Kepasrahan yang bisa Zafran lakukan sekarang. Entah kenapa dirinya pernah mengatakan jika ia akan mengajak murid di kelasnya untuk bermain basket saat jam olahraga ini. Yang seharusnya Zafran dapat dengan santai bermain dan menikmati jam olahraga bebas ini, kini malah harus melihat teman ceweknya yang sangat payah memegang bola.
Lihat saja cara Shela yang melambungkan bola ke arah kanan dan kiri, sementara ring basket berada lurus di depannya. Apalagi Kayla yang hanya memeluk bola di tangannya tanpa ada niat untuk memasukinya ke dalam ring.
Zafran mendecak, menggeleng pelan menatap cewek-cewek di sana. Dengan sabar, Zafran menaruh bola basket kesayangannya di bawah kaki, dan berdiri dengan berkacak pinggang.
"Kalau seperti itu, bola itu nggak akan masuk-masuk." ucap Zafran yang sudah mulai kelelahan melihat Shela.
"Bola lo dari tadi melenceng dari kenyataan hidup yang pahit ini."
Mendengar itu, Shela mendecih, menatap Zafran dengan sinis. "Karena itu, tugas Bapak Zafran adalah mengajarkan kita!"
Zafran menghela pasrah, kini beralih pada cewek berkacamata yang sangat hobi memiliki benda-benda dengan gambar cagar alam. Cewek itu hanya memeluk bola basket di tangannya, dengan menatap ring di atas sana.
"Mbak Mimi!" panggil Zafran, "bolanya kenapa dipeluk? takut dimaling?" tanya Zafran tak habis fikir.
Sekarang giliran Kayla yang menatap sinis pada Zafran. Rasanya Zafran seperti serba salah dengan yang namanya 'cewek'.
"Gue nggak tahu mau ngapain!" tajam Kayla pada Zafran.
Zafran langsung tersentak kebelakang, mengelus dadanya dengan sabar. Cowok serba salah itu pun hanya bisa memijit pelipisnya, mendecak dengan keras meratapi nasib dan ujian yang lebih sulit daripada ujian Matematika.
"Kalau gitu, kasih ke yang lain!" geram Zafran tapi masih berusaha sabar.
Kayla mendecih, tak melakukan perintah Zafran. Dari sepuluh bola basket, kenapa harus ia yang memberikan bola basketnya pada yang lain? Kayla tidak mau itu!
Sementara itu, Shela menatap Sarah yang hanya diam sedari tadi tanpa ingin melakukan apa-apa. Shela menarik tangan Sarah yang berada tidak jauh darinya, membuat Sarah kaget karena begitu saja ditarik oleh Shela.
"Sarah juga harus coba!" pinta Shela.
Sarah mengibaskan tangannya, menggeleng dengan cepat. "Nggak usah! saya nggak perlu lakuin itu."
Namun, ucapan Sarah tidak diindahkan oleh Shela. Cewek itu malah semakin menarik Sarah untuk berdiri lurus di depan ring. Membuat Sarah hanya dapat pasrah dengan keadaan.
"Lo contohin dulu!" suruh Shela pada Zafran.
Zafran pura-pura celingak-celinguk melihat sekeliling, lalu menunjuk dirinya sendiri belagak tidak tahu. "Gue? kenapa gue?"
Shela memutar bola matanya malas, "Terus siapa lagi?"
"Cristiano Ronaldo lagi libur hari ini." gurau Zafran. Meskipun begitu, cowok itu tetap melakukan perintah Shela.
Dengan cepat Zafran mengambil bola di kakinya, dan berjalan menuju depan ring, tepat di sebelah Sarah. Zafran berkacak pinggang, menunjuk bola basket di tangan Shela dengan dagu sebagai isyarat menyuruh Shela memberi bola tersebut pada Sarah.
"Kasih sama Mbak Amnesia! biar dia juga coba." suruh Zafran.
Mengikuti apa yang dilakukan Kayla, Shela kini juga malah memeluk bola basket di tangannya dengan erat, menggeleng tidak mau pada Zafran. "Gue cuma mau mainkan bola yang ini. Pakai punya lo aja!"
Zafran mengernyit, menunjuk bola Shela dengan tegas. "Pakai yang itu!"
"Nggak mau! punya lo aja!" tolak Shela.
"Gue juga nggak mau!"
"Lo harus mau!"
"Kalau gitu, lo juga harus mau!" Zafran masih tidak ingin kalah.
"Kalau gue tetap nggak mau?" tantang Shela,
"Kalau gitu, gue juga tetap nggak mau!"
Sarah yang berada di antara Zafran dan Shela merasa pusing karena harus berpindah-pindah menatap Zafran dan Kayla secara bergantian. Merasa resah, Sarah pun membentang tangannya.
"Saya nggak usah coba. Nggak apa, serius." ucap Sarah menengahi.
Zafran menghela berat, dengan ragu Zafran menatap bola di tangannya. Tidak ada yang pernah memegang ataupun memainkan bola basketnya yang satu ini. Meskipun gudang di rumah Zafran sudah penuh dengan bola basket, tapi Zafran hanya menggunakan satu bola kesayangannya. Satu-satunya bola yang sudah kusam. Bola yang sudah melewati insiden sup wortel.
Zafran menggeleng cepat, "Nggak mau! lo tahu sendiri, kalau nggak ada yang boleh menyentuh bola ini selain gue. Undang-undangnya sudah gue tetapkan!"
"Nggak apa! saya juga nggak bisa main. Nggak perlu repot." tolak Sarah lagi.
Shela belagak menatap Sarah dengan sendu, mengelus-elus bahu Sarah dengan lembut. "Iya, Sarah juga nggak ingat kalau ada cowok yang udah janji bakal ngajarin dia main basket."
"Amnesia itu merepotkan ya, Sarah?" tanya Shela usil.
Zafran menelan ludahnya dengan susah payah, benar-benar kehabisan kata-kata. Rasa kasihan bercampur rasa bersalah, kini menyelimuti batin Zafran yang suci.
Akhirnya Zafran pasrah. Dengan helaan yang berat, cowok itu menjulurkan bola basket di tangannya pada Sarah. Menyuruh Sarah untuk memakai bolanya saja.
"Undang-undangnya nggak berlaku buat cewek amnesia." ucap Zafran sendu.
Sarah menggeleng, masih menolak dan tidak enak. "Saya nggak per--"
"Pakai aja!" potong Shela dengan cengiran lebar sembari menaruh bola dari tangan Zafran ke tangan Sarah.
Dengan ragu Sarah menatap Zafran di sampingnya untuk memastikan. Dan sang pemilik bola pun mengangguk lemah membolehkan dengan wajah cemberut.
"Silahkan dicoba, Mbak!" suruh Zafran lesu.
Sarah mengangguk, berdiri lurus di depan ring. Dengan susah payah, Sarah mencoba menggenggam dengan benar bola tersebut. Setiap kali menyentuh bola, ia tiba-tiba saja menjadi gugup.
Bola di tangan Sarah sudah berada di depan dada dengan ancang-ancang yang masih ragu. Dan dalam hitungan detik, Sarah melambungkan bola di tangannya. Semua mata yang ada, menuju ke arah lambungan bola Sarah.
Dan, sayangnya. Bola itu malah melantun di papan ring, membuat Sarah hanya dapat menghela dengan lemah.
Tidak sampai di situ saja, Sarah kembali mengambil bolanya, dan mencoba melambungkan kembali. Percobaan ke dua, bola itu hanya menyentuh bibir ring. Kembali, Sarah merasa kesal sekaligus pasrah.
Tidak ada yang berhasil setiap lambungan yang dilakukan Sarah, sekuat apa cewek itu mencoba, nyatanya bola itu sama sekali tidak bisa berteman dengannya.
Zafran yang menyaksikan sedari tadi, merasa jengah. Dengan sabar Zafran memijit pelipisnya, menghela nafas dengan berat menyaksikan bola yang tak pernah masuk.
"Biar gue tunjukin caranya!" jengah Zafran lalu merebut bola dari tangan Sarah.
Zafran berdiri lurus di depan ring, memegang bola basket seperti seorang profesional.
"Karena gue cowok. Gue hanya perlu menggunakan lengan untuk melambungkan bola." jelas Zafran pada Sarah, "Gue nggak perlu keluarin tenaga, seperti ini--"
Zafran melambungkan bola hanya dengan dorongan tangan kanannya. Dan tanpa ragu ataupun malu, bola itu dengan sempurna masuk ke dalam ring. Sarah yang melihat langsung takjub melihat kemampuan Zafran.
Zafran mengambil, dan kembali membawa bola basket pada Sarah. Memberi kesempatan lagi pada Sarah.
"Supaya lemparan lo bertenaga," jelas Zafran lagi, "Lo mungkin perlu ambil ancang-ancang dengan menekuk lutut."
Zafran menunjuk ring di atas sana, "Dan lempar bolanya dengan cara melompat agar bertenaga. Ingat! gunakan pergelangan tangan, bukan lengan!"
Sarah mengangguk, mengambil bola dari tangan Zafran. Berdiri kembali dengan lurus di depan ring. Seperti yang dijelaskan Zafran, Sarah menekuk lututnya, memegang bola di depan dada. Sarah menatap lama ring di depannya. Akankah kali ini ia berhasil? atau, seumur hidup, dirinya tak akan pernah bisa bersatu dengan yang namanya bola?
Sarah menelan ludahnya, menarik nafas sedalam mungkin, dan menghembusnya dengan kuat. Sesaat, Sarah meluruskan lututnya dan melompat sembari melambung bola dengan pergelangan tangan kanannya. Postur Sarah sudah seperti pemain basket sungguhan.
Bola melantun di papan ring, dan berputar di bibir ring. Dalam beberapa detik, bola itu masuk ke dalam ring. Untuk pertama kalinya dalam ingatan Sarah yang terbatas, cewek itu dapat melihat bola yang berhasil ia masukkan sendiri.
Tanpa sadar, Sarah melompat kegirangan, menutup mulutnya dengan tidak percaya, semua yang menyaksikan Sarah, termasuk Shela ikut bertepuk tangan setelah melihat aksi Sarah yang sudah seperti profesional. Apalagi saat lengan Sarah terlihat panjang saat melempar bola.
Sarah mencari Zafran, untuk mengatakan jika ia sudah berhasil karena ajaran Zafran. Senyum Sarah terhenti ketika melihat Zafran malah terdiam menatap dirinya begitu dalam. Mata cowok itu memerah, membuat Sarah jadi bertanya-tanya.
Di sisi lain, Zafran mengepal kuat tangannya, matanya terasa sangat panas. Kembali, nafasnya terasa sangat menggebu. Sedari tadi, Zafran tidak melihat bola yang berhasil Sarah masukkan ke dalam ring. Melainkan, matanya terus saja menatap Sarah yang melakukan aksi tidak asing.
Zafran seperti melihat seseorang di depannya, meskipun berbeda, tapi rasanya sangat bisa membuatnya mengingatkan pada seseorang.
Zafran memundurkan langkahnya sedikit demi sedikit semakin menjauh, matanya tidak lepas menatap pada Sarah.
"Mu... mustahil!"