Chereads / Menikahi Bening / Chapter 2 - Telur di Ujung Tanduk

Chapter 2 - Telur di Ujung Tanduk

Namaku, King Aslam Dewantara. Biasa dipanggil Aslam. Aku pria blasteran Thionghoa-Jerman ini memudahkanku menggaet perempuan yang aku inginkan. Aku anak tunggal dari kedua orang tuaku yang bisnisnya sudah menetas ke berbagai kota juga provinsi di Indonesia ini. Terutama di bidang kontruksi dan properti. Ayahku, Alexander Dewantara, sebenarnya sangat menginginkanku untuk terjun di dunia bisnis dan menekuni usaha yang ayah rintis selama bertahun-tahun itu.

Dan ibuku, Eugene Dewantara hanya seorang ibu rumah tangga sosialita biasa yang mendukung penuh di balik kesuksesan yang diraih oleh ayahku. Tapi, tidak! Sebenarnya mama juga pebisnis yang handal. Dia hanya duduk di balik meja dan gadget-nya, tapi pundi-pundi rupiah menggemukkan rekeningnya. Ya, mama berbisnis di bidang kecantikan.

Namun, di usiaku yang sebenarnya di bilang sudah matang ini, tak membuatku mendewasakan diri. Aku malah sibuk bermain dan berhura-hura bersama teman-temanku. Tentu saja dengan memanfaatkan fasilitas serta kekuasaan atas nama ayahku. Bahkan, bercinta saja sepertinya tak cukup untukku.

Di balik itu semua, hanya ada satu wanita yang namanya selalu terukir di hatiku.

Erina, perempuan cantik yang berprofesi sebagai super model itu mampu menggetarkan hatiku sehingga menginginkanku memiliki dirinya seutuhnya. Jangan ditanya bagaimana percintaan kami dalam menjalin hubungan selama dua tahun ini, tentu saja rasa nikmat surga dunia sudah tak asing lagi untuk kami. Setiap pertemuan, setiap ada waktu, hal tersebut tak pernah lepas jika kami bertemu. Aroma tubuhnya seolah candu untukku.

Jangan ditanya bagaimana kami bisa melakukan hal yang sebenarnya dilarang oleh agama karena kami men-Sah-kannya sebelum halal. Itu semua murni saja, dan aku yang memang berandalan ini awalnya tak mempedulikan bagaimana Erina bisa begitu lihai dalam melakukan hubungan terlarang itu. Yang penting untukku hanya satu, yaitu nikmat. Sungguh terkutuklah diriku ini!

Tapi tidak dengan hari ini. Aku ingin segera mengakhiri dosa yang kami perbuat selama ini dengan cara menghalalkan hubungan kami. Aku ingin bertanggung-jawab sepenuhnya. Mencintai dan membahagiakan Erina. Ya, tepat di hari ulang tahunku yang ke 30, aku ingin melamar sekaligus melangsungkan pernikahan kami.

***

Hiasan dekor yang begitu indah menghiasi seluruh ruangan serta area rumah bak istana malam ini. Dekorasi background yang berdominasi berwarna merah dipadukan warna gold, tak lupa lampu-lampu hias itu membuat nuansa ruangan seakan glamour.

Seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di depan cermin riasnya berulang kali berdecak sebal karena ia tidak menyukai warna dekorasi yang dipilih putranya untuk pesta malam ini. Tangannya masih merapikan sanggul rambutnya serta mulutnya tak berhenti menggerutu kesal karena nuansa yang seharusnya terang dan cerah menjadi bernuansa gelap karena warna merah yang mendominasi. Walaupun ada sentuhan warna gold yang membuat kesan mewah, tetap tidak mengurangi redupnya pencahayaan ruang pesta tersebut. Hanya seorang penata rias (MUA) yang mungkin saat ini dengan sabar mendengarkan semua ocehan wanita paruh baya tersebut. Bersyukur saat ini gendang telinganya baik-baik saja.

"Udah dong, Ma...jangan ngomel terus. Ini kan warna favorit Erina," Aku merajuk dan membujuk mama yang terus saja mengoceh karena dekorasi pesta hari ini tidak sesuai kriterianya.

"Mama gak habis pikir, kenapa Erina gak diskusi dulu sama Mama, Nak? Bagaimana pun, kan Erina calon mantu Mama, seharusnya apa-apa tuh bicarain sama Mama. Kamu juga. Nyebelin!" kesal mama. Entah mengapa ia begitu cerewet sekali hari ini.

Mama adalah ibu paling baik dan pengertian se-Dunia. Dan mama hanya mempunyai satu orang putra saja. Yaitu diriku. Padahal aku ingat, waktu kecil minta diberikan adik. Namun, sampai saat ini, adik yang aku minta tak kunjung ada. Sampai aku menjadi anak tunggal yang kurang akhlak. Dan kini, putra satu-satunya ini sedang merajuk dengan merebahkan kepalanya di paha ibunya.

"Ma..."

"Apa sih?"

"Mama gak suka ya, aku nikah sama Erina?" Aku bermanja-manja, berharap mama luluh. Mama menghentikan kegiatannya, memberi kode kepada para MUA untuk keluar meninggalkan kami.

Setelah para MUA keluar dan menutup pintu, mama berbicara lembut sambil mengusap rambut kepalaku.

"Gak terasa kamu udah gede, Nak. Kamu udah sebesar ini. Usiamu udah kepala tiga."

Aku deg-degan. Rasa-rasanya ini bukan sifat mama. Tepat di mana aku menduga-duga, aku memekik ketika mama menjewer telingaku.

"Aw aw Ma, ampun Ma." Aku mengusap daun telingaku yang terasa panas akibat jeweran mama.

"Dasar bocah g*nd*ng. Usiamu udah kepala tiga dan kamu susah di kasih tau. Suka seenak dewek kalo bertindak. Giliran kayak gini, kamu belagak kaya anak tiga taun yang pengen dikabulin permintaannya." Mama mencak-mencak dengan kalimatnya yang terdengar aneh. Entah sejak kapan mama terlalu lancar berbahasa 'asing'. Menurutku sih begitu bagi mama yang notabene berasal dari keluarga yang bertata-krama sangat baik.

"Ih, Mama apaan sih. Sama anak sendiri jahat banget." Aku cemberut dan masih duduk bersimpuh di hadapan mama.

"Mama gak habis pikir, punya anak satu tapi ngeyelnya minta ampun. Umur udah kepala tiga, kelakuan kayak anak abege. Kapan kamu dewasanya sih, Nak? Untung, anak mama cuma satu, coba kalo ada dua anak macam kamu, bisa-bisa mama salto."

"Apaan sih, Ma. Bawa-bawa salto segala," aku terkekeh menanggapi ucapan mama yang konyol. "Ma..." Aku menyandarkan kepalaku lagi di paha mama sambil memeluk pingganggnya, sungguh terasa hangat. "Mama sedih ya, aku mu nikah? Tenang aja Ma, aku dan Erina setelah menikah akan tetap tinggal di sini kok, nemenin Mama..."

"Enak aja. Ini rumah Mama sama Papa," pungkas mama. Ah, moment syahdu ini malah kacau.

"Iya...ini rumah Mama sama Papa. Tapi nanti ini juga bakal diwarisin sama aku." Mama memukul pundakku. Sekejap aku memekik kaget. Dan kami pun tertawa.

Aku bangun lalu mendongakkan wajahku menatap wajah mama yang masih cantik di usianya yang sudah setengah abad itu. "Maafin aku ya, Ma." sumpah, aku pengen nangis! Dan kulihat mata mama berkaca-kaca.

"Nggak! Mama gak mau maafin!" Mama memalingkan muka. Mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Ma...lihat aku!" aku menangkup pipi mama. Cairan bening menetes membasahi telapak tanganku. Hatiku sungguh sakit.

"Ma...tolong restui aku. Restui kami. Tanpa restu Mama, pernikahan ini bukan apa-apa," ucapku memohon.

Mama menangkup kedua telapak tanganku. Tangannya terasa hangat. "Seorang ibu pasti akan bahagia bila melihat anaknya bahagia. Begitu pula mama. Mama sangat bahagia jika anak mama menemukan kebahagiaannya."

"Mama, merestuiku?"

"Tentu saja. Berapa usiamu sampai kamu gak ngerti ucapan mama?"

"Makasih, Ma..." Aku mencium telapak tangan mama bertubi-tubi, lalu memeluknya. "Makasih..."

"Sama-sama, Sayang." Mengusap lembut punggunggku. "Semoga kamu selalu bahagia. Mama harap, Erina akan selalu bersikap baik, menerimamu apa adanya dan yang paling penting ia mencintaimu seperti mama mencintai dan menyayangimu."

"Pasti, Ma. Aku akan selalu berbahagia karena kami saling mencintai," tegasku penuh keyakinan.

"Tapi...mama nanti jadi kesepian. Kalo kamu nikah, kamu pasti sibuk sama istrimu," cebik mama.

"Makanya, coba aja dulu Mama sama Papa ngabulin permintaanku soal adik bayi. Jadi

Mama masih punya anak setidaknya selain aku buat nemenin Mama. Tapi tenang aja, Mama juga nanti ada temen ngobrolnya, jadi nanti Mama gak kesepian. Erina anaknya supel kok, Ma. Atau...Mama sama Papa bikin anak lagi aja, biar gak kesepian." Mama menjewer telingaku lagi lalu memukul pundakku.

"Dasar anak sabl*ng. Gak tau di untung! Seharusnya kamu yang kasih mama cucu! Bisa-bisanya nyuruh mama beranak lagi!"

Aku berhambur memeluk mama. Kami tertawa sekaligus terharu. Tak ada hal yang paling membahagiakan saat ini. Sungguh sangat bersyukur mama benar-benar menerima Erina.

"Ma....Aku kan anak Mama, bukan anaknya Wiro." aku mencebik sambil bercanda.

"Siapa yang bilang kamu anaknya Wiro?" Sopo Wiro?"

"Itu tadi Mama bilang aku sabl*ng. Berati aku keturunan Wiro sabl*ng 212 gitu?"

"Oalahhhh dasar bocah tua!" Mama memukul lenganku. Entah berapa banyak noda biru yang akan muncul nanti pada tubuhku akibat KDRT dari mama.

"Ma...Mama sungguh merestuiku, kan?"

"Cerewet sekali. Kamu mau mama menarik ucapan mama kembali?"

"Jangan dong, Ma. Trus, Papa gimana, Ma?"

"Papamu? Ah gampang dia mah. Papa juga pasti setuju kalo mama setuju. Ya, walaupun sebenarnya mama dan papamu masih belum sreug sama Erina. Tapi apapun demi kebahagiaanmu, kami setuju saja." Mama tersenyum lalu mencium keningku. "Semoga kamu dan Erina bahagia. Trus cepet-cepet kasi mama dan papa cucu yang lucu-lucu." Mama sumringah.

Sumpah, aku sungguh merasa sangat bersalah di hadapan mama. Sebagai seorang anak yang papa dan mama banggakan walaupun aku anak yang belum bisa diandalkan. Aku, sebagai anak laki-laki yang seharusnya menjaga serta menjunjung tinggi martabat dan derajat perempuan yang selalu orang tuaku ajarkan, tapi aku malah berbuat sebaliknya. Aku malah merusak anak orang sebelum kami sah di mata agama maupun hukum. Maafin Aslam, Ma...

"Ma..."

"Apa? Udah ah, ayo kita harus bersiap-siap. Sebentar lagi para tamu undangan, kolega bisnis papa dan teman-temanmu akan segera datang."

"Ma..." Aku menatap mama. "Maskara sama make up Mama luntur." Aku segera beranjak sebelum mama memukulku kembali.

Sambil tertawa aku keluar dari kamar mama dan bersiap-siap menjadi raja sekaligus pria paling bahagia di dunia karena beruntung memiliki Erina, ratuku, calon istri dan calon ibu dari anak-anakku yang pastinya lucu-lucu.

Ah, sungguh aku sudah membayangkan betapa bahagianya kami nanti setelah menikah dan menjalani bahtera rumah tangga kami.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Teman bisnis papa, juga teman-temanku. Tak lupa teman-teman sosialita mama. Tak sedikit orang-orang memujiku hari ini. Aku mempersilahkan para tamu undangan untuk menikmati perjamuan makan dan minuman yang tersedia.

Hatiku berdebar, berkali-kali aku berjalan mondar-mandir di depan rumah sambil menunggu yang terkasih datang. Berkali-kali aku menelpon Erina, namun dia tidak mengangkatnya. Bagai telur di ujung tanduk, aku menunggunya dengan harap-harap cemas. Dalam hati aku berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa pada Erina. Ya, kuharap begitu!

***

EPILOG

Aku tiba di sebuah rumah yang bagaikan istana. Sangat indah. Dari luar saja betapa indahnya lampu-lampu taman halaman rumah itu menyala. Aku membayangkan betapa betahnya aku bila menyegarkan diri dengan duduk di bangku taman itu. Menikmati semilir angin berhembus serta pemandangan di sekelilingnya.

Aku mamarkirkan motorku ketika kulihat seorang pria yang kurasa umurnya sudah cukup matang sedang meremas rambutnya. Ah, sayang sekali. Padahal dia sudah rapi dan keren. Satu hal yang pasti, pria itu sepertinya sedang kesal dan...cemas.

Tanpa berkedip aku memandang kagum pria yang gantengnya maksimal itu walaupun rambutnya acak-acakan.

Akibat kecorobohanku, aku lupa menurunkan standart motor matic-ku dan seketika kekagumanku ambyar bersamaan pekikan kaget karena motorku terjatuh. Gedubrak!

TBC