan ini? Bening istriku? Istriku? Hah, mengapa aku begitu lancar mengingat jika sudah beristri sekarang?

Aku menoleh pada sumber yang seketika membuat lamunanku ambyar dan suara ricuh dari para tamu undangan. Aku melihat mama ditemani tante Lily sedang menuntun perempuan cantik dengan memakai gaun kebaya modern putihnya yang begitu elegant. Rambutnya disanggul simple bermahkotakan permata yang indah. Sangat cantik. Mulutku mungkin sekarang ternganga saat melihatnya.

Benarkah gadis cantik itu istriku? Istri sah yang janji sucinya aku ucapkan beberapa menit yang lalu?

Mama tersenyum penuh haru dan bahagia melihat putra semata wayangnya yang ia kira akan membuat kekacauan di acaranya hari ini. Mengingat tanpa kompromi, tanpa berdiskusi terlebih dahulu, mama dan papa serta Rio dan tante Lily sepertinya saling bersengkongkol merencanakan acara ini. Bahkan, Bening saja ia sepertinya takkan mengira kejadian hari ini di usianya yang menginjak 19 tahun akan dinikahkan dengan seseorang yang sama sekali belum dikenalnya secara lebih dekat. Ia hanya tau, pria yang menjadi suami sahnya kini adalah seseorang yang hampir setiap hari mengambil pesanan bunga darinya.

19 tahun? Mama benar-benar Ibu Terrrhebat menikahkan aku dengan anak kecil. 12 tahun! Kami terpaut usia cukup jauh, bukan? Hal itu membuat aku terkesan seperti seorang pedofilia. Tapi, bukankah banyak juga pasangan yang menikah dengan usia terpaut cukup jauh seperti kami? Bahkan sang istri yang masih muda lama kelamaan dari segi wajah juga fisiknya akan membuat ia menyamai usia suami. Aku harap begitu, istriku...istriku? Ya, istriku akan lebih tua dariku setelah menikah! Sungguh pemikiran terkutuk mengingat aku malu akan usiaku saat ini. Padahal 31 tahun belum terlalu bisa disebut tua - menurutku.

Bening melangkah mendekatiku. Dengan petunjuk serta arahan dari MC Wedding Organizer (WO), Bening menunduk lalu mencium punggung tanganku setelah jari manisnya aku sematkan cincin pernikahan yang mama berikan padaku sebelumnya. Wahh, mama benar-benar menyiapkan segalanya. Lihatlah cincin berlian yang sangat indah itu menghiasi jari manisnya! Begitu pas dan cantik sekali dipakainya.

Aku pun tak mengerti, dengan begitu patuh aku melakukan semua drama ini. Satu hal yang pasti, aku merasa begitu terkesiap, pun hatiku bergetar ketika Bening mencium punggung tanganku. Ada rasa serta getaran-getaran aneh dalam diriku yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Bahkan saat ini, ketika aku harus mencium kening gadis kecil yang ada di hadapanku ini. Istri sahku! Rasa ini begitu menyayat hati. Tanpa aku sadari, mata ini mulai berkabut. Aku berkali-kali mengerjap-ngerjapkan mataku.

Apa yang membuat aku ingin menangis? Apa perasaan ini perasaan bersalah ketika aku mengkhianati cintaku pada Erina? Berkhianat? Bahkan Erina saja tak pernah menghubungiku.

Sepertinya Bening menyadari akan apa yang aku rasakan ketika mata polos itu menatapku; pria yang menjadi suaminya. Bening memurus pergelangan tanganku ketika kami hendak berfoto menunjukkan buku nikah serta cincin yang kami kenakan. Tak lupa sertifikat dan uang simbolis dengan nominal tanggal pernikahan kami. Mama memang ter-THE BEST! Ia menyiapkan segalanya dengan begitu rapi dan sempurna. Applause untuk mama!

Aku memandang kearahnya dengan tatapan sendu ketika merasakan tangan dingin itu memurus jemariku. Seulas senyum tulus Bening berikan membuatku terus menatapnya tanpa mau berkedip. Cantik, istriku benar-benar cantik. Ah, berapa banyak pujian yang aku berikan untuknya sejak dia sah menjadi istriku? Dan istri? Lagi-lagi aku memanggilnya seperti itu. Istri...

Kemudian, hal mengejutkan terjadi ketika Bening menggelayuti tanganku lalu dengan sedikit berjinjit Bening membisikkan sesuatu di telingaku.

"Bersabarlah, tunggu sebentar lagi,"

Tanpa ingin Bening segera menjauh dan melepas pegangannya, aku malah menahan tangannya dan mempererat pegangan tanganku padanya. Bagai seekor gurita yang sedang memindai mangsa, tangan sialan ini malah melingkari tubuh mungilnya yang terasa hangat. Kemudian dengan sikap canggung, Bening menepuk-nepuk punggungku, menenangkanku. Hingga suara riuh para tamu undangan membuat kami malu. Pengantin baru gak sabaran. Udah gak kuat, ya? Dan hal-hal yang meledek, kami simpan dan aku telan bulat-bulat.

Aku tak peduli! Aku masih berada di zona ternyamanku saat ini. Kemudian Bening meronta, tapi aku tak ingin melepaskan pelukan hangat ini. Dan...apa ini? Lagi-lagi aku mulai straight! Menyentuh Bening membuat aku menjadi pria sejati kembali. Padahal tak terlintas dalam benakku untuk melakukan 'itu' bersamanya. Erina, aku hanya mau Erina! Dengan begitu, aku bisa kembali bergelora bersama Erina, bukan? Jika suatu saat ia pulang.

***

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Para tamu undangan pun sudah mulai berpamitan satu persatu. Menyisakkan Rio dan orang tuanya.

"Aku titip putriku padamu ya, Jeng." Tante Lily tersenyum haru. Ia membelai sayang rambut Bening yang dihias cantik itu. Kali ini ia menggunakan gaun modern yang membuat kecantikannya bermunculan lagi. Dan entah mengapa aku bangga. Terlebih banyak yang memuji jika aku beruntung mendapatkan istri yang begitu manis dan cantik seperti dia. Bahkan tak sedikit pandangan mata para pria mana pun yang melihat Bening seolah barang langka yang ingin didapatkan. Termasuk teman-temanku tadi yang memandang istriku dengan tatapan penuh takjub atas kekaguman yang tak ditutup-tutupi.

Bening memeluk erat tante Lily yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. Dia bersedih. Dan entah mengapa aku benci melihat air matanya. Benci karena tak ingin ia menangis ataukah benci karena sikap sok tegarnya itu?

"Sekali lagi selamat." Rio memelukku saat berpamitan. "Tolong jaga dia. Gue harap lo gak nyakitin Cibey." Rio menepuk pundakku, ucapannya serius kali ini. Ah ya, Cibey. Nama itu yang pernah aku dengar.

Namun aku tak mengindahkan apa yang Rio ucapkan saat ini. Aku hanya fokus pada tatapan mata dan ekspresinya. Rio gak ikhlas dan jujur padaku. Karena aku kini benar-benar tau, Bening adalah gadis yang Rio cintai sejak dulu.

Tanpa pamit dan berkata sepatah kata pun. Aku berlalu meninggalkan orang-orang yang menurutku menyebalkan.

Rio berserta keluarganya pamit pulang. Mama dan papa menyuruh Bening untuk segera menyusulku sekalian menyuruhnya untuk beristirahat.

Bening mengetuk pintu kamarku. Ia memberanikan diri memasuki kamarku. Aku duduk dengan menumpu jalinan jemariku di atas paha. Aku menatapnya tajam. Ragu-ragu Bening masuk lalu menutup pintunya rapat.

"Maaf..." kata itu yang keluar dari mulut mungilnya. "Aku tau, mungkin, Mas berharap ini semua hanya prank ataupun sekedar mimpi yang ketika bangun nanti semuanya akan lenyap dan kita kembali pada kenyataan hidup yang sebelumnya."

Kata-kata itu mendayu, membuatku terhanyut akan setiap kata yang Bening ucapkan. Aku menatap Bening dengan tajam, menunggu apa yang akan ia ucapkan selanjutnya.

"Ya, karena aku pun merasa seperti itu, Mas. Aku berharap ini semua hanya mimpi. Bukan maksudku tak bersyukur bersuamikan kamu, tapi bagiku, Mas terlalu jauh dalam jangkauanku." Bening tersenyum, dengan perlahan ia melangkah mendekatiku yang sedang duduk di tepian tempat tidur. Tatapanku masih terpaku padanya.

Bening berlutut di hadapanku. Tanpa aku duga ia menarik telapak tanganku. Sensasi sejuk aku rasakan ketika tangannya yang mungil mengoleskan antiseptic cair pada jemariku yang terluka. Ia meniupnya, membuatku sedikit terkesiap akan tingkahnya. Straight! Oh, No! Kenapa ini bisa terjadi? Cepat-cepat aku menarik telapak tanganku ketika ia sudah menempelkan plester di jemariku.

Hal mengejutkan terjadi kemudian. Bening mengulurkan tangannya saat ia berdiri tepat di depanku. "Hai, namaku Crystal Bening Aurellya. Panggil aja aku Bening ato Cibey. Ayok, kita saling mengenal!"

Hening...

Aku hanya menatap tanpa membalas uluran tangannya. Dengan malu Bening menarik kembali uluran tangannya. "Aku ke kamar mandi dulu kalo gitu," pamitnya pergi meninggalkan aku yang tercenung sendirian.

***

EPILOG

Aku berjalan di lorong rumah besar ini setelah aku selesai dirias memakai gaun yang indah ini. Bukannya memuji diri sendiri, tapi aku ternyata secantik ini! Hehe...

Saat itu sayup-sayup kudengar suara seseorang terisak sekaligus marah. Karena ke-kepo-an tingkat dewi kahyangan yang bersemayam dalam diriku, aku berjalan menuju sumber suara itu.

"Kenapa, Ma? Kenapa mama malah menikahkan Cibey dengan Aslam? Mama kan tau, betapa aku sangat mencintainya dari dulu! Aku rela nunggu dia hingga dewasa sampai aku siap mengatakan kalo aku ingin meminangnya. Tapi, sekarang mama benar-benar tega padaku!" Itu suara Bang Iyo. Bang Iyo menangis?

Tante Lily yang saat itu berada di sana memeluk Bang Iyo dan menenangkannya. "Maafin, mama. Mama pikir selama ini kamu hanya mencintai Bening sebagai adik kamu sendiri. Maafin mama karena udah nyakitin perasaanmu. Andai kamu bilang sama mama dari awal, mungkin saat ini mama yang akan nikahin kamu sama Bening. Maafin mama..." Tante Lily terisak.

Aku bersembunyi dan bersandar di balik tembok. Meresapi apa yang mereka ucapkan...

TBC