Saat di mana Alka sedang tidak sadarkan diri….
Mega keluar dari sebuah portal berwarna putih. Tanpa pikir panjang, Mega segera meletakkan tubuh Alka ke lantai secara pelan-pelan, sebab, ia sudah tak sanggup lagi menggendong Alka lebih jauh.
"Papa! Alva! Tolong!" teriak Mega.
Mendengar hal itu, dua orang laki-laki yang merasa namanya dipanggil pun bergegas menghampiri Mega. Kedua mata laki-laki itu sukses membelalak lebar ketika melihat Mega yang sudah terisak, sementara Alka yang sudah bersimbah darah.
"Ma, ada apa ini? Alka kenapa?" tanya suami Mega yang bernama Caldre.
"Ambulans, Pa!" teriak Mega.
"Alva, cepet telepon ambulans!" suruh Caldre. Mendengar hal itu, Alva pun sontak memutar bola matanya malas.
Alva segera mengeluarkan ponselnya, kemudian tampak menghubungi seseorang. Setelahnya, Alva pun segera mengacungkan jempolnya ke arah Mega, tanda bahwa ia sudah melaksanakan perintah dengan baik.
***
Matahari sudah mulai menampakkan wujudnya. Sinar-sinar sudah mulai berpencar menerangi dunia. Namun, tampaknya, mendung sedang asyik menggeluti wajah Alva. Tak ada cerah di sana, yang ada hanyalah bibir yang mengerucut dengan sorot mata tajam penuh ketidaksukaan.
"Alva, hari ini, jangan kemana-mana dulu ya. Alka harus berada di dekat jiwa murni terus soalnya," perintah Mega. Mendengar hal itu, Alva langsung menghela napasnya berat.
"Gak bisa, Ma. Hari ini, aku ada acara camping bareng teman-teman. Alva gak pengen, Alka menghancurkan kesenangan Alva!" tolak Alva. Mendengar hal itu, Mega seketika mengelus dadanya.
"Menghancurkan gimana, Alva. Camping bisa nanti-nanti kan. Bisa di re-schedule juga. Kalau kamu pergi, kamu bisa membahayakan nyawa Alka nanti," keluh Mega. Dengan cepat, Alva melipat tangannya di depan dada.
"Sejak kapan, Mama berani mengekang hidup Alva? Toh, biasanya, Mama selalu berada di pihak Alva. Kenapa Mama sekarang berubah menjadi pilih kasih?" sentak Alva.
"Alva, dengerin Mama sekali ini saja. Mama juga gak akan mengekang kamu kalau bukan dalam kondisi darurat," cetus Mega.
"Ah, Mama sekarang sudah sama dengan Papa! Mama dan Papa bahkan udah gak sayang lagi sama Alva!" pekik Alva sembari bangkit dari sofa.
"Alva, jangan bersikap kekanakan! Selama ini, Mama udah menuruti semua permintaan kamu. Kamu pengen jiwa murni, Mama bantu kamu buat merebut jiwa murni itu dari Alka. Tahu gak? Mama sudah lelah menghadapi sikap kamu yang egois seperti ini, Alva!" pekik Mega.
"Tuh kan, Mama udah mulai pilih kasih. Sekalian aja, satu dunia pada suka sama Alka, pada membela Alka! Gak ada satu pun orang yang sayang sama Alva! Gak ada!" pekik Alva sembari melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar.
"Alva, gunakan hati nurani kamu sebentar saja untuk Alka. Mama gak bisa, kalau harus kehilangan salah satu dari anak Mama. Mama gak bisa, melihat salah satu anak Mama menderita. Tolong, Alva, jika kamu tidak mau membantu Alka, anggap saja, kamu sedang membantu Mama," mohon Mega.
"Selama ini, Alka udah merebut perhatian dari Papa, aku diam. Sebab, aku merasa masih memiliki perhatian Mama. Namun sekarang, perhatian Mama pun sudah direbut oleh Alka, bahkan Mama rela memohon seperti itu hanya untuk melindungi Alka?" Alva menatap Mega dengan sorot mata tajam.
"Lebih baik, aku gak punya saudara seperti Alka! Memiliki saudara seperti Alka itu seperti sebuah kutukan buatku, membuatku tak pernah bisa hidup bahagia, Ma!" pekik Alva.
BLAMM!
Pintu ditutup dengan sangat keras. Berkali-kali, Mega mengusap dadanya. Rasa-rasanya, hatinya sakit sekali. Anak yang ia besarkan dengan sepenuh hati, penuh dengan perhatian, bahkan tumbuh tanpa memiliki perasaan memanusiakan.
Diam-diam, Mega melirikkan pandangannya ke arah Alka yang tengah terbaring lemah di ranjang. Anak yang tidak ia sukai, bahkan sejak masih bayi berumur kurang dari sehari.
Semua perhatian suaminya, bahkan selalu tertuju kepada Alka, hanya karena anaknya itu memiliki sebuah jiwa murni. Jiwa murni yang sama seperti Mega. Sebagai seorang Ibu, Mega bisa merasakan bagaimana sakitnya perasaan Alva ketika saudaranya memiliki perhatian yang dilebihkan ketimbang dirinya.
Bahkan tanpa Mega sadari, suaminya bersikap seperti itu bukan hanya karena Alka memiliki jiwa murni. Namun, karena memiliki sebuah ikatan, yang sengaja suaminya sembunyikan dari seorang Mega.
Mega diam-diam tertunduk lemas. Ia berada dalam timbangan bimbang. Ia berada di tengah, sementara kanan dan kirinya berisi nama kedua anaknya.
"Arghh, seharusnya hari itu, aku tidak menuruti permintaan Alva untuk memindahkan jiwa murni di tubuh Alka ke tubuhnya! Lihat, Alka jadi menderita karena ulahmu, Mega!" rutuk Mega sembari menjambaki rambutnya.
"Apa aku salah mendidik Alva? Apa dari dulu, aku terlalu memanjakan Alva?" Benak Mega dibuat pusing hanya untuk memikirkan sikap anak kesayangannya itu.
"Alka, maafin, Mama. Mama bukan orangtua yang baik buat anak sebaik kamu," lirih Mega sembari menyentuh salah satu tangan Alka.
Tepat detik itu juga, Mega segera mengusap air matanya yang entah sejak kapan membasahi kedua pipinya. Pandangannya perlahan memusat ke arah dinding, yang semakin lama, semakin terlihat sebuah portal putih melubanginya. Hingga beberapa saat kemudian, muncullah seorang wanita tua dan gadis yang lebih muda darinya.
"Bagaimana dengan keadaan Alka, Mega?" tanya wanita tua dengan kebaya berwarna serba cokelat muda dengan rambut digelung rapi.
"Woaahhh, mau kondangan, Nek?" ceplos Lian yang berada di samping nenek tua itu.
"Ini pakaian di dunia manusia kan? Apa aku salah memakai kostum?" tanya nenek tua itu.
Mega segera berdehem pelan, untuk menghindari kedua wanita itu berisik di ruangan yang seharusnya penuh keheningan. Mega segera menatap wanita tua itu lekat-lekat.
"Dayang Kalbu, aku sangat butuh bantuanmu!" ujar Mega. Mendengar hal itu, wanita tua itu segera memusatkan seluruh perhatiannya kepada Mega.
"Bantuan? Kamu butuh bantuan apa, Mega?" tanya wanita tua itu.
"Jiwa murni Alka tidak bisa berada di dekat Alka. Bagaimana ini?" tanya Mega. Lian segera mengernyitkan dahinya.
"Maksudnya Bu Arda?" tanya Lian bingung.
"Jadi, Alva akan pergi berkemah entah sampai kapan. Aku sudah mencoba untuk mencegahnya, tetapi dia sangat keras kepala. Apa ada cara lain untuk menyelamatkan Alka? Atau ada cara lain, untuk mengambil paksa jiwa murni Alka dari dalam tubuh Alva?" tanya Mega.
Nenek tua itu segera mengambil pose berpikir. Sementara Lian, hanya mengamati pose nenek tua itu, sebab ia tak mengerti harus berpikir seperti apa. Tahu sendiri, pemahaman Lian masih sangat rendah mengenai dunia sihir.
"Ada, tetapi caranya sangat sulit," sahut nenek tua itu.
"Ternyata nenek tua itu bisa jenius juga ya," pikir Lian.
"Caranya apa, Nek?" tanya Lian menyela.
"Sepertinya akan berhasil dengan bantuan kamu, Lian," sahut nenek tua itu.
Detik itu juga, Mega langsung berjalan menghampiri Lian. Kedua tangannya lantas menggenggam erat tangan Lian.
"Lian, saya mohon, bantu saya untuk menyelamatkan nyawa Alka, ya!" pinta Mega dengan tatapan sangat hangat. Melihat hal itu, membuat hati Lian ikut terasa hangat. Seperti sedang mendapatkan kepercayaan dari seorang calon mertua.
"Bantu saya, saya tidak tahu lagi harus meminta bantuan kepada siapa lagi. Alva tampaknya juga sudah tidak peduli dengan keadaannya Alka," imbuh Mega. Detik itu juga, Lian segera menganggukkan kepalanya.
"Apapun akan saya lakukan demi Alka, Bu Arda. Jika bukan karena Alka, mungkin sampai sekarang, saya tidak bisa hidup seperti ini," cetus Lian.
"Saya juga harus membalas kebaikan Alka kepada saya. Jadi, tanpa Bu Arda minta pun, saya pasti bersedia untuk membantu Alka," timpal Lian. Detik itu juga, Mega langsung mengulas senyumnya dan mengusap rambut Lian dengan penuh rasa sayang.