Chereads / Menikahi Bening / Chapter 7 - Calon Mantu

Chapter 7 - Calon Mantu

Aku dan Mario tiba di tempat kami mencari nafkah. Di sinilah aku membangun kantorku. Obrolanku dan Mario terputus karena klien yang akan bertemu siang ini menelponku. Ya, hampir saja aku lupa akan pekerjaanku.

Aku bergegas ke ruang kantorku. Dibantu Mario sebagai seorang insinyur yang ahli, ia benar-benar asisten sekaligus partner kerja yang bisa diandalkan. Walaupun tingkat level songong yang dia punya sudah melebihi batas maksimal, tapi dia sahabat yang baik.

Siang ini kami bertemu dengan klien di cafe dekat kantor sekalian makan siang bersama. Bersyukur sketsa yang diinginkan selesai tepat waktu. Dan aku mendapatkan proyek besar yang ke-sekian kalinya.

"Lo, gak makan?" Mario bertanya dengan mulut penuh makanan.

"Telan dulu baru ngomong," ucapku.

"Ampe kapan lo diet?" meminum air putih setelah menghabiskan makanannya. Lebih tepatnya ia menghabiskan sisa pesanan makan siang kami tadi bersama klien. Ini yang aku suka darinya. Bagaikan vacum cleaner, ia benar-benar membersihkan sisa makanan yang masih belum tersentuh. Mubazir katanya.

"Gue gak diet."

"Jarang makan di rumah. Di kantor apalagi. Sekalinya makan dibarengin miras ampe mabok," jengah Mario. "Lam, gue serius. Ini udah hampir satu tahun. Ampe kapan lo siksa diri lo kayak gini?"

"Gue gak makan karena gue gak laper."

"Gak laper tiap hari selama setahun, gitu? Trus, lo mau nunggu Erina balik?" Pertanyaan Mario kali ini sulit untukku jawab. "Apa pernah sekali aja, dia hubungin lo? Pernah, dia nanyain ato nyariin lo? Padahal gue sering denger dia suka VC'an sama si Sonya, teman modelnya itu. Bahkan, doi sering banget posting kegiatannya di sosmed, bahkan si Frendian itu sering di hastag, trus nongol di foto-foto yang doi post," curcol Mario. "Sorry, gue gak bermaksud nyinggung lo. Tapi lo juga sebenarnya tau, kan?"

Aku bingung menanggapi ucapan Mario. Ya, aku tau itu. Sering kali aku kepo-in sosmednya Erina, memantau kegiatannya di sana. Awalnya aku senang karena melihat aktivitasnya di sosmed seakan mengobati rasa rinduku padanya. Apapun yang dia posting, aku menyambutnya dengan gembira. Bahkan like dan juga komen aku sertakan di setiap caption yang dia buat. Sering kali aku juga mencoba mengirimkan pesan dan mengubunginya. Namun, tak ada satupun balasan darinya.

Lambat laun aku tahu, komen yang aku posting telah dihapusnya. Seakan Erina ingin menghilangkan jejakku. Pun dengan betapa seringnya ia mencantumkan Frendian sebagai partner yang sangat ia syukuri. Bahkan mereka sering berfoto bersama. Katanya ia tak ingin terekspos hubungan dengan pria manapun. Tapi nyatanya, Frendian selalu hadir di setiap kegiatannya.

Apa karena Frendian hanyalah kepala agensinya saja sehingga orang-orang yang berada di sana mengenalnya seperti itu? Ya, aku pikir begitu. Namun, apakah selama ini Erina merindukanku? Aku rindu, namun hati ini terasa hambar.

"Cepetan lo abisin semuanya. Gue tunggu di mobil." Tanpa ingin mendengar celotehan Mario yang udah kayak emak-emak, aku pergi meninggalkannya dengan mulut yang sepertinya hendak membantah. Padahal aku tau, Mario udah habisin semua makanannya.

***

Hari ini tepat satu tahun kejadian buruk tahun lalu terjadi. Lebih tepatnya hari di mana usiaku bertambah lagi. Jujur aku kesal. Pasalnya, mengapa hari ini berada tepat di akhir weekend sehingga membuat pesta ulang tahun ini terjadi dengan mudahnya sesuai keinginan mama.

Ada yang berbeda dari pesta kali ini. Pestanya diselenggarakan mulai dari siang hari. Dan katanya pesta puncak terjadi pada sore hingga malam hari. Mama yang menyiapkan semua ini. Mulai dari dekorasi, katering, semuanya. Padahal aku sudah bersikeras untuk tidak merayakan pesta ulang tahun kali ini. Ya...mengingat usiaku yang sebenarnya tidak muda lagi.

Tahun lalu aku masih berani karena aku merayakan ulang tahun sekaligus acara lamaran dan juga pernikahan yang berakhir kandas, bahkan sebelum acara itu di mulai. Namun, kali ini tak ada tujuan dari pesta yang diselenggarakan. Mengingat orang-orang yang datang hari ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Mau ditaruh di mana mukaku ini?

Aku menatap dekorasi pesta dari atas balkon kamarku. Hiasan bernuasa putih berhiaskan lampu-lampu kristal yang indah. Bunga-bunga koleksi mama turut menghiasi pesta kali ini. Ah, bila di teliti lagi, rumah ini udah kayak taman bunga. Apa mama kelak akan berbisnis soal per-Bunga-an?

Gazebo di taman itupun disulap dengan indahnya. Aku tak menyangka selera mama benar-benar se-elegant ini. Sungguh indah. Seakan warna-warna putih itu melambangkan kesucian.

Andai tahun lalu aku mengikuti keinginan mama, apakah pernikahanku akan terjadi?

Aku menelusuri seluruh ruangan yang dihias dengan begitu indahnya. Nuansa putih ini terasa sakral. Bahkan kamarku ini dihias dengan indahnya layaknya kamar pengantin.

Tidak-tidak, ini tidak seperti yang aku pikirkan, bukan? Tak mungkin akan ada pernikahan di pesta ulang tahunku kali ini.

Lalu, untuk apa meja yang berada di tengah ruangan gazebo itu? Meja itu disiapkan seperti akan melakukan akad nikah.

"Ya ampun! Kenapa masih belom siap, sih?" Pekik mama membuat aku jantungan. "Gimana sih ini, bentar lagi acara udah mau dimulai. Mama udah siapin tuh baju buat kamu." Mama sibuk sendiri agar aku menurutinya.

"Ma, aku gak mau," kesalku.

"Kenapa? Dulu kamu seneng banget kalo ulang tahunmu dirayain dengan meriah. Bahkan kamu bikin papa seriyosa gara-gara tingkah kamu dan teman-temanmu." Mama mengingatkan aku akan kejadian tahun-tahun lalu.

"Itu dulu, Ma. Dan sekarang aku gak mau! Aku gak suka!" Ucapku dengan sedikit meninggi. Sesungguhnya aku tak ingin mama melihat kesedihan dari mataku karena teringat Erina. "Tolong, Ma. Jangan paksa Aslam," mohonku.

"Mama gak mau tau! Pokoknya kamu harus ikutin kata mama kali ini. Kamu harus siap-siap. Karena tim MUA udah pada siap ngurusin kamu dan calon mantu mama!"

Bagai disambar petir di siang hari, kurasa ada yang salah pada pendengaranku. MUA? Calon mantu? Oh, apa yang mama bicarakan?

"Kamu gak salah dengar!" Mama berseru. Beliau udah kayak paranormal sakti yang bisa baca pikiran anaknya. "Pesta ulang tahun kali ini, kamu benar-benar harus nikah!" Tegasnya menyadarkanku akan kebenarannya.

"Ma!" Aku membentak. Benar-benar gak habis pikir akan jalan pikiran mama?

"Kamu bentak mama?" Mama sama kesalnya. Kali ini aku melihat mama se-kesal itu padaku. Macam ibu tiri yang sedang menyiksa anaknya.

"Ma, jangan konyol deh! Siapa yang mau nikah? Erina lagi di Paris, Ma." Aku gak mau kalah. Gak mungkin, kan, kalo Erina kembali dan kasih aku kejutan?

Karena penasaran akan kemungkinan itu terjadi, aku bergegas mengambil hp-ku yang tergelatak di kasur. Aku menggulir-gulir jempol tanganku lalu mencoba melihat sosmed Erina dan kepo-in kegiatan dia. Pas sekali! Status Erina lagi live. Dan...nuansa kota yang ada di Paris yang menjadi latar belakangnya.

Erina bukan calon mantu yang mama bicarakan. Lalu siapa?

"Kamu gak usah terus-terusan kepo-in sosmed Erina!" mama merampas hp yang ada di tanganku ketika aku lengah karena memikirkan Erina. "Lupakan Erina!"

"Ma! Mama kan tau, sampe kapan pun, aku mau nikahnya sama Erina! Gak mau sama yang lain! Apalagi dengan orang yang gak aku kenal dan aku cintai. Mama ngerti gak sih? Kalo gitu, Mama aja yang nikah!" Aku yang biasanya irit bicara, kali ini berteriak dan lepas kendali.

BRUK, suara benda terjatuh mengalihkan perdebatanku bersama mama.

"Ma-maaf. Sa-saya gak sengaja." Dengan gugup gadis itu memungut buket bunga yang tadi terjatuh. "S-saya disuruh tante Lily untuk mengantarkan buket bunga ini," terangnya. Ia berdiri di ambang pintu.

"Lo nguping, ya? Benar-benar gak sopan!" Makiku padanya. Kesal.

"Ngga kok, Mas. Beneran deh aku gak nguping. Tadi tante Lily yang nunjukin kalo kamar pengantin ada di sini. Aku cuma mau anterin buket bunga ini," ucapnya membela diri.

"Alasan!" hardikku.

"Beneran, Mas. Suwerr! Gak boong!" tangannya membentuk huruf V.

Seketika mama menjewer kupingku. Wah, benar-benar ibu tiri inimah. "Ma, Ma, apa-apaan sih? Lepas Ma. Sakit..." Aku merengek. Sumpah aku malu!

"Yang sopan kalo ngomong sama calon istri sendiri! Belom apa-apa udah berani main bentak, yang lembut ngomongnya!" Mama makin terus memelintir daun telingaku.

Ini gak sebanding dengan rasa sakit jeweran mama. Sumpah malu banget! Apalagi gadis yang di bilang mama calon istriku itu masih berdiri mematung di tempat melihat langsung bagaimana interaksi ibu dan anak ini. Bahkan, ia menjatuhkan buket bunganya lagi.

"Sini, Sayang. Ke mari, Nak," ajak Mama. Sayang? Beneran, ini sih parah abis! Telingaku memang bermasalah. Tak pernah aku mendengar mama se-perhatian itu pada orang lain selain aku, anaknya.

Gadis itu mendekat karena mama menarik tangannya. Sepertinya aku pernah melihat gadis itu, tapi di mana?

"Nak, dia yang akan menikah denganmu hari ini. Calon mantu mama. Cantik, kan?" tutur mama membuat aku tak bisa berkata-kata.

"A-apa?" sedang gadis itu melongo saat mendengar ucapan mama tanpa penyaringan.

"Pliss..." Mama menangkup telapak tanganku. "Mama mohon, ini demi kebaikanmu," harapnya. "Selama ini mama gak pernah melarang apa yang kamu mau. Tapi untuk kali ini, tolong kabulin permintaan mama. Dan juga papa..."

Aku menatap mama. Tatapan matanya yang sendu seakan penuh harap. Aku menatap gadis itu. Ia menggelengkan kepalanya, tanda untukku agar tidak menerimanya.

Ya, bila dibandingkan dengan Erina, gadis ini biasa saja. Terlihat manis dan imut, memang...tapi dia seperti masih anak kecil yang belum cukup umur. Namun ada sesuatu yang aneh yang berdesir di dalam sini...(dadaku). Lidahku menjadi kelu saat itu. Menerima tidak, menolak pun enggan. Hatiku menggerakkan diriku, seakan bergejolak untuk menerimanya. Dan, apa ini? Hati sialan ini seakan sakit dan tak terima saat gadis kecil itu menggelengkan kepalanya agar aku menolak permintaan mama.

Lagi? Bahkan aku ditolak sebelum pernikahanku terjadi.

***

EPILOG

"Bey, besok siang kita antarkan buket bunga ini sama-sama. Kamu dandan yang cantik ya," ajak tante Lily.

"Kok, sama-sama, Tan?" Aku mengerutkan kening. "Biasanya kan, aku aja. Lagian ngapain juga musti dandan yang cantik cuman nganterin bunga doang?"

"Udah, nurut aja kata tante." tanpa mau menjelaskan, tante Liliy pergi meninggalkanku yang melongo sendirian.

*

"Weizzz, cuakep bener Abang nii," dengan logat negeri jiran aku memuji bang Rio.

"Beneran?" Yang dipuji tersenyum mesem. Sok cakep 😏 Emang cakep sii... 😊

"Huum." Aku mengangguk menanggapinya. "Mau ke mana, Bang?"

"Mau nikahin lo," jawab bang Rio yang kukira ngasal.

"Hah? Apaan sih, Bang. Siapa juga yang mau nikah?" Aku mencebik kesal. "Lagian masih muda kelesss. Aku baru 19 taun! Mauku masih buanyakk!!" Semburku lalu menjulurkan lidah padanya.

"Gue gak pernah ngasal kalo ngomong," tegas bang Rio. Ada titik sendu di dalam matanya sebelum akhirnya ia pergi meninggalkanku yang kebingungan sendirian.

*

"Aku sungguh mencintaimu kamu, Bey..." Mario berdiri di balik pintu kaca toko. Memegang erat gagang besi pintu tersebut seakan ingin meremukkannya.

TBC