Siapapun yang berani ngehalangin gue, akan gue bikin. Hidup nya gak tenang.
~ Derai Anantha
.
.
.
.
.
Lagu milik Ronan Keating berjudul If Tomorrow never comes. Bergema didalam mobil milik Aldo.
Sesekali Aldo ikut bernyanyi menyandungkan lagu itu. Gadis disampingnya masih asik berdiam dengan netra yang terus menatap kaca mobil disampingnya.
"Kamu nggak lagi ada masalah kan?" Aldo membagi pandangan dari jalanan didepannya dengan gadis disampingnya.
"Rinai bingung sama perasaan sendiri, kak." Rinai menghela nafasnya.
"Kenapa? Kamu suka sama siapa?" Aldo melemparkan pertanyaan bertubi-tubi.
"Namanya Langit Aldebaran. Adik kelas Rinai, entah kenapa, baru satu bulan ini Rinai suka sama dia." Aldo tersenyum simpul, ia meminggirkan mobilnya ditepi jalan.
"Loh, kak kok kita berhenti?" Rinai menatap Aldo yang juga menatapnya.
"Perasaan bukan hal yang harus disalahkan Rinai. Kamu dan Langit adalah kemungkinan yang semesta sudah rencanakan sebelum nya."
"Kamu bisa sampai disini, karena kamu nggak pernah nuntut untuk Langit mengerti kamu dan kakak yakin kenapa Langit masih setia disini karena dia nyaman sama kamu." Rinai menatap jalanan didepannya.
"Apa yang kakak bilang bener? Buktinya dia udah tunangan." Aldo menarik sebelah alisnya bingung.
"Masih kelas dua udah tunangan? Kamu aja yang kelas tiga masih jomblo." Aldo tertawa pelan.
"Ish, kak. Aku serius tau." Rinai memanyunkan bibirnya.
"Oke-okee back to topik. Jadi gini, kamu yakin dia beneran suka sama Derai? Kamu yakin dia dengan senang hati menerima perjodohan itu? Langit bilang apa memang pas kamu tau dia dijodohkan." Aldo mengelus puncak kepala Rinai.
"Aku nggak tau kak. Langit cuman bilang kalau Rinai jangan sampai percaya sama apapun yang diomongin Derai." Aldo tersenyum.
"Nah itu, berarti dia nggak mau kamu salah faham. Berarti dia juga punya perasaan buat kamu. Karena kakak juga laki-laki kakak bisa lihat dari sudut pandang kakak." Rinai kembali menghela nafas.
"Jalanin aja dulu, mengalir. Nggak perlu kamu buat Langit mengerti perasaan kamu dan kamu juga nggak perlu mikirin hal yang nggak terlalu harus kamu pikirin untuk sekarang." Aldo memeluk Rinai.
'Kalau Langit beneran suka kamu, dia akan terus mengejar kamu dan kamu harus tetap fokus sama cita-cita kamu. Jodoh nggak akan kemana." Aldo mencubit hidung Rinai, gadis itu tertawa dalam dekapan Aldo.
Mencintai sendirian ternyata memang sesakit itu. Melihat Rinai bahagia sudah cukup untuk Aldo, dan dia tidak akan tinggal diam jika ada yang berani menyakiti Rinai nya.
***
"Boneka cantikkk asekk dari India ohoy, boleh dipinjam nggak boleh dipegang..." Tritan mengalih fungsikan sapu ditangannya sebagai mic dadakan. Mereka yang melewati halaman sekolah sesekali tertawa melihat kelakuan absurd laki-laki pemilik rambut acak-acakan itu.
"Diem bangke, kuping gue mau copot denger lo nyanyi. Mana diubah-ubah lagi." Regan melempar dedaunan yang sudah ia punguti.
"Salah siapa? Kalau nggak karena kalian berdua yang telat bangun, gue nggak akan disini. Hayati lelah abangg..." Tritan melempar sapu ditangannya dan berjalan meninggalkan Regan dan Langit yang menatapnya horor.
'Pindah gender kali." Regan mengedikan bahu dan kembali memunguti dedaunan.
Beberapa pasang mata menatap mereka dengan tatapan memuja, bagaimana tidak? Jajaran dari kalangan anak berada juga laki-laki tampan, berdiri dihalaman dengan keringat yang bercucuran akibat terlambat. Sungguh nikmat Tuhan yang sayang jika disia-siakan.
Dari arah lain, Rinai menatap Regan juga Langit yang masih asik dengan pekerjaan masing-masing dan tak lama kemudian Tritan kembali membawa beberapa makanan dan minuman yang membuat Regan dan Langit senang. Mereka makan dengan sesekali tertawa atau tak jarang melemparkan kata-kata kasar satu sama lain. Rinai tersenyum simpul.
Sahabat memang unik, sahabat memang susah dicari. Didunia ini jika ada yang tulus saja sudah bersyukur, apalagi ditambah bonus seorang sahabat. Rinai yakin, dunia ini tidak akan sesulit itu untuk dilalui.
"Hayo, ngelamunin apa sih." Yuira memegang bahu Rinai. Gadis itu memberikan siomay dan es teh tawar kearah Rinai.
"Thanks, Yuira." Yuira mengangguk dan melihat kebawah.
"Pantesan, ada doi toh."
"Apa sih Yuira, aku cuman suka lihat aktifitas banyak orang kok." Yuira memutar bola matanya.
"Alasan yang bagus." Yuira tertawa, ia menarik pelan lengan Rinai untuk duduk disebelahnya.
"Gue beruntung bisa ketemu lo deh." Yuira mulai mengunyah makanannya setelah berbicara.
"Aku juga. Dari masa putih biru sampai dititik ini, kita barengan terus." Rinai tersenyum dan kembali memakan siomay nya.
"Thanks udah mau jadi sahabat gue."
"Terima kasih kembali, Yuira." mereka berdua tersenyum bersamaan.
Sungguh indah bukan sebuah ikatan persahabatan? Semoga selalu seperti itu, tidak ada dinding penghancur yang akan memisahkan keduanya. Karena tanpa sahabat dunia ini akan sesulit itu untuk dilalui.
***
Rinai berlari menyusuri koridor dengan nafas yang mulai tak teratur. Setelah mendapatkan pesan dari Derai, ia langsung menemui gadis itu meski Yuira belum Rinai beritahu kehadirannya.
Banyak siswa dan siswi yang mulai keluar dari kelas masing-masing dengan tatapan aneh. Menatap gadis pemilik rambut hitam panjang dan bandana yang terhias dirambutnya berlari dikoridor dengan nafas yang mulai terengah.
Manusia memang begitu bukan? Harus saling tolong menolong. Meski dunia dan isinya kejam, tapi masih tersisa segelintir orang yang siap terluka demi orang lain, yang siap membantu dan menopang meski dirinya juga perlu sandaran. Dan salah satu dari banyaknya orang itu adalah Rinai Hujan.
"Derai... buka, kamu nggak papa?" Rinai mengetuk pintu gudang dengan irama cepat.
"Kak Rinai, gue takut." nada suara Derai begitu takut. Tapi, siapa sangka jika gadis pemilik rambut pirang itu tersenyum sinis.
"Aku masuk ya."
"Nggak bisa kak, kekunci."
Rinai membuka jendela dan jendela itu berhasil dibuka dengan mudahnya. Rinai sama sekali tidak menyadari, jika itu adalah bagian dari rencana Derai.
Saat Rinai masuk. Derai tersenyum, senyum manis yang mematikan.
"Maaf kak, gue harus lakuin ini."
Derai menarik tangan Rinai, mengikatnya dengan cepat. Menutup mulut gadis itu saat ia ingin berteriak. Posisi Rinai saat ini sudah duduk diatas kursi kosong. Dan kaki yang mulai diikat.
"Gue suka Langit, gue cinta dia. Apa lo nggak ngerti? Orangtua kita udah memulai pertunangan meski belum resmi. Apa Lo gak ngerti, kalau itu tandanya Langit udah milik gue bahkan sebelum kita lahir, gue udah ditakdirin sama dia!" Derai menjambak rambut Rinai, gadis itu hanya bisa terisak.
"Siapapun yang berani ngehalangin gue, akan gue bikin. Hidup nya gak tenang." Derai tertawa.
"Bye kak. Selamat bermalam didalam gudang sekolah, atau bahkan selamanya." Rinai menatap punggung Derai yang berjalan menuju pintu, Rinai menggeleng memohon dalam hatinya supaya Derai berbaik hati melepaskannya, atau setidaknya tidak meninggalkannya dalam ruangan yang gelap. Namun, semua itu hanya bisa tercekat dalam tenggorokan. Menguap dalam udara bersama isak tangis yang terus membumbung diudara.
••••