Ada yang bilang, jangan terlalu bahagia karena akan berakhir kecewa.
Ada juga yang bilang, jangan terlalu terluka karena pasti akan ada tawa setelahnya.
Dan, ada yang juga yang bilang, jika rahasia terkubur diam-diam tetap akan menghancurkan.
.
.
.
Setelah menikmati malam di Malioboro, mereka berdua kembali ke hotel untuk menyiapkan koper juga check out. Butuh waktu hingga satu jam untuk kembali ke bandara.
Aldo membantu Rinai menurunkan koper, laki-laki itu harus kembali menggunakan seragam tugasnya, karena penerbangan menuju Jakarta adalah penerbangan terakhirnya, setelah tiga hari yang lalu, ia menjelajah kota Sumatera dan berakhir di Jogja lalu kembali lagi ke Jakarta.
Aldo melirik jam tangannya. Jam menunjukan pukul sembilan malam. Pantas saja gadis disampingnya tak henti-henti menguap sejak tadi.
"Kamu kalau ngantuk, tidur aja. Nanti kakak bangunin." Rinai menggeleng mendengar ucapan Aldo, meski sebenarnya ia sangat mengantuk dan ide dari Aldo sangat tidak buruk untuknya.
"Nggak deh kak, nanti kalau aku tidur susah bangunnya. Gimana?" Rinai menatap Aldo dan sesekali membenarkan letak kacamatanya.
"Gampang, bisa kakak gendong." Aldo tersenyum hangat.
"Gampang dari mana kak? Nyusahin sih iya." Rinai kembali menggeleng. Ia tidak mau banyak menyusahkan Aldo, laki-laki itu akan keberatan membawa tubuhnya yang bukan lagi seperti tubuh anak kecil. Juga dua koper yang isinya tidak sedikit.
"Kakak harus kepesawat, kamu nggak papakan sendiri? Nunggu sampai waktunya boarding pass?" Aldo menatap Rinai disebelahnya yang berulang kali menguap.
"Nggak papa kak."
Aldo mengacak pelan rambut Rinai dan berlalu pergi menuju rekannya yang sudah menunggu untuk menerbangkan pesawat.
Speaker bandara berbunyi memberitahu bahwa mereka bisa segera boarding untuk masuk kedalam pesawat.
Rinai menghela nafas. Entahlah, mengapa perasaannya merasakan hal yang tidak enak saat kembali ke Jakarta.
'Jogja itu kota istimewa, kamu harus bahagia jangan pulang membawa luka.' Seketika kata-kata Aldo bergema didalam ingatannya, ia tersenyum simpul dan mulai berjalan meninggalkan tempat yang sudah lama ia duduki sepeninggal Aldo.
***
Tepat pukul 12 malam mereka sampai didepan rumah minimalis bertingkat dua. Tentu saja, dengan Rinai yang terlelap disamping Aldo. Gadis itu mematahkan perkataannya karena rasa ngantuk yang menyerang begitu saja.
"Pak, saya minta tolong dikeluarin ya koper Rinai." Aldo meminta tolong pada satpam yang baru saja mendekat.
"Dua-duanya aja, Pak." suara barithon milik Rendra membuat pak satpam mengangguk patuh dan mengeluarkan dua koper dari bagasi Taxi. Setelah Taxi melaju, mereka memasuki rumah.
"Kamu tidur disini aja, udah malem. Besok baru kembali ke apartemen, ada kamar tamu dibawah." Rendra kembali berucap saat keduanya sudah keluar dari kamar Rinai.
"Maaf ya, Ayah. Aldo ngerepotin terus." Rendra tersenyum, menepuk bahu anak muda didepannya.
"Kamu nggak pernah ngerepotin Ayah. Sekarang tidur, sudah malam." Aldo mengangguk sopan, setelah berpamitan, ia menuruni tangga untuk beristirahat dikamar tamu.
***
Jam weker berbunyi nyaring memenuhi ruangan yang tadinya sunyi. Pemilik weker mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya terbangun dan melihat kearah jendela yang tertutup gorden. Belum ada cahaya yang masuk lewat sela-sela gorden, pandangannya jatuh kearah jarum jam yang menunjuk kearah lima tepat. Setelah mematikan weker, ia bergegas mandi.
Satu jam berlalu, ia keluar kamar dengan seragam khas SMA Alam Nusantara juga tas yang ia kesampirkan, handphone yang sejak tadi bergetar karena teman-teman sekolahnya yang gencar berbalas digrup. Tanpa menghiraukan jam yang masih sangat terlalu pagi, biasanya jika seperti ini ada kabar yang penting menyangkut SMA Alam Nusantara atau sekedar orang-orang didalam sana. Tapi, Rinai tak terlalu perduli, nanti saja ia lihat.
"Kakak kira kamu belum bangun." suara berat milik Aldo, membuat Rinai mengelus dadanya karena kaget.
"Loh, kakak ada disini?" Rinai menatap Aldo yang sudah berganti pakaian casual dan rambut yang masih terlihat basah.
"Iya, Ayah nyuruh buat nginep karena udah malam." Rinai mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
"Kok pada berdiri disini? Ayo toh sarapan. Bibi udah masakin kesukaan kalian." Bi Sumi keluar dari dapur dengan kedua tangan membawa sarapan. Juga logat Jawa yang kental memenuhi ruangan.
Rendra berjalan menuju ruang makan dengan setelan jas formal miliknya. Ia tersenyum kala melihat Aldo dan Rinai yang sudah bangun dan duduk dimeja makan.
"Anak-anak Ayah, udah pada bangun." Rendra mengacak pelan rambut putrinya.
"Bagaimana tidur kamu semalam Aldo? Nyenyak?"
"Alhamdulillah nyenyak, Ayah."
"Gimana sama Jogja, Rinai?" kini Rendra melihat putrinya yang asik memakan sarapannya.
"Jogja seru Yah, kapan-kapan Rinai mau kesana lagi." Rendra tersenyum dan mengangguk.
Setelah itu hening, hanya ada suara denting sendok dan garpu yang saling beradu.
***
"Nanti kalau mau pulang tunggu kakakmu." Rendra kembali mengingatkan, saat putrinya sedang melepas sletbeat.
"Iya, Ayah." Rinai mengangguk dan menyalimi tangan Rendra, lalu turun dari mobil.
"Belajar yang pinter." Rinai kembali mengangguk.
"Ayah berangkat..." Rendra melambaikan tangannya dibalas lambaian oleh Rinai.
"Hati-hati, Ayah.."
Mobil Terios putih milik Rendra keluar dari pekarangan sekolah, menuju jalan raya.
***
Banyak pasang mata yang menatapnya, saat gadis itu baru saja menginjakan koridor yang masih cukup lengah.
"Rinai Hujan kan? Bukannya dia yang deket sama Langit Aldebaran. Kok malah tunangan sama Derai Anantha." suara yang masuk kedalam pendengaran Rinai membuat gadis itu menaikan satu alisnya.
"Kemarin gue lihat dia sama, cowo pakai seragam pilot gitu. Mungkin lebih tua tiga tahun dari kita." kembali, Rinai mendengar bisik-bisik yang membuat telinganya berdengung hebat.
"Rinai..." panggilan Yuira dari ujung lorong membuat Rinai bernafas lega, setidaknya ia tak perlu mendengar suara-suara yang masih sulit ia cerna.
"Lo udah baca grup?" Rinai menggeleng, ah-- iya dia baru ingat, jika sejak pagi tadi handphone nya selalu bergetar dan rata-rata dari grup sekolahnya juga angkatannya. Tapi, ia tidak ingin membukanya jadilah malah ia melupakan hal itu hingga sekarang.
"Yaudah kalau gitu, gak perlu lo baca nggak penting juga. Ayo kita kekelas." keduanya berjalan beriringan menuju lorong 12 MIPA. Saat keduanya sudah sampai dilorong pemisah antara 12 MIPA dan 11 IPS, dari arah lain Derai memeluk lengan Langit, laki-laki itu berjalan tanpa melihat kearah Rinai, hingga Langit sudah sampai dihadapan Rinai, ia hanya berlalu tanpa sedikitpun melirik.
Yuira yang melihat kejadian itu, menatap Langit dengan kilat amarah. Beraninya dia memberikan harapan pada sahabatnya lalu seenaknya ia menghempaskan begitu saja.
"Langit marah ya sama aku?" Rinai bertanya kepada Yuira.
Yuira tersenyum dan menggeleng. "Langit lagi sakit katarak, makanya dia nggak lihat. Nanti juga baikan kalau katarak dadakannya ilang. Ayoo." Yuira mengandeng kedua lengan Rinai untuk kembali berjalan menuju kelas mereka.
Dilain tempat Langit melepas kasar tangan Derai yang lancang memeluknya. Ia berlalu meninggalkan Derai dengan amarah yang sudah dipuncak. Sedangkan gadis itu, menatap punggung Langit dengan sebuah senyuman.
"Satu poin, lebih unggul. Rinai." gumamnya.
••••