Chereads / Serendipty / Chapter 26 - Sosok Misterius

Chapter 26 - Sosok Misterius

Jauh darimu aku tak kuasa, menjagamu adalah satu-satunya cara. Semoga semesta mempersatukan kita.

.

.

.

.

.

Rinai masih asik bergelung didalam selimut tebalnya, hari ini adalah hari Minggu dan ia memilih untuk bermalas-malasan didalam kamar, menjauh dari keramaian. Ia ingin membuang perasaan yang salah untuk Langit, karena laki-laki itu hanya milik Derai. Mungkin saja.

Gadis itu memperhatikan hujan yang terus mengetuk jendelanya, membiarkan buliran itu jatuh dan menjadi genangan. Deringan dari handphone miliknya membuat Rinai membagi pendangannya sesaat dari jendela dengan handphone disamping tempat tidurnya. Akhirnya dengan deringan panjang juga pikiran yang terus melayang, ia memutuskan mengangkat.

"Hallo.." Rinai memulai percakapannya.

"Ini siapa ya?" Masih tidak ada suara, membuat Rinai menghela nafas kasar.

"Kalau nggak ada keperluan apapun jangan telfon lagi." Rinai memutuskan panggilannya sepihak, siapa sih pagi-pagi begini sudah membuat moodnya hancur.

Dering kembali bergema, membuat Rinai menghela nafas dan mengangkat.

"Hallo, disini Rinai. Kalau nggak ada kepentingan tolong jangan telfon, masih banyak hal yang harus saya lakukan."

Tawa menggema dari sebrang sana membuat Rinai mengangkat kedua alisnya dan menghela nafas.

"Lo kenapa deh? Pagi-pagi dah marah-marah." Rinai menghela nafas dan kembali tiduran diatas kasur kesayangannya.

"Ada nomer nggak jelas masa." Rinai memanyunkan bibirnya.

"Lo punya hutang ya? Makanya ada nomer gak jelas gitu." Rinai memutar bola matanya malas, enak saja.

"Nggak lah, anti hutang menghutang ya." Yuira kembali tertawa.

"Ada apa, Ra?" tanya Rinai saat hanya ada keheningan yang tercipta antara keduanya.

"Nggak papa, gue cuman mau tanya keadaan lo aja." Rinai tertawa renyah mendengarkan pernyataan Yuira.

"Aku baik-baik aja." Yuira menghela nafas.

"Gue tau---"

"Eh, Ra. Ayah manggil aku matiin ya, bye." sambungan terputus sepihak. Rinai sedang tidak mau membahas semua mengenai perasaannya. Meski gadis itu tau, ia sedang tidak baik-baik saja.

Ketukan dipintu membuat ia kembali kealam sadarnya. Rinai berjalan menuju pintu dan membuka pintu itu.

"Selamat hari kasih sayang." Aldo memberikan buket berbentuk hati yang diisi oleh coklat kearah Rinai.

"Makasih kak." Aldo tersenyum dan memeluk laki-laki itu.

"Kamu masih belum mandi? Kamar kamu masih berantakan." Aldo tertawa, kala netranya baru saja menatap Rinai dan kamar gadis itu bergantian.

"Mandi gih, kakak mau ajak kamu keapartemen kakak. Kita nonton seharian mau?" Rinai mengangguk berlebihan dan berlalu dari hadapan Aldo tanpa sepatah kata apapun. Sebelum Rinai masuk ia memfoto buket itu dan meng-upload disosial media miliknya.

***

Laki-laki dengan kaos hitam polosnya duduk di balkon, membiarkan rintik hujan yang tersisa membasahi wajahnya. Dunia memang fana, namun rasa sakitnya sangat nyata.

Helaan nafas terdengar keluar, menandakan ia lelah dengan apa yang terjadi. Beberapa menit yang lalu ia menelfon gadisnya. Tunggu, gadisnya? Langit tertawa renyah. Nomer berbeda sengaja ia gunakan, supaya bisa mendengarkan suara gadis itu, sudah berapa hari semenjak ia dan Rinai bertemu dibawah pohon rindang belakang sekolah.

Netranya menatap susu coklat dengan rasa pisang diatas meja belajarnya, ia tersenyum simpul. Rinai selalu bisa membuat semua kembali membaik.

Deringan diponselnya membuat ia melihat siapa yang sudah berani menganggu hari tenangnya.

Tritan and Regan is calling.....

Panggilan grup yang dibuat mereka berdua pada aplikasi chating nya membuat ia kembali menghela nafas, tak apa. Regan bukan musuhnya ia yakin Regan hanya ingin membantunya. Rinai juga bilang bukan? Kalau dia tak perlu melakukan kekerasan untuk satu masalah.

"Hallo..." suara serak Langit bergema lewat handphone Tritan dan Regan.

"Cek postingan Rinai." Langit mengangkat sebelah alisnya bingung, tapi ia tak banyak bicara. Langsung beralih ke aplikasi yang dimaksud Tritan.

Rinai memosting buket coklat berbentuk love dari Aldo? Tangannya kembali mencengkram erat telfon.

"Gimana? Apa yang mau lo lakuin?" suara Regan membuat Langit kembali kealam sadarnya.

"Kasih coklat juga, jangan sampai Nyokap lo tau. Siap-siap aja gue bantai lo lagi kalau Rinai kenapa-kenapa." Regan tertawa sinis, panggilan pun terputus menyisahkan panggilan Tritan dan Langit yang masih berlangsung.

Dari tempatnya Tritan menatap handphone miliknya bingung. Astaga! Mereka kenapa sih, kalau bahas Rinai pakai urat segala. Bakso urat lebih enak padahal.

***

Kisah cinta yang abadi? Kisah cinta dengan akhir indah? Kisah cinta dengan akhir yang menyedihkan? Semua hal mengenai kisah cinta sudah Rinai baca melalui buku. Lalu, bagaimana kisahnya dengan sosok yang masih melekat dalam hatinya?

Rinai menatap layar televisi berukuran 4,2 inc dengan pikiran yang melayang entah kemana, setelah pulang dari Jogja, banyak yang sudah terjadi. Langit yang memilih bertunangan dengan Derai, Regan dan Langit yang bertengkar. Entah, apa lagi yang akan terjadi setelah ini.

Jika ditanya rindu, Rinai sangat rindu bisa bersama dengan Langit, menghabiskan waktu meski sekedar duduk ditaman Angkasa dengan seporsi siomay. Atau tertawa karena mereka lagi dan lagi harus dipertemukan dikoridor sekolah. Tempat istimewa mungkin, dimana semesta bekerja untuk pertemuan keduanya.

Rinai dan Langit terpaut umur satu tahun dengan Langit yang lebih muda, bagaimana hubungan ini bisa berjalan? Jika memang ada dinding yang terbentang sejak awal. Lucunya mereka seakan biasa saja. Langit dengan pemikiran yang lebih dewasa juga Rinai yang masih seperti anak kecil, membuat mereka menutupi kekurangan masing-masing.

Keluarga kalangan atas adalah status yang tersemat dibelakang nama Langit, sedangkan Rinai bukan dari kalangan atas seperti Langit. Bukankah rasa tak kenal kasta apalagi rupa? Entahlah, yang gadis itu tau, dia benar-benar menyukai Langit.

Rasa sakit yang Langit torehkan begitu membekas dalam ingatan, membuat ia jatuh tak tentu arah, tetap egois dengan perasaanya atau berhenti dengan rasa yang semakin menyesakan. Saat ini yang gadis itu tahu, dia merindukan Langit.

***

Langit menatap bangunan didepannya, ia melepas helm full face dan menaruh diatas motor sport hitam kesayangannya.

"Mbak Kiki, saya pesan buket bunga Anyelir ya." Langit tersenyum didepan wanita yang sudah ia kenal lama.

"Terima kasih." ia memberikan dua lembar uang berwarna merah.

"Usahakan jangan sampai Mama tau. Langit kembali berucap sebelum mendapati anggukan sopan.

"Baik Mas, Aldebaran." Kiki mengangguk sopan. Langit berjalan keluar dengan buket bunga Anyelir ditangannya.

Motor sport hitam milik Langit berhenti disamping rumah yang sangat ia rindukan pemiliknya. Ia turun dan menaruh helm full face, helaan nafas kembali keluar. Dengan mudah ia menaiki dinding yang sangat tinggi didepan sana, senyumnya kembali tercetak kala melihat pohon rindang yang bisa menghubungkan dengan jendela kamar Rinai. Langit menaiki pohon setelah melihat situasi aman. Pohon Cerry. Dengan tenaga yang ia punya, Langit berhasil masuk kedalam kamar Rinai.

Laki-laki itu tersenyum melihat kamar dengan nuansa baby blue. Buku yang tertata rapi diujung rak. Juga ada foto seorang anak kecil bersama anak laki-laki yang Langit yakini adalah Aldo dan Rinai, karena wajah mereka yang masih sama.

Langit menaruh buket dimeja belajar dan meminta salah satu note biru yang Rinai punya. Setelah selesai ia kembali menatap ke sekeliling dan kembali keluar lewat jendela.

Rendra menatap punggung laki-laki yang menaiki dinding disamping rumahnya, dan melihat ruangan yang ia masuki. Rendra buru-buru masuk kedalam rumah dan menuju kamar Rinai yang ada dilantai atas.

Netranya menangkap buket bunga Anyelir kesukaan sang putri dan note berwarna biru, membuat alisnya terangkat.

"Siapa dia?" gumam Rendra.

••••