"Mu... mustahil!" lirih Zafran.
Bibir Zafran terasa keluh, kehabisan kata-kata. Melihat Sarah jadi mengingatkannya pada seseorang. Pikiran bawah sadar Zafran-lah yang membuatnya seperti itu, padahal sangat jelas jika yang dilakukan Sarah sangat berbeda dengan ciri khas orang yang dikenalnya.
Di sisi lain, Sarah merasa heran melihat Zafran yang terdiam jauh di sana. Dua mata orang itu saling menatap, mencari jawaban masing-masing.
Hanya tanda tanya yang menyelimuti hati Sarah ketika mendapati ekspresi Zafran. Apakah ada yang salah? apakah Sarah membuat salah? apakah cowok itu marah? begitulah kira-kira pikiran Sarah.
"Zafran..." lirih Sarah menyebut nama orang yang ada dalam note perseginya di cermin pagi ini.
"Wah... akhirnya lo bisa, Sar!" ucap Shela tiba-tiba sembari menepuk bahu Sarah.
Sarah tersentak, dan tersenyum pada Shela, "Iya, makasih!"
"Zafran! lo ngapain?" Shela setengah berteriak sembari melambaikan tangan memanggil Zafran.
Kembali pada Zafran, cowok itu ikut tersentak. Ia mengedipkan matanya berkali-kali untuk menyadarkan, dengan cepat menggelengkan kepala dan memukul kepalanya pelan.
Zafran langsung tersenyum, ikut melambaikan tangannya.
"Oh! gue terlalu takjub karena Mbak Amnesia yang alergi dengan bola langsung berhasil," bohong Zafran langsung melangkah menuju Sarah dan Shela.
"Wah... sepertinya kemampuan gue menjadi pelatih juga ada." Zafran memukul dadanya bangga, "Kehebatan gue memang tidak diragukan lagi."
Shela memutar bola matanya malas, sudah bosan dengan Zafran yang selalu menyombongkan diri. Tidak peduli dimana tempat cowok itu menginjakkan kaki, tetap saja ia akan terus membanggakan diri.
Zafran beralih pada Sarah, menatap cewek itu dengan senyum yang sumringah. "Kalau bisa, dicatat cara-cara yang pelatih Zafran ini katakan tadi ya, Mbak! supaya menjadi ilmu yang berguna." goda Zafran usil.
Sarah hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Tatapannya jadi hambar setelah mengingat ekspresi Zafran tadi.
Dan kini, hanya itu yang Sarah pikirkan.
***
Lemari dapur, rak piring, meja makan, laci di kamar Eggy, bahkan lemari celana dalam Eggy sudah diperiksa oleh Zafran. Namun, cowok itu tetap tidak menemukan cemilan kesukaannya.
Tidak henti-hentinya Zafran berdecak dan merutuki Eggy. Biasanya, dimana pun Eggy menyimpan cemilan dari kedelai itu, Zafran pasti bisa menemukannya dengan indra penciumannya yang tajam jika sudah bersangkutan dengan keripik. Namun kali ini, Zafran tidak dapat merasakan keberadaan keripik tersebut.
Zafran menghempaskan tubuhnya dengan letih di kursi meja makan. Menaruh tangannya di pelipis dengan pasrah. Sesaat, mata Zafran mendapati kakaknya tercinta masuk ke dalam rumah sembari membawa sebuah kotak yang isinya tidak diketahui oleh Zafran.
"Itu apa? jantung pasien yang habis dioperasi?" tanya Zafran bercanda. Sesaat, karena kotak itu, Zafran melupakan tujuan awalnya untuk bertanya pada Eggy tentang keripik tempe.
"Bom atom penghancur Hiroshima dan Nagasaki!" jawab Eggy sembari menaruh kotak tersebut di atas meja. Eggy menghembuskan nafasnya letih karena telah membawa kotak yang cukup berat.
Zafran menjauhkan badannya dari kotak di atas meja, "Nggak puas jadi dokter, sekarang lo malah pengen membuat bom?" tanya Zafran menanggapi serius ucapan Eggy.
Eggy menghela berat, membuka kotak di atas meja untuk ditunjukkan pada Zafran.
"Ini susu coklat, Aran!" gemas Eggy.
Zafran mendekat untuk melihat isi kotak tersebut. Dan benar saja, susuk coklat dengan jumlah banyak tersusun rapi di dalamnya.
"Kenapa lo beli banyak? kenapa nggak beli keripik tempe aja? dan dimana lo simpan keripik tempe di rumah?" tanya Zafran berbondong.
Eggy tiba-tiba menaruh satu plastik putih di atas meja yang sudah dijinjingnya sedari tadi. Plastik berisi keripik tempe berbagai rasa.
"Keripik tempe di rumah udah habis. Dan baru gue beli sepulang kerja." jelas Eggy.
Zafran membuka plastik tersebut, mengeluarkan keripik tempe rasa cabai rawit, lalu tersenyum cengir menatap Eggy. Ternyata dia sudah berprasangka buruk pada kakaknya. Habis mau bagaimana lagi? wajah Eggy itu, wajah kriminal.
"Terimakasih Kakak Aran yang paling tampan, mapan dan sopan. Tapi tidak setampan, semapan, dam sesopan Aran." puji Zafran tiba-tiba.
Eggy hanya menggeleng saja, memilih untuk memasukkan semua susu coklat di kotak ke dalam lemari pendingin.
"Kenapa lo beli sebanyak ini?" tanya Zafran merasa pertanyaannya belum dijawab sembari mencomoti keripik idamannya.
"Gue beli dari pedagang di pinggir jalan," jawab Eggy sibuk memasukkan susu coklat dalam lemari pendingin. "Bapaknya nawarin gue terus, yaudah, gue beli aja satu kotak."
Zafran berdecak takjub, "Wah... baiknya Kakak Aran! tapi nggak sebaik Aran."
Tak lama, pintu rumah terbuka. Menampakkan sesosok pria berkacamata berpakaian rapi masuk ke dalam rumah sembari membawa satu kotak di kedua tangannya. Di atas kotak tersebut, ditaruh tas kerja berisi laptop.
Evan! ya, papa Zafran datang dengan membawa kotak yang sedikit lebih besar dari yang dibawa Eggy. Dengan nafas lega, Evan menaruh kotak tersebut di atas meja.
"Ini apa lagi?" tanya Zafran menunjuk kotak di atas meja.
"Senjata nuklir untuk kemiliteran." jawab Evan sembari duduk di kursi.
Sama seperti tadi, Zafran menjauhkan dirinya dari kotak tersebut, "Nggak puas udah kerja kantoran. Sekarang malah pengen jadi Perwira?"
Evan menghela lemah, membuka kotak tersebut, dan menunjukkan isinya pada Zafran.
"Ini susu coklat!" jawab Evan santai.
"SUSU COKLAT?" serentak Zafran dan Eggy dengan kaget. Sementara Evan hanya mengangguk dan menatap heran pada dua putranya.
"Iya. Kenapa? Papa beli karena pedagang pinggir jalan nawarin Papa terus."
"PEDAGANG PINGGIR JALAN?" lagi. Zafran dan Eggy kembali dengan serentak bertanya. Bahkan, susu coklat yang sedang disusun Eggy di lemari pendingin tidak kunjung selesai karena mendengar papanya.
"Iya. Papa kasihan karena bapak itu terlihat kesulitan menjual barang jualannya." jawab Evan masih bingung dengan ekspresi kedua anaknya.
Zafran menggeleng dan berdecak takjub, "Wah... baiknya Papa, Aran! seperti baiknya Kak Eggy. Tapi, nggak jauh lebih baik dari Aran."
Eggy berjalan ke samping papanya dan Zafran sembari membawa kotak sisa susu coklat yang belum sempat dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Eggy menaruh kotak tersebut di samping kotak punya Evan.
"Sepertinya kita terlalu baik ya, Pa!" ucap Eggy, lalu mata Evan membelalak bergantian melihat dua kotak susu di atas meja dan kedua anaknya.
Sementara Zafran sudah menggeleng, dan menghela panjang dengan berat.
"Satu bulan yang akan dipenuhi oleh susu coklat." lirih Zafran. Lalu Zafran teringat sesuatu, dengan cepat, ia meraih satu susu coklat dan menatapnya di tangannya
"Susu coklat?" tanya Zafran sembari tersenyum