Satu tahun berlalu. Lebih tepatnya satu minggu sebelum aku berulang tahun yang ke-31. Ah, sudah cukup matangkah, aku?
Setelah pertemuan dengannya di rumah sakit waktu itu - Gadis pasien misterius aku menyebutnya - membuat aku ingin pulang. Kurasa itu pertemuan pertama juga terakhir untuk kami.
Kini, aku menjalani kehidupanku dengan biasa. Meskipun kata mama, Aslam yang sekarang masih belum sadar dan tidak normal, tapi mama sangat bersyukur karena aku mau menjalani kehidupanku. Cukup lama bagiku beradaptasi diri dengan pribadiku yang sekarang. Sempat aku berkonsultasi dengan psikolog karena mama khawatir aku mengalami trauma yang berkelanjutan. Dan itu cukup membantu karena psikiater tersebut teman masa SMP hingga SMA-ku. Jadi, mungkin konsultasi dengannya seperti mengobrol biasa saja. Walaupun tak sepenuhnya aku terbuka padanya.
Aslam yang sekarang menjadi pribadi yang work holic. Aku yang dulu seorang brandalan dan hanya berhura-hura, sekarang menjadi seorang arsitek sekaligus pebisnis yang handal dan hebat dalam satu tahun terakhir. Puing-puing rupiah dalam tabunganku menggemuk dalam sekejap. Sesekali aku menggunakannya untuk pergi ke kelab malam dan menghabiskan waktu untuk menyesap minuman di sana.
Soal wanita? Sejak Erina pergi, rasanya susah sekali bagiku untuk bisa 'bangkit'. Bahkan, para wanita yang awalnya ingin memilikiku, perlahan pergi menjauh hanya dikira aku tidak normal. Apa yang terjadi? Ada apa denganmu, junior?
Jangan ditanya bagaimana perasaan papa yang selama ini terus memberiku support agar mau meneruskan usahanya. Tentu saja ia bangga. Aku lulusan S3 luar negeri dengan otak di atas rata-rata ini akhirnya bisa menekuni bisnis yang aku suka dengan serius. Aku jadi ingat apa keinginanku dulu soal karir. Aku ingin menjadi arsitek hebat seperti papa.
Menjadi arsitek, aku bisa membuatkan istana untuk papa dan mamaku, dan juga untuk princess-ku tentunya. Itu pemikiranku di masa kanak-kanak. Dan, papa mendukungku.
Tapi pada kenyataannya, papa yang sudah membuatkan istana yang megah untuk kami. Katanya, istana ini kelak untukku, juga princess-ku dan untuk cucu-cucunya.
Hanya saja setelah dewasa ini. Karena lingkungan luar negeri, aku terbawa pergaulan bebas. Sampai saat bertemu Erina, aku malah semakin dibutakan oleh cinta. Otak cerdasku malah tersumbat.
"Nak, mau ke mana pagi-pagi begini?" Mama berteriak dari dapur.
Aku bangun lebih awal pagi ini. Karena pulang dengan keadaan mabuk semalam, aku jadi lupa mengerjakan proyek yang seharusnya selesai siang ini.
"Mau ke mana?" Mama bertanya lagi. Kali ini ia sudah menghampiriku yang sedang meminum segelas air putih.
"Aku ada kerjaan, Ma. Siang ini ada meeting dengan klien." Aku pamit.
"Sarapan dulu, Nak," pinta mama.
"Nanti aja. Aku telat." Aku bersikap dingin.
Satu hal lagi yang berubah dari diriku adalah tidak pernah merasakan masakan mama lagi. Baik sarapan, makan siang maupun makan malam. Aku sudah jarang sekali untuk makan. Beruntung aku mempunyai tubuh yang kuat - Menurutku.
"Oke. Jangan lupa nanti sarapan di kantor." Mama menegarkan diri. Aku tau mama sedih. Maafin Aslam ya, Ma...
Aku mengangguk menanggapi ucapan mama. Lalu bergegas untuk pergi.
"Oh ya, jangan lupa mampir dulu ambil pesanan bunga mama!" Teriak mama lagi.
Sebenarnya aku kesal. Pribadi baru itu bukan hanya aku saja. Tapi, Mama!
Lihatlah, selama hampir satu tahun ini, rumah udah kayak taman bunga.
Tanpa bisa menolak juga menggerutu aku melakukan apa yang mama perintahkan. Dan itu sudah menjadi kebiasaanku. Lebih tepatnya tiga bulan setelah aku bisa menata diri, mama mulai mengoleksi jenis tanaman serta bunga. Setiap pagi, seperti menjadi rutinitas wajib, tubuhku yang awalnya enggan dan malas harus mampir ke toko bunga pada akhirnya aku tetap menginjakkan kakiku di sini.
Toko bunga dan kue itu bernama : "Lilyana's Flower n' Cake". Toko ini sudah menjadi langganan mama. Bahkan, orang di toko ini sudah hafal kalo setiap pagi aku akan mengambil bunga pesanan mama. Terkadang siang ataupun sore hari jika aku pulang cepat, mama menyuruhku mengambil pesanan kue-nya. Bluberry cheese cake di sini sungguh lezat. Beberapa kali aku mencobanya. Dan itu membuat suasana hatiku membaik. Aku tersenyum setelah memakannya.
Aku masuk ke dalam toko. Tapi bunga pesanan mama belum terpajang di tempat biasanya aku ambil. Aku mengedarkan pandanganku dan sekilas melihat waktu pada jam dinding tempel berbentuk cake dan bunga di setiap angkanya. Masih ada cukup waktu sebelum aku bisa menyelesaikan pekerjaanku.
Prioritas utama sekarang adalah memenuhi keinginan mama. Bagiku itu yang terpenting sekarang.
"Mas, mau ambil pesanan bunganya, ya?" Seseorang menyahut. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Suara ini tak asing terdengar. "Mas datangnya kepagian, bunganya belom siap. Mas mau nungguin gak? Atau..."
"Cepat selesaikan saya gak punya waktu," tanpa mau melihatnya berlama-lama, aku memotong ucapannya dengan ketus.
"Hah? Oh, ya. Tunggu sebentar ya, Mas." Gadis itu pergi. Panggilan 'Mas' itu mengapa membuat hatiku bergemuruh.
Sudah 15 menit aku menunggu. Gadis bunga itu masih belum menampakan batang hidungnya. Kesal? Ya, tentu saja. Aku marah karena ia tak kunjung datang. Seakan ada yang hilang, aku merasa hilang kendali. Tapi, perasaan ini aku pikir karena aku terburu-buru harus menyelesaikan pekerjaanku.
Mengenai gadis bunga itu, bila dipikir-pikir ini pertama kali aku melihatnya dengan jelas. Biasanya aku langsung mengambil bunga atau cake pesanan mama tanpa membalas sahutan atau sapaan gadis itu terlebih dahulu. Aku bahkan tidak melihat wajahnya. Aku hanya datang dan langsung bayar, tanpa mau repot-repot menunggu berapa kembalian yang harus aku ambil.
"Bey! Hati-hati!" Lamunanku teralihkan ketika seseorang tiba-tiba berteriak. "Gimana sih, kamu. Ke mana Yuni sama Iman?" aku melihat seorang pria itu berlari dengan cemas. Ia mengambil alih pot bunga yang sedang di tenteng serta digendong gadis itu. Dan pria itu, sepertinya aku mengenalnya dengan baik.
"Makasih, Bang." gadis yang tadi dipanggil, Bey? itu tersenyum. "Mbak Yuni dia ijin datang agak siang. Mawar sakit. Trus Kak Iman, kemarin bilang sebelum ke sini dia mau langsung anterin pesanan bu Tari biar gak bolak balik," jawab gadis itu dengan lembut.
Pria itu berbalik dan seketika berdiri mematung melihatku. "Lam? Lo ngapain di sini?" tanyanya.
"Mas-nya langganan tetap kita, Bang. Dia anaknya Ibu Eugene yang setiap hari memesan bunga," terang gadis itu.
"Oh...ternyata elo pelanggan tetap yang selalu ambil bunga tiap pagi? Gue kira ibu Eugene yang mana..." tanya Rio. Begitu aku memanggilnya. Dia sahabat dari SMP yang masih waras pikirannya di antara yang lain. "Astaga, gak nyangka gue!" Pekiknya girang.
"Ngapain lo di sini?" tanyaku penasaran.
"Tiap pagi gue emang selalu mampir ke sini," jawab Rio.
"Lo..."
"Toko bunga dan cake ini dikelola nyokap gue," potongnya.
"Tante Lily?" Aku mengerutkan kening. Ah...ya. Pantes saja toko ini bernama Lilyana's flower. Tak pernah terpikirkan toko ini milik keluarga Mario. Mungkin kami datang saling silang setiap paginya sehingga kami tak pernah bertemu. "Ini, ambil aja kembaliannya." tanpa mau membahas lebih lama, aku langsung mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan. Dan seperti biasa, tanpa mau mengambil kembaliannya.
Aku mengambil bunga pesanan mama yang tadi Rio letakkan di meja, lalu bergegas pergi dari sana. Sebelumnya, aku melempar kunci mobilku kepada Rio dan mengajaknya segera ke kantor.
Dari kejauhan aku mendengar Rio menggerutu. Tapi aku tau, sebetulnya ia sangat senang karena bisa mengendarai Bugatti LVN kesayanganku.
***
"Nih!" Dengan malu-malu, Mario menyodorkan sesuatu padaku. Ia sudah duduk dikursi pengemudi lalu memasang seatbelt-nya.
"Apa ini?"
"Entahlah. Itu Cibey yang kasih," jawab Rio.
Aku mengerutkan kening. Lalu membuka isi amplop tersebut. "Tissu basah?" Rio hanya mengendikkan bahunya kemudian melajukan mobilnya. Aku menatap bungkusan kemasan tissu basah sachet bergambar bayi itu. Otak cerdasku langsung menangkap sinyal jika ini tidak baik. Dadaku bergemuruh. Aku menurunkan sun visor mobil dan menatap wajahku lekat-lekat di kacanya. Aku melirik Mario. Sh*tt! Badannya bergetar!
"BAHAHA!!" Akhirnya tawa Rio pecah. Selain sahabatku, dia adalah partner kerja terburukku!
Ya, karena itulah aku bilang dia yang paling waras dari yang lain. Karena tak ada teman yang seberani dia mengungkapkan ekspresinya padaku. Yang lain lebih cenderung banyak merasa tak enak padaku serta menahan diri. "Berapa sering lo gak mandi sebenarnya sih? Apalagi semalam lo mabok." Masih dengan tertawanya.
"Sialan lo!" Aku mengeluarkan tissu basah lalu mengusapnya pada wajahku. Sumpah! Aku malu banget!
"Haha untung lo ganteng."
"Hah?"
"Kata Cibey, untung lo ganteng." Entah apa yang Rio ucapkan. Tapi aku merasa senang. Seperti anak abege yang mendapatkan salam dari cewek kecengannya.
"Parrahh! Ampe lupa gak cuci muka kayak gitu." Mario masih belom bisa berhenti tertawa. Aku menimpuknya dengan map file yang ada di depanku. Seketika ia diam. Tapi tak lama ia tertawa kembali.
Demi tuhan! Dan entah mengapa aku pun ingin tertawa.
"Dia...adik lo?" Aku memulai pembicaraan.
"Bukan. Tapi dia anggap gue kek abangnya sendiri." Ada tatapan sendu dari pembicaraan Rio.
"Lo, suka sama tuh cewek?" Mario mengangguk. Entah kenapa aku tak suka akan kejujurannya.
"Jadi karena dia lo nolak Cindy?" Lagi lagi Mario mengangguk. Cindy adalah teman semasa SMP kami, dan ia mengagumi Mario sejak lama. "Padahal sekarang Cindy udah jadi seorang psikolog handal lho, dia."
"Ya, dan lo salah satu pasiennya."
"Sialan, lo!" Rio tertawa. Dan aku hanya menyeringai karena ucapannya benar.
"Siapa namanya?" Lagi, entah mengapa aku begitu senang membahas gadis tissu basah itu? Haha... dan entah berapa banyak julukanku untuk gadis itu.
"Siapa? Cibey?" Seakan tertarik Mario sampai menoleh padaku.
"Ehm. S-siapa lagi..." merasa gugup aku mengalihkan pandanganku.
"Eh, btw tumben banget deh, lo banyak ngomong hari ini."
Ya, Mario benar. Setelah sekian lama, aku agak cerewet hari ini? Ini obrolan santai kami yang cukup lama dan biasanya aku bicara seperlunya saja setelah kecelakaan waktu itu.
"Ya...gue cuma nanya aja. Gak usah lo jawab juga gakpapa. Fokus nyetir!" Tiba-tiba aku merasa bete.
"Lha, kenapa jadi lo yang bete? Dasar aneh! Untung lo baik." Mario mencebik jengkel.
***
EPILOG
Aku menatap lekat wajah Mas Ganteng anaknya Ibu Eugene - langganan tetap toko kami. Apa dia terlalu terburu-buru sampai ia tak sempat mandi? Bahkan cuci muka saja rasanya tidak.
Jorok banget sih, iwyuhhh...Untung Masnya ganteng. Xixixi... 🤭
Aku menitipkan tissu pada Bang Rio, berharap Mas ganteng itu gak tersinggung.
"Lagi ngapain?" Mbak Yuni menghampiriku yang sedang menjumlah sisa kembalian yang tak pernah diambil Mas Ganteng itu.
"Biasa, Mbak," jawabku.
"Gak diambil lagi? Wahh bagi wong sugih duit segitu mah gak seberapa. Udah, ambil aja."
Aku tersenyum menanggapi ucapan mbak Yuni. "Tapi ini bakal aku balikin kok, Mbak. Ini bukan hak kita."
Nominal yang cukup banyak aku kumpulkan selama kurang lebih 9 bulan ini. Aku memasukkan sisa kembaliannya hari ini ke dalam celengan kaleng yang cukup besar lalu menutup buku catatan perhitunganku.
Bersyukur kamu baik-baik aja sampai sekarang. Apa kamu ingat? Dulu kita mengobrol bersama, di bangku taman rumah sakit...
TBC