"Bu-buat apa penghulu itu ada di sini? Siapa yang mau menikah?" Ada nada bergetar dalam suara Erina. Dia terlihat gugup dan memucat.
"Hon, kamu sadar gak sih dari tadi manggil aku apa?" Aku kesal.
"Hah? Kenapa, Lam?" Sumpah! Erina ngeselin hari ini. Udah kesekian kalinya dia memanggil namaku. Dan, apa ini? Erina kayak orang bego yang tak tau arah.
"Hon, kamu gak lupa, kan?" Aku terus bertanya. "Lihat deh, Hon. Kamu lihat sekeliling kamu. Menurutmu gimana?" Aku bermaksud menanyakan pendapatnya tentang dekorasi pesta hari ini.
"Apanya sih, Lam?" Huft, oke kali ini biarkan Erina memanggilku semaunya dia saja.
"Hon, kamu kenapa sih?"
"Lam, beneran deh bapak itu menuju ke sini sekarang!" Erina panik.
"Lha, ya wajar pasti ke sini dong. Kamu tenang aja, rileks dan jangan gugup, oke?!" Aku menenangkan Erina. Kurasa dia memang sangat gugup akan pernikahan ini. Satu hal, aku belum resmi melamarnya. Apa Erina mengharapkan lamaran yang romantis?
Ah ya, aku harus melakukannya sekarang!
"Lam, aku ke toilet dulu ya." Tepat di saat Pak Penghulu di hadapan kami, Erina malah bergegas pergi ke toilet - seperti menghindar.
Aku bersalaman dengan penghulu yang akan menikahkan kami. Tak lupa papa dan mama juga berhambur untuk mengenalkan diri. Aku memberitahu Pak Penghulu untuk menunggu. Karena aku harus melakukan ritual lamaran terlebih dahulu.
Kalo ada yang nanya bagaimana persiapanku soal dokumen untuk kelengkapan surat-surat menikah, tentu saja aku ahlinya. Tanpa Erina, aku mempersiapkan segalanya karena dia menyerahkan segala halnya padaku. Termasuk izin restu dari orang tuanya yang sudah berpisah dan tinggal di luar negeri.
Bangga? Tentu saja. Dengan mudah aku mendapatkan segalanya. Sepertinya Dewi Fortuna masih memihakku sehingga memuluskan semua jalanku.
Cukup lama Erina pergi ke toilet. Saat ini aku sudah berdiri di atas panggung di mana tempat MC berada. Tanganku berkeringat dingin memegang microphone dengan gugup. Tak lama Erina datang. Wajahnya terlihat bingung. Pikiran bodohku tetap membuatku yakin jika Erina merasa gugup. Walau begitu, dialah Erinaku. Malam ini dia begitu cantik dengan balutan dress yang selama ini diinginkannya jika kami menikah. Apa dia menyadarinya? Mengingat ia tak berkomentar mengenai pakaian yang kami kenakan saat ini.
Ah, biarlah. Lagi-lagi aku berpikir mungkin Erina terlalu gugup sehingga tidak memperhatikannya.
"Mohon perhatiannya!" Suaraku menggema, menghentikan aktivitas orang-orang yang berada di pesta. Termasuk Erina yang seketika menoleh padaku. Aku mengulurkan tanganku dari kejauhan agar Erina mendekat. Tapi, sepertinya Erina enggan mendekat. Aku mengalah hingga akhirnya aku yang menghampirinya.
Erina yang sedang berdiri dan aku langsung berlutut di hadapannya. "Erina Honey-ku. Terima kasih, selama dua tahun ini kamu selalu mengisi hari-hariku. Kamu wanita tercantik yang aku miliki. Kamu keberuntunganku. Kamu adalah segalanya untukku," suaraku tercekat, sumpah aku terharu!
"Honey, kamu tau, betapa kumencintaimu. Sangat! Aku bahkan rela melakukan apapun demi kamu. Demi kebahagianmu. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu," lanjutku. Suasana hening saat ini membuat aku mantap mengatakan, "Will you marry, me?" Menyodorkan sebuah kotak cincin bermatakan berlian pada Erina.
Erina menatap lekat-lekat kotak beludru berwarna merah yang masih berada di tanganku.
"Terima!"
"Terima!"
Suara sorak sorai agar Erina menerima lamaran ini membuatku semangat. Pasalnya keringat dingin menjalar di sekujur tubuhku saat ini.
Erina mengambil kotak cincin berliannya, lalu menutup kotaknya dan menggenggamkan kembali pada tanganku tanpa mengambilnya. Aku kegirangan. Erina menerimaku!
Tunggu! Mana sorak sorai para tamu undangan dan teman-temanku?
Dan...apa ini? Cincinnya masih di tanganku? Erina menutup kotak cincinnya?
"H-Hon...ini..." Aku mendadak bodoh di usiaku sekarang.
"Maaf, Lam." Erina menangkup jemariku
bersamaan memegang kotak cincin itu. "Maafkan aku," menarik tangannya.
Apa ini? Seolah dunia berputar dengan hebatnya. Aku tak bisa mendengar suara Erina dengan jelas.
"Maafkan aku, Lam. Aku tak bisa menerima lamaranmu sekarang." Kali ini Erina menyadarkanku.
Ya, Erina menolak lamaranku? Ah, tidak! Ini bukan sinetron atau drama dalam novel tentang pria keren yang ditinggal kekasihnya, bukan?
"H-hon, kenapa?" aku segera berdiri. Aku menatap Erina yang tingginya hampir setara denganku. "Bukankah selama ini yang kamu mau? Kamu bilang mau menikah denganku tepat di usiaku yang ke-30?" suaraku bergetar.
Aku menggenggam tangan Erina. Lalu menarik jari tangannya. Dengan bergetar aku membuka kotak cincin dan memaksakan diri untuk menyematkan cincin itu pada jari manisnya.
Cincin berlian itu terlempar dan menggelinding entah ke mana ketika Erina dengan kasar menghempaskan telapak tangannya. Aku terpaku. Semua orang yang menyaksikan drama kami pun tak bersuara. Hanya beberapa orang yang terdengar sayup-sayup membicarakan kami.
"Kamu bercanda 'kan, Hon? Bilang kalo ini cuma prank!" Nafasku memburu, dadaku bergemuruh. Aku berharap ini bagian kejutan yang Erina rencanakan.
"Aku gak bercanda, Lam. Aku serius!" tegas Erina. Sorot matanya mengatakan kejujuran.
"Ngga, Hon. Ini gak benar." Aku menggelengkan kepala. Rasanya tak percaya.
"Kamu benar-benar mencintaiku 'kan, Lam? Kamu bilang kamu mau melakukan apapun demi kebahagianku. Jadi sekarang aku mau kamu kabulin permintaanku."
"Ya, tentu aja. Aku pasti kabulin permintaanmu. Apapun! Tapi tolong, sebelum itu, menikahlah denganku hari ini, hm?"
"Aku mau nikah sama kamu. Tapi gak hari ini. Timing-nya gak pas. Kamu tau kan apa impianku?"
"Ya, tentu aja aku tau. Kamu mau jadi model go international, kan? Ayok, aku bantu wujudin impianmu. Aku akan selalu support kamu. Kita bangun sama-sama, impianmu, impianku juga. Impian kita."
"Impian kita?" Erina tertawa sarkasme. "Memangnya apa impianmu dan impian kita?" Tidak, benarkah ini Erina kekasihku?
"Apa? Memangnya apa impianmu?" Erina memekik.
"I-impianku..." Aku tak bisa berkata-kata. Memangnya apa impianku? Menikah dan hidup bahagia bersama Erina? Ya, mungkin itu impianku selama ini.
"Kamu sendiri bingung apa impianmu, bukan?" ucapan Erina terhenti ketika dering ponselnya berbunyi lalu mengangkatnya.
"Ya, oke. Tunggu aku." Erina menutup panggilannya.
Mengapa hatiku sakit ketika dengan cepat Erina menjawab seseorang yang menghubunginya. Sedang tadi, berkali-kali aku meneleponnya, tak ada satupun yang dijawabnya. Bahkan, pesan WA yang aku kirim tidak dibalasnya sama sekali. Bila dipikir-pikir, sering sekali panggilan juga pesan yang diabaikan Erina padaku selama kami pacaran.
"Maaf, Lam. Aku harus pergi. Kamu mendukung karirku 'kan, Lam? Kamu mencintaiku, kan?" Erina memurus telapak tanganku. Aku menatapnya.
"Aku janji, setelah aku sukses, aku akan menikah denganmu. Hanya dua tahun koq, Lam. Kontrakku dengan agensi di Paris berakhir. Kamu bisa nunggu aku kan, Lam?" Erina menatap aku yang hanya menundukkan kepala.
"Lam, jawab? Kamu mau nunggu aku, kan?" Sumpah, lidahku terasa kelu. Aku hanya bisa mengangguk.
"Pergilah kalo kamu gak mau nikah sama anakku!" tiba-tiba mama menghardik.
"Ma..." Aku menatap wajah mama yang terlihat murka. Saat itu ia menghampiri kami yang menjadi pusat perhatian para tamu undangan.
"Maaf, Bu, Den. Bagaimana dengan acara pernikahannya? Soalnya saya sudah ditunggu jam sembilan nanti mau menikahkan calon yang lain juga." Pak Penghulu menginterupsi.
"Gak ada pernikahan! Maafkan kami sudah mengganggu dan menyia-nyiakan waktu Bapak. Bapak bisa pergi sekarang untuk menikahkan pasangan yang benar-benar akan menikah." Kali ini Papa bersuara. Nada suaranya bergetar menahan amarah.
Pak penghulu pamit undur diri. Dibantu Mario, sahabat baikku yang sempat aku lupakan keberadaannya, membantu untuk membubarkan para tamu.
Tak lupa papa merendahkan diri hanya untuk meminta maaf kepada para tamu undangan yang sebagian besar kolega bisnis papa. Sungguh, aku merasa tak enak hati.
Kali ini aku melihat amarah Papa yang memuncak. Selama ini aku yang badung dan gak bisa di kasih tau, papa dan mama hanya biasa aja menanggapiku. Tapi tidak saat ini, aku bisa melihat kekecewaan, rasa malu dan sedih sekaligus dari keduanya.
"Pergi dan jangan pernah ganggu hidup anakku lagi! Selama ini kurang baik apa Aslam padamu?" mama murka, ia menahan gemertak giginya.
"Tante, tolong maafin Erina. Erina janji, Erina akan menikah..."
"Silahkan pergi dan raih cita-citamu itu!" usir mama menahan emosinya.
Erina langsung bergegas pergi ketika mama mengusirnya. Tanpa ada rengekan padaku untuk menahannya pergi. Tanpa menoleh lagi, ia benar-benar tidak peduli padaku. Ia meninggalkanku. Aku berlari mengejar Erina. Sampai di gerbang depan aku menahan Erina untuk masuk ke dalam mobil yang sedang menunggunya. Mobil itu milik Frendian - kepala agensi Erina.
"Hon, tolong jangan tinggalin aku. Oke, kalo kamu mau ke Paris, aku akan ikut nemenin kamu sekarang juga. Tunggu aku siap-siap. Aku akan mengantarmu. Tapi tolong jangan seperti ini, oke?" Aku membujuk dan memohon pada Erina.
"Gak bisa, Lam. Kami gak punya waktu lagi buat nunggu elo. Penerbangan Erina satu jam lagi." Dian, begitu kami memanggilnya. Menyahuti dengan terburu-buru.
Dari dulu aku memang gak suka padanya. sikapnya terlalu possesif terhadap Erina.
"Kalo lo gak mau nunggu, lo bisa pergi duluan. Erina biar nanti gue yang urus,"
"Maaf, Lam. Aku harus pergi." Tanpa mau mendengar lagi, Erina masuk ke dalam mobil.
Dan Dian sialan itu melajukan mobilnya dengan segera.
Aku berlari menuju garasi, hendak mengejar Erina. Menggunakan motor gedeku. Namun mama menahanku, "Kamu mau ke mana, Nak? Udah, gak usah dikejar wanita seperti itu!"
"Lepas, Ma! ini semua gara-gara Mama! Coba aja dulu Mama sama Papa menikahkan kami. Mungkin Erina gak akan pergi ninggalin Aslam!" Hilang kendali aku membentak mama sambil menghempaskan tangannya dengan kasar.
Satu tamparan mendarat di pipi. "Jangan pernah kamu berkata dan bersikap kasar pada mamamu!" Papa murka. Kali ini, papa mendaratkan tangan hangatnya padaku.
Entah setan apa yang merasukiku. Aku benar-benar gelap mata. Tak peduli lagi mama yang menangis dan papa yang sedang murka gara-gara sikapku. Yang jelas aku harus segera mengejar Erina!
Aku menyalakan motorku dan segera mengejar Erina.
"Lam, elo mau ke mana?!" Sayup-sayup terdengar teriakan Mario memanggilku.
Mama yang hampir terjatuh terlihat pada kaca spion motorku. Beruntung papa dan Mario dengan sigap membantu menopang mama. Tapi aku tak peduli.
Dengan kecepatan tinggi aku melajukan moge-ku, berharap dengan begitu bisa cepat-cepat menyusul Erina.
Hatiku terasa sakit. Hancur sudah semua rencana yang sudah aku persiapkan. Cairan hangat ini tak terasa menetes di sudut-sudut mataku. Aku benar-benar hancur dan berharap ini hanya sekedar retak yang masih bisa diperbaiki.
***
EPILOG
Sebuah cincin menggelinding saat aku berjalan menyusuri orang-orang yang sedang berkumpul di dekat area panggung. Tepat di depan kakiku, cincin berkilauan permata berlian itu berhenti. Kuambil cincin itu dengan maksud ingin mengembalikannya kepada pemiliknya.
"I-ini bukan prank, kan, Hon?" Langkahku terhenti dibalik ke-kepo-an yang sedang aku telusuri. Pria itu, si ganteng maksimal sedang memohon pada kekasihnya.
Aku menggenggam erat cincin berlian itu. Rasanya ingin aku remukkan cincinnya. Entah mengapa aku merasa sakit hati ketika pria itu memelas dan membujuk kekasihnya agar mau menikah dengannya. Jika bukan karena ingat cincin ini berlian, aku sudah melemparkannya dengan kekuatan super mengenai nenek sihir bergincu merah itu hingga meledak.
"Bey, kamu ngapain masih di situ?" seseorang memanggilku dan seketika aku menoleh.
"Bang, i-ni..." aku malah memberikan cincin itu pada Bang Iyo. Bang Iyo mengambil cincinnya.
Ah, sayang sekali cincinnya. Seharusnya aku umpetin aja. Lumayan juga kan, kalo dijual? (Yampun, pikiran terkutuk ini!) 🙈
TBC