laki-laki dengan bomber coklat, keluar dari mension megah dengan cara mengendap-endap bak maling, beberapa kali ia harus menghindar dari penjaga yang hilir mudik juga CCTV yang terpasang dibeberapa sudut. Langit menatap dinding belakang yang menjulang tinggi pemisah antara jalan dan mension milik keluarganya.
Dengan sekali lompatan, ia sudah berada diatas dinding itu dan kembali melompat supaya bisa kembali kedataran rendah. Laki-laki itu bernafas lega karena bisa keluar dari mension dengan jarum jam yang menunjukan pukul 12 malam. Mamanya akan selalu membatasi jam malam untuknya, dan kalau pergi keluar beliau harus tau kemana tujuannya. Tentu saja, supaya banyak mata-mata yang bisa mengikutinya. Tapi, kali ini ia tidak mau sampai kedua orangtua nya tau. Dia ingin bebas, dari jeratan hidup yang terus menyuruhnya untuk berpura-pura baik-baik saja. Derai, Mamanya juga Rinai. Gadis yang sangat ia sukai dan selalu tersemat dalam hatinya. Karena sejauh apapun ia pergi tetap Rinai lagi.
Motor sport hitam melengar pergi keluar komplek elit yang ditinggalinya. Bergabung bersama beberapa kendaraan yang masih setia berlalu-lalang bersama heningnya malam.
***
"Lo yakin, mau ikutan buat mastiin Langit aman?" Tritan menatap Regan yang sudah siap dengan jaket kulit hitamnya.
"Guntur itu temen SD gue, jadi Lo nggak perlu takut kita berdua kenapa-kenapa." Regan tertawa pelan kearah Tritan.
"Apapun yang menjadi milik lo, bakal jadi milik Guntur juga. Kalau sampai laki-laki itu menemukan berlian dibalik punggung kalian berdua." Tritan berjalan menuju jendela, menatap motor sport hitam yang melaju meninggalkan kompleks.
"Rinai Hujan maksud lo?" laki-laki pemilik rambut acak-acakan itu mengangguk.
"Rinai aman, karena ada gue sama Langit dan lo juga." Regan menyambar kunci diatas meja dan keluar dari rumah Tritan untuk menyusul Langit.
Regan sengaja menginap dirumah Tritan, karena ia bisa leluasa keluar dari rumah tak perlu harus mendengarkan ocehan panjang dari Ibu. Untungnya juga kedua orangtua Tritan sedang ada urusan bisnis diluar negri untuk satu bulan lamanya.
Motor sport biru kesayangan Regan keluar dari garasi rumah Tritan, keluar dari kompleks menuju tempat Langit berada.
Beberapa muda-mudi duduk diatas kendaraan masing-masing, dengan perempuan yang memakai pakaian minim. Sesekali tertawa tanpa memikirkan beban.
Motor sport hitam milik Langit berhenti. Membuat beberapa pasang mata menatap si pemilik motor tersebut.
Laki-laki dengan jaket berlambang burung Garuda mendekati Langit dan mengajak laki-laki itu tos. "gue kira, lo nggak bakal dateng."
"Gue butuh ketenangan." Langit menatap Guntur datar.
"Bagus, lo dateng ditempat yang tepat." Guntur tersenyum simpul.
"Gue kenalin sama temen-temn gue." Guntur menunjuk kearah beberapa kerumunan laki-laki yang juga menggenakan jaket yang sama seperti Guntur. Langit turun dari motornya dan melepas helm full face yang ia kenakan.
"Langit." suara laki-laki yang Langit kenali membuat ia melihat kesumber suara.
"Regan?" Regan turun dari motor sport birunya, melepas helm full face dan mendekati Langit.
"Lo kenal Regan?" Langit menatap Guntur yang baru saja menyebut nama Regan.
"Sohib gue." Guntur menatap Regan dan melayangkan tos.
"Jangan macem-macem sama sahabat kecil gue, apalagi sampai suruh ngelakuin hal aneh-aneh." Regan memperingatkan Guntur. Guntur tertawa diikuti Regan.
***
Rinai menatap langit didepannya, ia memejamkan mata kala angin malam membelai wajahnya. Duduk diatas ayunan dibalkon kamarnya dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya juga segela susu hangat dan buku novel yang siap dia selami. Buku pemberian Aldo dari Jerman.
Gadis itu menghapus air mata yang tiba-tiba saja dengan lancangnya keluar dari sudut matanya, entah mengapa. Ia mengambil handphone berlogo apel digigit itu dan membuka room chatnya dengan Aldo. Yang baru beberapa menit lalu ia kirim, hanya ceklis satu tiba-tiba langsung menjadi ceklis dua abu-abu hingga beberapa menit kemudian getaran dari benda pipih ditangannya membuat ia tersenyum, digesernya tombol hijau.
"Maaf ya, kakak baru bisa telfon, kebetulan disini delay." Rinai tersenyum mendengarkan nada bersalah Aldo.
"Nggak papa kak, kakak kan sibuk kerja." Rinai tertawa pelan.
"Kamu kebangun lagi?"
"Iya kak, kebiasaan." Rinai kembali tertawa pelan.
Hening sejenak, hingga Aldo kembali bersuara "lagi ngapain?"
"Duduk di balkon sambil baca buku yang kakak kasih buat Rinai."
"Bahasa Jerman sama Inggris itu?"
"Iyaa kak."
"Nanti kakak bawain makanan korea-korea gitu ya, kalau udah landing di Seol."
"Nggak usah kak."
"Nggak papa." putus Aldo.
"Cap, kita sudah bisa kembali flight." suara laki-laki disebrang sana membuat Rinai tetap diam mendengarkan.
"Kakak flight dulu ya."
"Ay ay Captain, take care. Kak." Aldo tersenyum dan memutuskan panggilannya.
Rinai kembali menatap langit malam entah mengapa ia begitu rindu Aldo dan ingin laki-laki itu selalu ada untuk dirinya.
Dilain tempat, laki-laki yang masih asik melihat layar handphone hanya melihat room chat dengan gadis yang sangat ia rindukan. Tulisan online tertera disana, ingin mengetikan pesan singkat namun ia takut jika semua akan menyakiti gadis itu.
"Manusia cuman bisa melakukan semua yang ia bisa, sisanya biar Tuhan yang bantu." Regan duduk disamping Langit.
"Gue nggak tau, kenapa malah bikin semua tambah runyem dengan datang ketempat ini." Langit tertawa renyah.
"Lo butuh sahabat, lo udah punya. Tinggal bilang sama kita apa susahnya sih."
"Sorry, gue salah." Langit menatap kerumunan didepannya yang sedang berteriak.
"Kejar Rinai, lo bukan cowo pengecut yang lari dari apa yang udah lo dapetin." Regan berlalu meninggalkan Langit untuk mendekati Guntur.
Langit mengetikan sepenggal kata dan menunggu gadis itu membalas, namun bukannya membalas. Tulisan yang tadi memberitahu sedang online malah berubah menjadi last seen gadis itu. Langit menghela nafas, mungkin Rinai sudah mengantuk.
***
Pagi sudah kembali menyingsing, membuat beberapa orang harus tetap terbangun supaya bisa memberikan manfaat atau mencari uang juga mencari bekal ilmu.
Rinai Hujan, gadis itu sudah berjalan keluar dari rumah minimalis bertingkat dua. Ia memegang kotak berisi nasi goreng buatannya sendiri. Hari ini ia tidak ingin sarapan entah mengapa, namun Ayah juga Bi Sumi memaksa untuk membawa bekal.
Suara deru mobil yang berhenti didepan rumah Rinai membuat gadis itu menaikan alisnya bingung.
Laki-laki dengan jaket bomber coklat keluar dari mobil. Rinai tersenyum simpul melihat siapa yang datang. Langit Adebaran laki-laki yang semalam mengirimi Rinai pesan dan baru esoknya ia balas.
"Hai." Langit tersenyum didepan Rinai.
"Kamu kesini? Ada Derai?" Rinai melihat kearah dimana mobil Langit terparkir.
"Nggak ada, gue kesini. Karena pingin bareng." Rinai mengangguk.
"Ayo berangkat." Rinai mengangguk, belum mereka berjalan bersisian, suara barithon dari arah belakang membuat mereka menghentikan langkah dan menatap kearah belakang.
••••