Lian POV:
Kata orang, cinta itu indah. Ah, omong kosong! Ini kisahku. Kisah di mana aku mulai mempelajari soal sihir.
Semua orang melirikku dengan pandangan merendahkan. Bagaimana tidak? Video tentangku yang ditolak oleh laki-laki yang kusukai, menyebar di seluruh sekolah. Ah tidak, sepertinya aku merasa, bahwa videoku sudah ditonton oleh ribuan orang yang ada di seluruh dunia.
Kududukkan diri di bawah pohon beringin tua. Kupejamkan mata, kemudian menangis dengan suara tertahan. Semua orang mulai menjauhiku, mengataiku.
"Ah lihat dia, dia yang nembak Alva kan? Ah gila, gadis payah sepertinya, kenapa bisa-bisanya nekad berbuat seperti itu ke Alva hahahaha!" sindir seorang wanita yang kebetulan duduk tidak jauh dariku.
"Iya, dasar tidak tahu diri!" pekik gadis lainnya.
Aku mengusap air mataku kasar. Dengan geram, aku bangkit dari dudukku dan menatap kedua gadis itu dengan sorot mata tajam.
"Memangnya apa salahnya jika aku menyukai Alva? Aku juga perempuan dan aku punya hak untuk menyukai yang berbeda jenis denganku!" pekikku. Kedua gadis itu tidak tampak takut, tetapi pandangannya, seakan semakin meremehkanku.
"Alva itu keren, pintar, dan idola kami di sekolah! Dia pantas mendapatkan gadis dengan pesona yang lebih, bukan gadis payah sepertimu, hahahaha!" ledek salah satu gadis itu.
"Gadis payah? Aku tidak payah!" belaku. Namun, lagi-lagi, kedua gadis itu menertawaiku.
"Tidak payah bagaimana? Lihat rangkingmu, terendah di angkatan kami. Selain bodoh, kamu juga tidak cantik! Kamu tidak memiliki kelebihan apapun, Lian, hahaha!" pekik gadis itu.
"Iya, apa otakmu terlalu bodoh untuk mencerna itu semua? Kamu serba memiliki kekurangan, sedangkan Alva serba memiliki kelebihan. Kamu dan Alva tidak pantas untuk bersatu!" timpal gadis di sampingnya.
Aku pun sontak mengepalkan tanganku. Seakan tidak terima jika diriku dikatai payah. Kuhirup napas dalam-dalam, bersiap meneriakkan kata-kata kasar kepada mereka.
"Aku tidak payah, asal kalian tahu ya, aku yakin, aku pasti memiliki sebuah kelebihan yang tidak bisa kalian semua miliki!" pekikku dengan suara lantang.
"Cih, percuma ngomong sama orang yang suka halu! Yuk, Fer, kita pergi, kalau di sini terus-terusan yang ada kita bisa ketularan halu lagi hahaha," cibir gadis itu sembari menggandeng tangan gadis lainnya.
Mereka berdua berlalu pergi meninggalkanku. Napasku pun masih naik-turun. Ah astaga, jika ini berlangsung lama-lama, bisa darah tinggi aku dibuatnya!
Tanpa pikir panjang, aku kembali mendudukkan diriku pada kursi panjang yang terbuat dari semen yang sudah mengering. Aku menutup wajahku menggunakan kedua tangan, kemudian kurasakan air mata mulai mengalir membasahi pipi.
"Kenapa? Kenapa aku tidak punya kelebihan? Kenapa aku terlahir dengan begitu buruk?" keluhku.
Jika di adegan film atau novel, mungkin besar kemungkinannya untuk hujan deras sebagai pertanda suasana sedih. Namun nyatanya, seperti tidak ada yang ikut merasakan kesedihanku. Bahkan langit, terlihat sangat cerah, seperti tak merasakan gejolak yang sedang kurasakan.
"Kata siapa kamu gak ada kelebihan, kamu ada kelebihan. Mungkin, kelebihanmu adalah hal yang tidak pernah kamu pikirkan sebelumnya." Tiba-tiba saja, suara misterius membalas keluhanku tadi.
"Kata siapa? Memangnya apa kelebihanku?" tanyaku bingung.
"Kataku. Sepertinya, kamu memiliki sebuah kelebihan yang sangat spesial," ucap suara misterius itu.
"Hah? Apa katamu? Apa itu benar?" tanyaku kemudian.
"Benar. Kalau kamu tidak percaya, tanyakanlah pada seseorang yang mengantarmu ke sekolah tadi pagi. Dia pasti tahu apa kelebihanmu," ucap suara misterius itu.
"Hah? Maksudmu Oma?" tanyaku.
"Ya mana kutahu! Yang jelas, tanyakanlah padanya. Dia bukan orang biasa!" seru suara misterius dengan nada sedikit kesal.
"Ah iya, iya, oke. Emm, apa aku boleh tahu siapa namamu?" tanyaku.
"Namaku adalah Al … adoww adoww sakit, Buk, aaaa—"
Secara tiba-tiba, suara misterius itu lenyap. Aku kembali menghela napas. Kini, aku pun mulai berpikir. Apa benar aku mempunyai kelebihan spesial? Apa sebenarnya, Oma benar-benar tahu apa kelebihanku? Seketika itu juga, senyumku mengembang.
"Yeeeee! Sudah kubilang, aku tuh yakin kalau aku bukan orang yang payah!" seruku girang.
***
Lima tahun kemudian.…
Kulangkahkan kaki menyusuri lantai universitas baruku. Masuk menjadi mahasiswa baru, membuatku lebih percaya diri. Ah setidaknya penampilanku menjadi lebih baik, ketimbang lima tahun lalu.
Kukibaskan rambutku dengan penuh percaya diri. Berusaha membuat pandangan para pria itu tertarik ke arahku. Rasanya sungguh senang.
"Lian?"
Hingga rasa senangku, luntur dalam waktu sekejap setelah mendengar suara itu. Langsung saja kuhentikan langkahku ketika seorang pria mulai menghadangku. Ah kurasa, pupil mataku melebar sekarang.
"Alva?!" pekikku kaget. Bagaimana tidak? Aku sedikit lega saat tidak bertemu di SMA yang sama, tetapi kali ini, aku malah kembali bertemu di kampus yang sama!
"Ah senang ya bisa bertemu dengan lo lagi. Lo tambah cantik sekarang," ucap Alva. Buru-buru, kubuang pandanganku ke sembarang arah.
"Lo di sini juga ya, Al. Gue kira, lo bakal ambil ke luar negeri, soalnya gue pernah denger kalau lo dapat beasiswa ke luar negeri," cibirku. Kudengar, Alva malah terkekeh pelan menanggapi cibiranku tadi.
"Hahaha, gue tolak. Gue lebih suka kuliah di sini soalnya, yang masih satu kota. Justru gue bingung, kenapa lo bisa ada di sini?" tanya Alva. Mendengar hal itu, aku langsung menghela napas.
"Kenapa? Lo masih mandang gue sebagai gadis yang payah ya?" tanyaku menyindirnya.
"Eh mana mungkin! Lo gak payah kok, Lian!" bantah Alva. Mendengar hal itu, aku pun langsung terkekeh pelan.
"Kalau gak payah, kenapa waktu itu lo tolak gue?" tandasku. Seketika, kulihat Alva mulai gelagapan dalam menjawab pertanyaanku.
"Soal itu, maaf," cetus Alva.
"Gue nolak lo karena waktu itu, gue rasa, gue masih terlalu kecil. Gue masih pengen fokus belajar, Lian. Bukan karena lo payah atau lo gak cantik, rumor itu gak bener kok, Lian," ucap Alva menjelaskan.
"Oh, jadi karena itu ya?" Lian tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi, maksud lo, lo gak pernah memandang gue sebagai gadis yang payah?" Aku menaikkan sebelah alisku. Kini, tampaklah Alva yang tengah menganggukkan kepalanya.
"Iya, bener. Kata siapa lo payah, kalau lo payah, lo gak bakalan bisa masuk ke kampus ini kan?" Alva menaik-turunkan kedua alisnya.
"Iya. But, sorry ya, Al. Waktu gue terbatas. Niat gua ke kampus buat belajar, bukan buat ngobrol sama lo," cetusku sembari memeluk buku tebal dan membenarkan letak tote bag yang melilit di pundakku.
"Sama seperti elo dulu, gue juga pengen belajar yang bener, biar bisa menjadi orang yang gak dipandang sebelah mata," ucapku lantas bergegas meninggalkan Alva yang kini memaku di tempatnya.
Aku menghela napas kasar. Kutapaki lantai koridor dengan penuh jejak rasa kesal.
"Cih, belajar apanya. Jelas-jelas waktu itu kulihat dengan jelas, bahwa ia diam-diam berkencan dengan gadis cantik di kelas sebelah di perpustakaan. Aku juga gak sengaja lihat dia berciuman dengan gadis itu, ah dasar buaya tukang tipu!" racauku di sepanjang koridor.