Chereads / Menikahi Bening / Chapter 5 - A I U E O

Chapter 5 - A I U E O

Dari kejauhan aku melihat mobil yang dikendarai Frendian. Aku membawa moge-ku dengan kecepatan di atas rata-rata. Salip sana sini tanpa aku pedulikan berapa banyak suara klakson akibat kedongkolan mereka padaku. Tujuanku cuma satu : segera menyusul Erina.

Aku menyalip mobil yang Frendian bawa. Tepat di depannya sehingga membuat mobil itu berhenti mendadak. Hanya sejengkalan tangan lagi mobil itu bisa menabrakku. Dan aku tidak peduli jika itu membuat Erina kembali bersamaku. Sungguh pemikiran yang dangkal, bukan? Aku rela mengorbankan nyawaku demi perempuan yang menolak lamaranku.

"Apa-apaan lo, Lam? Lo udah bosan idup?!" Bentak Dian keluar dari mobilnya. Sedang Erina, dia hanya bergeming di dalam mobil.

"Diam lo! Gak usah ikut campur!" tunjukku pada Dian. "Hon, keluar Hon!" Aku memukul-mukul kaca jendela mobil. "Hon, pliss, buka pintunya!" Aku menggedor dengan tidak sabar ketika pintu mobil itu terkunci dari dalam. Kenapa Erina menghindariku?

"Lam, udah. Jangan paksa Erina. Lo kan tau impian Erina selama ini. Seharusnya lo dukung dia." Dian menahanku tapi aku tetap memberontak.

"Gue bilang lo gak usah ikut campur, anj*m!" Aku meninju dan mendorong Dian hingga tersungkur. Saat itu, barulah Erina keluar dari dalam mobil.

Bukannya menenangkanku, Erina malah memarahiku dan menolong Dian. Tatapan Erina benci padaku.

"H-Hon, a-aku gak bermaksud..."

"Cukup, Lam! Udah cukup!" Erina membantu Dian untuk berdiri. "Kumohon, Lam." Erina mengatupkan telapak tangannya, memohon padaku.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak, jangan lakuin ini!" Aku menangkup tangan Erina. "Ayok, kalo kamu mau ke Paris, aku antar kamu sekarang juga. Kita bisa menikah dan tinggal di sana." Aku menarik tangan Erina. Tapi ia bergeming, lalu menarik tangannya. "Kenapa?" Mataku berkaca-kaca. "Kenapa, Hon?"

"Lam, aku bilang tolong tunggu aku. Aku gak bisa bawa kamu ke sana. Ini karir aku. Dan agensi di sana menginginkan model single untuk jadi brand ambassador produk mereka. Mereka mengontrakku selama dua tahun ke depan dengan syarat aku tidak memiliki hubungan apapun, apalagi menikah. Kamu ngerti 'kan, maksud aku?" jelas Erina menggebu-gebu.

"Tapi, apa salahnya dengan menikah? Kita bisa menikah dan menunda memiliki anak kalo memang itu mau kamu. Dan kita bisa merahasiakan hubungan kita." Aku terus menyangkal. Dipikiranku hanya menikah, menikah dan menikahi Erina! Aku mau Erina!

"Gak segampang itu, Lam!" teriak Erina. "Kamu jangan konyol! Gimana kalo aku ketahuan bohong? Mereka bisa memecatku, bahkan aku akan terkena penalty sebelum karirku berkembang!" Erina frustasi. Mungkin ia merasa jengkel akan sikapku yang keras kepala.

"Gapapa, gapapa. Kalo kamu gagal, aku bisa menghidupimu. Tanpa kamu jadi seorang model go internasional pun, kamu bisa terkenal. Apa yang keluargaku miliki, takkan habis hanya karena membiayai semua kebutuhanmu!" Kayak orang tolol aku terus membujuk Erina. Padahal, apa yang aku punya selain mengandalkan harta orang tuaku?

"Kamu konyol!" Erina berbalik dan meninggalkanku.

"Ayo, Yan. Kita bisa terlambat!" ia mengajak Dian untuk pergi.

"Hon. Hon, tolong jangan seperti ini. Plis, jangan tinggalin aku," mohonku. Aku bersimpuh memeluk kaki Erina. Layaknya anak kecil yang tak ingin ditinggal ibunya.

Erina tak peduli. Dia meronta agar aku melepaskannya. "Aku bilang tunggu aku, ya tunggu aku, Lam! Kamu harus bersabar. Kamu cinta aku, kan?" aku mengangguk. "Kalo gitu, tolong kabulin permintaanku."

"Nggak, nggak Hon. Jangan pergi. Yan, tolong Yan, jangan bawa Erina pergi. Maafin gue, Yan." Erina dan Dian masuk ke dalam mobil. Mereka tak peduli dan meninggalkanku sendirian. "HON!! JANGAN TINGGALIN AKU, HON!! ERINA!!"

ARGGHH!! Aku berteriak dengan kencang. Aku meremas rambut kepalaku, lalu berlutut di jalanan beraspal yang sepi. Saat itu, Dewi Fortuna yang selalu aku banggakan tak memihakku. Seperti orang gila aku menangis sejadi-jadinya. Retak di hati tak bisa diperbaiki. Benar-benar hancur...

Di saat aku memanggil Erina dengan namanya, di saat itu pula rongga yang menganga dalam hatiku terasa lega. Tak ada beban di hati ketika melihat Erina pergi meninggalkanku sendiri. Aku marah, kesal dan menangis. Tapi lubang di dalam hati ini seperti sengaja terbuka lebar seolah angin pun berhembus ingin melewatinya. Entah mengapa...

***

Aku melajukan moge-ku dengan kecepatan tinggi menembus jalanan sepi ibu kota. Pikiranku entah ke mana. Erina, hanya Erina yang ada dalam otakku ini. Kebersamaan kami selama dua tahun ini benar-benar membuatku terbiasa akan kehadirannya. Walaupun hubungan kami hanya dilalui dengan kesenangan duniawi sesaat.

Seseorang membunyikan klaksonnya dengan berkali-kali di belakangku. Aku tak peduli. Pendengaranku saat itu seolah tuli dan pandanganku dibutakan oleh nafsu dan cinta yang terkhianati. Aku tak mendengar ataupun melihat keadaan sekitarku kala itu. Hingga ketika suara hantaman, patahan dan bedebum benda yang keras, akhirnya menyadarkanku.

Aku menabrak motor seseorang yang berhenti di hadapanku. Tidak, motor itu tidak berhenti mendadak melainkan sengaja menghalau laju motorku yang hampir saja bertabrakan dengan sebuah mini bus yang hendak melintas di tikungan perempatan jalan. Salahku yang tidak fokus memperhatikan lampu lalu lintas dan sekitar jalan.

Aku terjatuh dan tergelincir tepat ke pinggir jalan setelah aku memalingkan motorku. Motor matic yang aku tabrak tadi dengan kerasnya terhantam mini bus dengan posisi motornya yang tersalip bagian depan mini bus tersebut. Aku tergeletak di jalanan yang dingin. Pandanganku mulai meremang. Yang kulihat saat itu seorang gadis yang sepertinya masih anak SMA, sama-sama tergeletak tak berdaya bersamaku dengan tubuh yang terhimpit motor matic-nya. Cairan berwarna merah mengalir tepat di bagian kepala. Darah itu seakan mengalir ke tempatku. Dalam hati aku ingin berteriak. Namun, semakin lama pandanganku semakin kabur dan menggelap.

Bertahanlah...

Bagai mantra aku terus berucap dalam hati. Untuk apa? Entah mengapa hatiku bergemuruh saat gadis itu tergeletak tak berdaya demi pria tak tahu diuntung sepertiku.

Gadis itu menolongku...

***

Satu minggu kemudian...

Hal pertama yang aku lihat saat sadar pasca kecelakaan itu adalah atap yang putih. Lampunya menyilaukan penglihatanku. Aku mendengar mama memekik bersyukur. Pancaran rasa lega dan lelah menghiasi wajah cantiknya.

Dan di sinilah aku sekarang, di bawah pohon yang cukup rindang, duduk di bangku halaman rumah sakit. Menghirup udara segar yang berhembus menenangkan pikiranku. Ini memang sudah satu minggu berlalu setelah kejadian itu. Aku bahkan tersadar beberapa jam saat dilarikan ke rumah sakit. Lukaku tak seberapa, hanya luka memar dan lecet di beberapa bagian saja. Pun dengan moge-ku yang dalam kondisi baik-baik saja. Mungkin lukanya sama denganku dan itu bisa diperbaiki.

Jika ada yang bertanya bagaimana kondisi gadis itu, aku tak bisa memberikan jawabannya. Karena setelah sadar aku malah menulikan pendengaran serta membisukan diri.

Dokter sudah memperbolehkan aku untuk pulang setelah aku dinyatakan baik-baik saja setelah sadar. Tapi aku tetap bergeming. Rasanya begitu malas pulang ke rumah. Rumah sakit sepertinya lebih nyaman dibandingkan dengan hotel ataupun tempat wisata.

Saat polisi datang bertanya pun, aku hanya diam. Mereka bergiliran datang diakhiri dengan hembusan nafas yang terbuang dengan kasar. Antara sabar dan kesal. Maaf, Pak Polisi! Tapi aku sungguh tak ingin mendengar ataupun berbicara soal apapun. Dalam otakku masih berkutat soal Erina.

Mengapa kamu tega sama aku, Rin?

Rin? Mengapa aku kini lebih mudah memanggil namanya seakan tanpa arti.

"Kalo cowok ganteng, nangis juga tetep aja ganteng," celetuk sesorang menginterupsi kenyamananku. Cepat-cepat aku mengusap air mataku yang sudah menetes di pipi. Sungguh memalukan!

Aku mengalihkan pandanganku pada sumber suara itu. Tepat di sampingku, ia duduk di bangku yang aku tempati dengan santainya. Gadis itu tersenyum padaku. Ia memakai baju pasien yang sama denganku. Kepalanya full terbungkus perban dengan beberapa luka di wajahnya yang terlihat pucat dan sedikit membengkak. Tapi tak membuat keceriaan yang terpancar dari senyum yang ia berikan itu menyurut. Wajahnya berseri di saat kondisinya yang lebih parah dariku.

Lihat saja, kaki dan tangannya bahkan memakai gips yang begitu tebal. Kursi roda ia taruh tepat di samping bangku ini. Kapan ia beranjak untuk duduk di sampingku?

"Aku mendapat tiga puluh jahitan akibat kulit kepala yang sobek. Ya, mungkin sekitar segitu, aku lupa...mungkin juga lebih...jadinya rambutku dipangkas habis...hehe

.." dia yang terkekeh, aku mulai meringis.

"Tulang tanganku patah sehingga harus menjalani operasi pemasangan pen di dalamnya. Untungnya kakiku hanya mendapat pergeseran sendi saja, tidak patah dan gipsnya bisa cepat dilepas. Dan...kursi roda itu cukup membantu. Lumayanlah, ga usah capek buat jalan," seperti bukan pasien, ia terkekeh dan bercerita dengan santainya tanpa kesakitan.

Apa yang ia ucapkan seolah tanpa beban. Aku yang mendengarnya bahkan bergedik ngeri apalagi melihat kondisinya.

"Tapi aku baik-baik aja, kok. Hanya saja ingatanku menghilang karena kepalaku terbentur sangat keras," sendunya masih dengan tersenyum. "Tapi kata dokter, ingatan ini pasti segera kembali," sambungnya seolah menenangkan ucapannya sendiri.

Aku masih terdiam, entah kenapa lidahku terasa kelu. Suara gadis itu terdengar familiar di telingaku. Dan...itu menenangkanku. Seolah ada magnet khusus yang membuatku ingin terbuka padanya. Tapi rasanya aku sulit bicara.

"Gakpapa. Bicaralah kalo Mas udah merasa lebih baik. Mas cukup dengerin aku ngomong aja. Anggap aja aku lagi curhat sama Mas Ganteng. Kebetulan aku baru sadar dua hari yang lalu dan mendapati Mas yang duduk melamun di sini." Seperti bisa mendengar suara hati, gadis itu memaklumiku. Ia bahkan membuatku cukup terkesiap akan ucapan dan tindakannya. Gadis itu merapikan rambutku, menyisir menggunakan jemari tangannya. Sepertinya aku pernah merasakan hal ini.

Sentuhan tangannya begitu menenangkan. Bagai anak kucing yang begitu terhanyut saat seseorang mengelus kepalanya.

"Jadi, Mas cukup mendengarku bicara aja. Jangan kesal kalo aku cewewet yahh." Lagi-lagi ia tersenyum. Senyumannya menular, aku merasa terhibur.

Di sore hari menjelang senja itu, aku menghabiskan waktu dengan mendengarkan celotehannya. Ceritanya beragam dan aku terhanyut ke dalam ceritanya. Ia tertawa, ceria, kadang ada titik sendu dalam matanya. Aku menarik sudut-sudut bibirku saat mendengar ia bicara. Nyaris tak terlihat.

"Gak usah Mas, aku bisa sendiri." Refleks saja aku hampir berdiri hendak membantu mendudukan ia di kursi roda. Dengan susah payah ia duduk.

"Tenang aja, ini kursi roda otomatis." Ia berdemo memperagakan kegunaan kursi roda itu dengan ceria. Bagai anak kecil yang baru diberikan mainan.

"Babay, Mas. Jangan sedih lagi yaa. Makasih udah mau denger curcolanku. Dan aku senang karena di saat aku sadar, aku melihat pemandangan indah di sini, yaitu Mas Ganteng..." Ia melambaikan tangannya dengan tertawa. Anehnya aku membalas lambaian tangannya walau ekspresiku datar. Ia tersenyum senang.

Sampai ia pamit pergi dan jejak bayangannya menghilang, kami tak saling memberitahukan nama. Satu hal yang pasti, ia memberiku dukungan. Menumbuhkan rasa semangat di dalam jiwa.

"A...A...I...I...U...E...O..." Aku berlatih vokal. Seperti anak balita yang baru belajar bicara. Gadis itu memberitahuku. Aku dengan konyolnya mengikuti saran itu.

Lagi, aku tersenyum. Kali ini bahkan aku ingin tertawa. Sejenak aku lupa akan air mata yang selama satu minggu ini mengalir dengan bodohnya. Dan...Mas? Mengapa hatiku membuncah bahagia ketika gadis itu memanggilku dengan panggilan tersebut?

***

EPILOG

Aku melihat pria ganteng maksimal yang tadi pergi menyusul pacarnya melajukan motor dengan tidak fokus. Ia berada di jalur yang salah sehingga awal aku berniat pulang malah jadi mengikutinya. Untungnya jalanan sepi. Aku mengklakson dirinya agar ia tersadar. Tapi rasanya percuma. Mungkin ia sedang kalut. Untungnya motornya kembali di arus yang benar. Namun, di perempatan jalan raya lampu merah menyala. Pria itu masih tetap melajukan motornya.

Sebuah mini bus berkecepatan tinggi karena giliran lampu hijaunya menghantam motorku dengan keras. Tanpa perhitungan aku menghalau jalan pria itu agar tidak tertabrak mini bus. Bahkan aku merelakan diri motornya menabrak motorku dan juga diriku. Apa aku bodoh?

Aku terkapar di jalan dengan tubuh tergencet body motor yang tersalip bumper depan mini bus tersebut. Aku sempat melihat pria itu jatuh tergelincir. Pandanganku gelap. Masih berharap pria itu selamat...

*

Aku tersenyum menggerakkan kursi rodaku menjauh meninggalkan pria itu. Aku tau, di balik wajah datarnya, ia mempunyai senyuman yang indah. Aku melihat telapak tangan kananku yang dengan berani tadi merapikan rambutnya. Aku malu. Namun, hatiku senang. Entah mengapa...

TBC

Ayok tinggalin jejak like, vote dan komen, bila kalian menyukai cerita ini 😊