Rinai memasuki kamarnya dengan alis bertaut kala melihat buket bunga Anyelir diatas meja belajarnya. Lantas ia mendekat melihat note yang tertempel disana.
Aku disini, tetap disini. Menjagamu, meski dari jauh.
*Bintang pelindungmu
"Kamu tau, itu dari siapa?" Rendra mendekat kearah Rinai, dengan tangan yang terlipat didepan dadanya.
Rinai menggeleng. "nggak Ayah, aku nggak tau."
"Tadi, Ayah lihat ada laki-laki yang berani naik kedinding tinggi yang ada disamping rumah kita, bahkan dia juga berani manjat kepohon disamping kamar kamu buat masuk kesini, naruh bunga itu." Rendra duduk di kasur Rinai.
"Entah kenapa, tapi Ayah yakin dia nggak berniat jahat. Meski caranya salah." Rinai menatap Rendra yang juga menatapnya balik.
Seulas senyum Rendra layangkan kearah anak semata wayangnya itu. "kamu sudah besar, Ayah tau kalau kamu ditemani oleh orang-orang yang benar-benar tulus untukmu, meski Ayah belum tau sosok mana dari salah satu itu." Rendra berdiri dari duduknya dan mengacak pelan rambut Rinai. Sedangkan gadis itu tak mengerti sama sekali ucapan sang Ayah.
"Selamat malam, putri Ayah." Rendra mengecup puncak kepala Rinai dan berlalu keluar dari kamar anaknya.
"Apa maksud Ayah, dan siapa dia?" Rinai menatap kearah luar jendela yang terbuka, angin malam berhembus membuat gorden kamarnya bergerak kesana-kemari. Memang ia sengaja tak menutup jendela itu saat pergi ke apartemen Aldo.
***
Matahari menyingsing, melewati sela tiap sela gorden yang tertutup. Gadis yang masih asik bergelung dibalik selimut tebal, membuka matanya kala wajahnya diterpa oleh sinar matahari yang masuk.
Rinai menaut-nautkan dirinya didepan cermin, ia tersenyum dan menyemangati dirinya sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja. tinggal beberapa bulan lagi dan mungkin perasaannya untuk Langit juga akan berhenti.
Gadis itu keluar dari kamar dengan tas Navy yang ia kesampirkan. Menuruni tangga dan berjalan menuju meja makan, dimana laki-laki dengan jas formal berada.
"Selamat pagi, Ayah." Rinai memeluk sang Ayah. Rendra tersenyum dan mencium pipi sang putri.
Rinai kembali berlalu menuju dapur, membantu Bi Sumi.
"Bi, udah selesai?" Rinai menatap dua porsi nasi goreng yang sudah ditata beberapa toping diatasnya.
"Iya, Non. Udah laper ya?" Rinai menggeleng.
"Bukan Bi, padahal Rinai mau bantu loh." Rinai tertawa pelan.
"Non ini. Sudah, Mari makan." Bi Sumi membawa dua porsi nasi goreng dikedua tangannya. Rinai mengambil alih dan membantu Bi Sumi, beliau berganti membawa nampan berisi kopi, susu juga dua gelas air putih.
"Ayah, ini murni dari tangan Bi Sumi. Nggak ada campur tangan Rinai kok." Rinai menaruh nasi goreng itu dihadapan Rendra juga dirinya.
Rendra tertawa pelan dan mengelus puncak kepala sang putri. "kamu atau bukan, makanan ini tetap enak kok. Kalau bukan Bi Sumi yang buat ya berarti kamu." Rinai tersenyum. Mereka kembali hening, fokus dengan makanan masing-masing.
"Pagi.." suara berat dengan seragam khas seorang pilot masuk kedalam ruang makan, senyum menawan selalu tersemat disana. Hanya untuk Rinai, tentu saja.
"Kak Aldo, sini kak." Rinai menepuk bangku kursi disebelahnya. Aldo tersenyum dan berjalan menuju Rinai untuk bisa duduk disamping gadis itu.
"Kakak mau juga gak? Ini buatan Bi Sumi loh. Enak banget." Aldo menggeleng.
"Kakak udah sarapan, kamu aja yang makan." Rinai mengangguk dan kembali memakan sarapannya. Lagi-lagi Rendra tersenyum memperhatikan interaksi keduanya.
***
Mobil Astom Martin DB 11 berhenti dipekarangan SMA Alam Nusantara. Banyak pasang mata yang menatap mobil sport dengan harga fantastis itu dengan decak kagum.
Aldo turun dari mobilnya dan memutar untuk membukakan pintu Rinai. Meski gadis itu menolak, Aldo tetap memaksa. Sungguh baik sekali Aldo.
Rinai turun dan berterima kasih kepada Aldo, laki-laki itu mengacak-acak pelan rambut Rinai dan memeluk gadis itu. Setelah itu memberikan paper bag dari dalam mobilnya.
"Ini ada siomay sama roti bakar kesukaan kamu dan belinya ditempat favorit kamu. Jangan lupa dimakan ya." Aldo tersenyum dan kembali mengacak-acak rambut Rinai.
"Makasih kak, aku selalu ngerepotin kakak." Rinai menatap Aldo tak enak.
"Its okay, tadi kakak cuman kebetulan lewat kok." dusta Aldo.
"Tetep aja jadi ngerepotin. Bandara sama apartemen kakak lebih deket padahal, kakak malah repot-repot kerumah Rinai cuman buat nganterin." Aldo tersenyum dan memeluk Rinai.
"Udah jangan mikir gitu, kamu kesayangan kakak. Semua bakal kakak lakukan buat kamu." Aldo kembali bersuara saat keduanya sudah melepaskan pelukan.
"Mari bertemu, next month Rinai." sekali lagi, laki-laki itu menatap Rinai sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dan berlalu meninggalkan pekarangan, bergabung dengan pengendara lain.
Banyak pasang mata yang menatap Rinai penuh tanya, siapa gerangan laki-laki itu. Seorang pilot tampan.
Dan tentu saja ada sepasang mata yang terus menatap interaksi mereka, dengan amarah yang terus bergemuruh didalam dada. Rinai adalah miliknya. Tapi, ia juga merasa jika Rinai hanya akan terluka didekatnya. Biarkan semesta memainkan perannya.
***
"Gila nggak sih, lo tuh jadi topik hangatnya anak-anak Alnus." Yuira menatap Rinai tidak percaya.
"Kamu juga tau, siapa kak Aldo dan kenapa bisa kita ketemu juga hubungan apa yang kita punya." Rinai kembali memakan siomay didepannya dengan lahap, setelah mengatakan jawabannya.
"Lo emang hebat, bisa deket sama cowo-cowo keren." Yuira menggeleng-ggelengkan kepalanya.
"Semesta selalu punya cara, Ra." Yuira mengganguk setuju.
Dilain tempat, tepatnya hanya pemisah antara koridor. Tiga laki-laki duduk didalam kelas dengan fikiran masing-masing.
Regan yang pura-pura fokus dengan game online yang ia mainkan. Tritan pura-pura membuka handphone padahal tidak ada notifikasi sama sekali, karena semua perempuan yang dia dekati sedang marah. Dan terakhir, Langit. Laki-laki itu pura-pura membaca buku tebal didepannya. Padahal, fokusnya adalah mengingat kejadian yang sudah berlalu beberapa jam yang lalu.
"Ekhm! Kok jadi hening gini sih. Bukan kita banget." Tritan menirukan gaya bahasa anak-anak alay.
"Anjir, gue didiemin." laki-laki itu mendengus sebal, karena teman-temannya terus saja berpura-pura sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal, dia tau. Kalau keduanya sedang memikirkan sesuatu.
"Gue mau makan baksonya, Mbak Siti aja deh." Tritan, pemilik rambut acak-acakan itu melengar keluar kelas, menuju kantin.
***
Langit memasuki mension didepannya dengan wajah kusut, mata yang tambah sipit. Setelah mengantarkan gadis manja menurut Langit, siapa lagi kalau bukan Derai. Ia memilih pulang, dibanding main bersama teman-temannya.
"Langit.." laki-laki itu menatap Papanya yang berdiri disampingnya dengan pakaian santai.
"Iya, Pa?" Langit mendekati Brata dan menyalimi tangan laki-laki itu.
"Ikut Papa sebentar." Brata berjalan terlebih dahulu, menuju ayunan dekat kolam dibelakang rumah.
Laki-laki itu duduk di ayunan itu disusul Langit yang juga duduk disamping Brata. Langit menghela nafas dan memejamkan matanya, sekedar mencari ketenangan.
"Bagaimana sekolah kamu?"
"Semua baik, Pa." Langit tetap memejamkan matanya. Brata tersenyum, anaknya ini selalu menutupi semua jika tidak dipancing terlebih dahulu.
"Mamamu pernah bilang sama Papa, kalau kamu awal masuk kekantor, semua kamu terima dengan porsimu sendiri. Mama juga pernah bilang kalau setelah setengah tahun berikutnya kamu semakin semangat. Tapi, Mamamu nggak tau siapa yang bikin anak Papa sehebat ini." Brata menjeda perkataannya sebentar.
"Rinai Hujan adalah sumber semangat kamu, kamu bisa melalui semua, kamu lebih bisa menerima Papa dan Mama. Sayangnya Mamamu nggak faham itu, dan malah ambil kebahagiaan kamu." Langit membuka matanya, karena Brata menyebut nama Rinai disana.
"Semua bukan karena Mama kok, Pa." Langit menghela nafas.
"Berhenti jadi pengecut Langit, tetap kejar apa yang menjadi tujuan kamu." Brata menepuk bahu Langit dan berlalu meninggalkan Langit yang hanya bisa menghela nafas dan kembali memejamkan mata.
••••