Derai menatap pantulan dirinya dicermin. Ia tersenyum miring menatap dirinya yang seperti tak terurus, mata sembab dan rambut yang sedikit acak-acakan. Gadis itu menghela nafas, lalu menatap dirinya. Membenarkan rambut pirangnya dan memoles bibirnya dengan lipblam juga memakai kacamata untuk menutupi mata sembabnya.
Derai Anantha, harus terlihat cantik didepan siapapun. Tidak boleh sampai ada kekurangan sedikitpun dihadapannya. Derai tertawa renyah, dirinya bahkan sudah sangat sempurna, tapi mengapa? Langit malah memilih Rinai sebagai pelabuhannya.
Gadis itu keluar dari kamar mandi, menatap tajam beberapa orang yang menatapnya balik dengan tatapan menyedihkan. Dia bukan gadis biasa, dia akan menghalalkan cara apapun untuk bisa mendapatkan apa yang dia mau, termasuk Langit.
Dua keluarga tertawa didalam cafe yang khusus mereka sewa. Siapa yang tak kenal mereka? Keluarga yang masuk jajaran orang terkaya. Anantha dan Aldebaran. Jika keduanya disatukan, bisa-bisa harta dua keluarga itu tidak akan habis 1000 keturunan. Meski disana hanya ada Liliana tidak ada Brata maupun Langit, mereka tetap menikmati pembicaraan dari bisnis hingga hal sederhana.
"Sini sayang." Angel tersenyum dan menyuruh sang anak untuk duduk disampingnya.
"Maafin Langit ya Derai." Liliana tersenyum kearah Derai.
"Nggak papa Tante." Derai tersenyum begitu manis, menyembunyikan perasaan yang sangat membuatnya tertekan.
"Tante yakin, suatu saat nanti. Langit akan sadar kalau kamu lebih baik daripada gadis itu." Liliana tersenyum dan memegang tangan gadis didepannya itu.
"Jangan pernah menyerah." imbuh Liliana.
Derai tersenyum. Bukan. Bukan tersenyum bahwa ucapan Liliana adalah semangat untuk terus membuat Langit menyukai gadis itu. Tapi, tersenyum karena dia bisa menang mendapatkan hati Liliana.
Obsesi? Mungkin memang itu yang harus disematkan untuk Derai. Gadis dengan gaya anggun dan selalu tampil sempurna didepan banyak orang. Namun, memiliki banyak hal yang ia sembunyikan. Senyum manis dan penampilan adalah kedok belaka, bahwa ia baik-baik saja.
Jika ada seseorang yang bisa melihat dibalik mata hitam gadis itu, tersirat kepedihan yang mendalam. Tentang bagaimana masa lalu yang terus saja menggerogotinya hingga tak tersisa, membuat kepribadian baru dalam diri Derai. Dan berkata, bahwa ia bisa melalui semua.
***
Awan hitam bergerak bersamaan, membuat setengah dari awan yang tenang berubah menjadi pekat. Dalam hitungan menit lingkup kota Jakarta kembali memancarkan kepedihannya. Detik berikutnya hujan deras mengguyur tanpa ampun, menumpahkan keluh kesannya. Membuat bumi yang merindu yakin, bahwa ia tak sendirian, manusia memang kejam namun alam masih harus mengayomi bukan?
Rinai menatap hujan dibalik jendela, bulir demi bulir air mengetuk jendela menyapa gadis itu dengan udara dingin yang hampir menembus ruangan, embun membingkai disana, membuat jarak pandang sedikit tertutup. Tapi, ia masih bisa melihat beberapa orang yang berlari mencari tempat berteduh, beberapa pedagang yang buru-buru menutupi dagangannya. Juga beberapa kendaraan bermotor yang lebih memilih melanjutkan perjalanannya. Mobil terus melaju melewati tiap orang yang berdiri dibawah atap kokoh atau sekedar memanfaatkan pohon.
Mereka yang bahkan baru mengenal sesekali bercengkrama, bertanya dengan topik sederhana. Angin berhembus dengan hebatnya, membawa daun tiap daun jauh dari tempat sementara.
Rinai membagi pandangannya dengan jalanan didepannya juga figura foto yang berdiri diatas meja. Ia tersenyum simpul, sudah hampir saatnya Aldo kembali dari tugasnya menjelajahi awan diatas sana. Berteman dengan cuaca yang kadang tak semudah membalikan telapak tangan. Gadis itu sekarang ada diapartemen Aldo, merindukan laki-laki itu, tentu saja.
Ia melangkahkan kakinya menuju ruang makan yang langsung terhubung dengan dapur juga bar. Mencoba berkreasi dari bahan-bahan yang tadi ia beli diswalayan. Setelah mengetahui bahwa beberapa stok makanan milik Aldo sudah habis.
"Udah jam enam sore, enaknya masak apa ya." Rinai bergumam dengan telunjuk sebagai tumpuan dagunya.
Sebuah ide muncul. Capcay, tempe dan tahu sebagai lauk sangat menggugah selera. Toh, Aldo sangat menyukai sayuran.
"Oke itu saja." Rinai tersenyum senang dan mulai menjalankan aksinya didapur yang jarang Aldo gunakan ini.
Butuh waktu sampai jam menunjuk angka tujuh lewat tiga puluh menit, untuk Rinai menyelesaikan masakan yang sudah terhidang cantik diatas meja makan.
Pintu yang terbuka membuat Rinai buru-buru keluar dari dapur, menuju pintu dimana Aldo akan muncul. Gadis itu tersenyum lebar kala melihat Aldo dengan wajah kelelahan juga jangan lupakan tangan kiri yang menarik koper hitam dinasnya. Baju dinas laki-laki itu juga sedikit basah, memang diluar masih hujan. Meski tidak sederas tadi.
"Loh, ada Rinai?" yang ditanya malah tertawa pelan dan memasang senyum manisnya.
"Kamu jangan senyum gitu, kakak jadi berasa disambut istri." bagus sekali Aldo, kode terus biar Rinai peka.
"Rinai udah siapin makanan kak." Rinai membantu Aldo menarik koper laki-laki itu untuk ia taruh disudut sofa dan menarik pelan lengan laki-laki dengan seragam khas pilot itu, menuju ruang makan.
"Pasti enak nih." Aldo duduk dan memperhatikan Rinai yang dengan telatennya memasukan sayur dan lauk pauk kedalam piring Aldo.
"Makan yang banyak ya kak, biar sehat. Pilot juga butuh tenaga." Rinai memberikan segelas air putih disamping Aldo.
***
Rinai menatap televisi didepannya dengan tangan yang tak henti-hentinya memasukan bolu gulung yang tadi Aldo beli.
"Seru banget sih." Rinai menatap Aldo yang sudah berganti baju, dengan pakaian yang lebih santai. Laki-laki itu berjalan menuju Rinai dan duduk disamping gadis itu.
"Ini seru banget kak, film action yang udah lama tapi Rinai selalu tonton." Rinai tertawa.
"Narnia?" tebak Aldo. Rinai mengangguk dan tertawa pelan.
"Kita nonton sama-sama kalau gitu, kakak juga suka." Aldo memakan bolu yang ada dipangkuan Rinai dan ikut menatap layar berukuran 42 inci didepannya dengan serius.
***
PLAK!
Tamparan keras melayang dipipi Langit, laki-laki itu menatap sang Mama dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
"Mama nggak pernah, ngajarin kamu buat bikin malu perempuan." Liliana menatap Langit dengan kilat amarah.
"Langit nggak pernah bikin Derai malu, Ma." Langit membela dirinya.
"Mama nggak mau tau, kamu harus minta maaf sama Derai dan benar-benar memulai semua. Juga lupakan gadis bernama Rinai itu." Liliana meninggikan suaranya.
"Sampai kapanpun Rinai nggak akan tergantikan sama siapapun. Dan Langit akan selalu bersama dia." Liliana tertawa pelan.
"Rasa suka yang kamu miliki, cuman rasa suka sesaat. Kamu nggak akan dapet apa-apa karena menyukai Rinai."
"Mama salah, dia yang bikin Langit mengerti bahwa didunia ini nggak cuman diisi sama manusia-manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Rinai yang bahkan membuat Langit percaya bahwa Mama dan Papa akan berbalik dan melihat Langit disini. Dan dia juga yang bikin Langit percaya, kalau Langit nggak sendirian." Liliana menatap Langit dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
"Langit akan jadi sayap pelindung buat Rinai, kalau Mama sampai berani bikin dia terluka. Karena asal Mama tau, Langit hanya mampu menaruh warna hitam dan Rinai berhasil memberikan warna terang." Liliana menatap punggung sang anak yang semakin hilang dari pandangannya. Mengapa sesakit itu mendengarkan kata-kata Langit. Apakah selama ini ia terlalu egois? Apakah selama ini ia terlalu keras?
••••