Lucu nya, semesta seakan memainkan perannya. Mendekatkan tanpa jeda, lalu menjauhkan tanpa cela.
.
.
.
.
Hari terus berlalu tanpa henti, menciptakan kenangan silih berganti. Ujian terakhir di SMA Alam Nusantara. Setelah itu, kelas 12 akan kembali melakukan aktifitasnya.
Rinai menatap langit Jakarta dimalam hari, suara deru burung besi membuat ia merindukan Aldo. Kakak laki-laki yang selalu siap siaga disisi.
Aldo sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang Captain pilot. Flight dua Minggu seperti satu bulan menurut Rinai. Sangat lama. Jam sudah menunjukan pukul satu malam, tapi ia belum juga terpejam. Entahlah mengapa rasanya begitu menyesakan.
Rinai memilih menarik selimutnya dan bergegas tidur, sebelum insiden bangun kesiangan dan telat mendomisili pagi yang cerah.
***
Rinai menaut-nautkan dirinya didepan cermin. Seragam khas SMA Alam Nusantara melekat ditubuhnya.
"Non, Rinai." Bibi Sumi mengetuk pintu kamar Rinai. Membuat gadis itu berjalan menuju pintu dan membukakannya.
"Tuan Rendra memberitahu saya kalau nanti selepas pulang sekolah. Non Rinai harus pulang tepat waktu." Rinai mengangguk dan tersenyum sopan.
"Kalau begitu mari Non, kita sarapan sama-sama." Rinai kembali masuk kedalam kamarnya mengambil tas juga handphone. Setelah itu keluar dari kamar dan menutup pelan pintu kamar.
Diruang makan sudah duduk Ayah dengan koran ditangannya, juga segelas kopi buatan Bibi Sumi. Rinai duduk disamping Ayah didepannya sudah ada segelas susu putih dan roti panggang kesukaannya. Mereka makan dengan hening.
"Ayah ada urusan sebentar dikantor, nanti kalau sudah pulang sekolah, langsung pulang."
"Iya, Ayah."
Rendra kembali berjalan setelah mengecup pelan puncak kepala anaknya. Lalu laki-laki itu kembali berhenti.
"Bi Sumi, jangan lupa amanah saya."
"Baik, Tuan." Bibi membungkuk sopan.
Rinai menatap keduanya dengan alis yang bertaut, ada apa ini sebenarnya? Apakah Ayah sedang merencanakan sesuatu?
***
Koridor sudah ramai dengan siswa-siswi yang menampilkan wajah berseri mereka, mungkin karena ini hari terakhir UTS membuat mereka dengan santainya belajar semalam tanpa perlu membuat black cricle atau kantung mata yang besar. Mungkin saja.
"Rinai.." Yuira melambaikan tangannya, membuat Rinai tersenyum dan ikut melambaikan tangan.
"Akhirnya ujian bakal berakhir." Yuira tertawa membuat lorong sedikit penuh oleh tawanya, meski tawa itu tetap terendam oleh percakapan-percakapan dikoridor.
"Inget ya, kita kelas 12 masih ada beberapa ujian yang menunggu dan kalau udah lulus nanti juga bakal rindu." Yuira mendengus sebal.
"Iyaa-iya, Mak." Rinai tertawa pelan.
Keduanya masuk kedalam kelas dan mulai duduk di bangku masing-masing.
***
"Prestasi kamu dibidang seni sudah berhasil memimpin kamu, untuk bisa ambil beasiswa di Jerman." Rinai bernafas lega.
"Semoga kelulusan nanti kamu bisa mendapatkan peringkat juga sertifikat nilai yang memuaskan ya Rinai, untuk menambah beberapa syarat." Rinda-- wali kelas Rinai tersenyum kearah gadis didepannya ini.
Setelah ia keluar dari ruang guru. Rinai berjalan menuju taman belakang sekolah yang rindang. Penghubung dengan lapangan futsal, dari sini ia bisa melihat Langit yang terus menendang bola dengan Tritan yang sudah siap siaga digawang, Regan duduk memperhatikan keduanya.
Rinai memperhatikan Langit yang bermain dengan nafas yang tersenggal, seperti menumpahkan semua emosi. Gadis itu mendekati mereka dan membawakan tiga botol air mineral dingin.
"Siang, aku bawaiin minum nih." Rinai melambai kearah Tritan dan Langit. Disamping gadis itu Regan tersenyum simpul.
"Buat Regan juga ada, loh." Rinai memberikan satu botol air mineral kearah Regan.
"Thanks, kak." Rinai mengangguk dengan senyuman yang terhias disana.
"Baik banget sih kak Rinai, jadi pingin lamar deh." Tritan duduk disamping Rinai. Langit menatap Tritan nyalang.
"Sorry, bercanda." Rinai tertawa sambil menggeleng-gelenggkan kepala melihat tingkah absurd laki-laki disampingnya ini.
"Seharusnya lo gak perlu repot-repot." Langit duduk disamping Rinai dengan senyumnya.
"Gue sama Tritan balik duluan." Regan yang mengerti kondisi menarik Tritan menjauh dari mereka.
Hening cukup lama, hanya ada suara debaran yang sama-sama memiliki pola tak seirama. Meski hanya mereka saja yang mendengarnya.
"Gue minta maaf..." Langit berlalu pergi meninggalkan Rinai dengan segudang tanya, karena kata maaf yang Langit lontarkan tiba-tiba.
***
Rinai menatap koper baby blue berukuran sedang yang sudah siap dikamarnya, ia menarik alisnya bingung. Sejak kapan ia mengeluarkan koper itu, saat Rinai tarik cukup berat berarti ada barang didalamnya.
"Bibi..." Rinai menuruni tangga dengan seragam yang masih melekat ditubuhnya.
"Iya Non?" Bi Sumi datang dengan apron ditubuhnya.
"Koper Rinai kok ada diluar? Terus itu isinya barang siapa?"
"Tuan Rendra menyuruh saya Nona, lalu yang ada didalam koper adalah barang Nona Rinai." Rinai menarik alisnya masih tak mengerti.
"Ayah mau ajak kamu jalan-jalan ke Jogja. Sebelum kamu mulai ujian." suara barithon milik Ayahnya bergema diruangan. Membuat Rinai melihat kearah pintu, dimana laki-laki dengan jas formal berdiri.
"Serius Ayah? Kapan?" Rinai mendekati Rendra.
"Sekarang." jawaban Rendra membuat gadis itu tersenyum senang. Jogja adalah kota yang paling Rinai sukai.
"Bibi, maaf ya. Rinai jadi ngerepotin." Rinai menatap tak enak kepada Bi Sumi.
"Nggak papa Non, udah jadi tugas saya." Bi Sumi tersenyum sopan membuat Rinai mendekat dan memeluk Bibi.
***
Langit memasuki mension dengan wajah dingin yang selalu menghiasi laki-laki itu, pikirannya masih terngiang kejadian dimana Mamanya memberitahukan kalau ia akan melaksanakan pertunangan selepas pulang sekolah. Apa-apaan ini.
Derai duduk disofa rumahnya dengan majalah fashion ditangannya. Pandangannya menatap Langit yang masuk dengan wajah datarnya, ia berdiri dan tersenyum.
"Langit, jangan lupa jam satu siang ini." Derai mengingatkan, membuat Langit berusaha menulikan pendengaran.
Langit menghempaskan tubuhnya diatas king size dengan tas yang ia buang kesembarang arah. Mengapa semua terjadi begitu saja? Membuatnya tak habis pikir. Liliana memutuskan keinginannya sepihak tanpa mau bertanya terlebih dahulu.
Ia bingung, haruskan menolak atau menerima semua dengan lapang dada? Sedangkan dirinya saja tidak menyukai Derai sama sekali. Ketukan dipintu membuat lamunannya buyar.
Liliana masuk kedalam kamar Langit dengan senyum yang tercetak disana. "Mama tau semua tentang Rinai Hujan, jika kamu tidak mau dia kenapa-kenapa turuti kata Mama untuk bertunangan dengan Derai." Langit menatap Mamanya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Sebelum kamar tertutup sepenuhnya Liliana kembali berucap. "Jangan main-main sama Mama, Langit." Langit membuang wajahnya kesembarang arah. Langit harus bagaimana?
Cinta memang unik, yang dipertahankan ternyata bukan jodoh. Yang memendam pura-pura baik-baik saja, meski harus berteman dengan luka. Yang saling mencintai harus berteman dengan takdir semesta, yang kadang kala egois. Terkadang bengis membiarkan teriris. Tak ada cela untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal atau bertahan. Ternyata, tidak ada.
Lucu nya, semesta seakan memainkan perannya. Mendekatkan tanpa jeda, lalu menjauhkan tanpa cela.
••••