Maaf karena harus mengantungkan kalian lagi-lagi. Siap bertemu dengan Rinai dan Langit?
Okee let's go gaesss!
.
.
.
.
.
Udara dingin berhembus kencang, awan-awan mulai berkumpul membentuk kerumunannya. Mencoba mengambil alih langit dengan hitam pekatnya. Detik berikutnya hujan menguyur kota Jakarta pagi itu.
Gadis dengan jaket tebal berjalan memasuki sekolah. Koridor sekolah masih terlihat lengah, hanya ada satu dua yang lewat. Itu pun angkatan Rinai, sesekali ia tersenyum dan menyapa ramah mereka yang gadis itu kenal.
Langkahnya terus membawa gadis itu menjauh dari koridor utama menuju koridor kelasnya. Entah mengapa setiap belokan kilas balik terus saja datang tanpa ampun, tanpa memberikan jeda ia tersenyum simpul.
Gadis itu menaiki tangga dengan sesekali mengeratkan jaket tebalnya, udara dingin hampir saja menembus jaket tebalnya. Langkah gadis itu terhenti kala melihat mobil milik Langit berhenti diparkiran sekolah. Langit berjalan terlebih dulu, meninggalkan seseorang yang baru saja membuka pintu mobil sendiri. Derai Anantha.
Langit berkonspirasi dengan semesta, bersamaan dengan itu hujan kembali menguyur kota Jakarta tanpa ampun, mengenang kenangan yang merekat, kuat. Namun, tak terikat.
Rinai kembali melangkahkan kakinya menuju kelas, hari ini adalah UTS pertama, yang berarti UTS terakhir dikelas 12. Tinggal menunggu beberapa bulan lagi, dan ia akan lulus.
Gadis itu mengeluarkan MacBook dari tasnya, mengetikan beasiswa dikolom search. Dengan bantuan wali kelasnya, ia akan mendaftar beasiswa di Jerman. Mungkin dengan itu ia bisa menghilangkan rasa yang terpendam.
"Rinai..." Yuira masuk setelah Rinai menutup laptopnya.
"Hai, Yuira..." Rinai melambaikan tangannya, ia menepuk tempat duduk kosong disampingnya. Kebetulan sekali Rinai masih satu bangku dengan Yuira saat UTS, mereka memang tidak diloring kekelas lain, karena mengingat ujian terakhir.
"Gue ngantuk banget, liat nih kantung mata dah kaya apaan tau." Yuira memperlihatkan kantung matanya yang mulai membesar. Rinai tertawa pelan mendengarkan keluhan gadis didepannya.
Jam mulai menunjuk ke angka tujuh, siswa dan siswi teman Rinai memasuki kelas. Hingga kelas mulai terisi, ujian akan segera dimulai.
Berbeda dengan laki-laki yang masih asik duduk dikantin, menunggu dua temannya yang datang. Sesekali ia melihat kearah parkiran. Setelah muncul dua sosok yang ia cari, ia berdiri dan mendekati mereka.
"Katanya kita masih dikelas masing-masing ujiannya. Udah jadi tradisi kan kalau kakak kelas mau lulus." Tritan memulai percakapannya kala mereka bertiga sudah berjalan dikoridor.
Langit tersenyum simpul, sebentar lagi Rinai akan lulus dan itu tandanya mungkin saja ia tidak seleluasa biasanya untuk bertemu, bertegur sapa atau sekedar menggoda dan membuat pipi Rinai merah.
Tapi ia sudah membuat rencana pulang nanti, untuk bertemu dan mengucapkan semangat meski satu hari ujian sudah terlewat. Tanpa Langit sadari, ia sudah sampai dikelas dan mulai duduk ditempatnya.
***
Rinai memasuki perpustakaan dengan buku kecil ditangannya, setelah masuk dan bertegur sapa dengan penjaga perpustakaan. Gadis itu melangkah mencari buku referensi untuknya. Setelah ketemu gadis itu berjalan menuju bangku tempatnya biasa memulai dunianya.
Beberapa menit terlewat dengan biasa dan saat menit menginjak ke angka 30, buku-buku jatuh dari sampingnya membuat ia otomatis melihat kesamping. Pandangannya terhenti kala rak buku menjadi titik putus pandangnya.
"Aduh." ringisan milik seorang laki-laki membuat Rinai menarik satu alisnya. Gadis itu mendekat, ingin melihat siapa dibalik ringisan itu.
"Langit..." sosok laki-laki dengan Rinai yang hanya sebatas bahu laki-laki itu, alis tebal, rahang kokoh, bibir tebal dan tangan yang menyentuh hidung mancungnya.
"Kamu ngapain disini?" pertanyaan yang bodoh, Rinai.
"Gue mau belajar." Langit memperlihatkan buku ditangannya.
"Mata kamu ada cricle nya." Rinai tertawa pelan, ia tau pasti laki-laki itu belajar dengan keadaan masih mengantuk hingga hidungnya terbentur rak didepannya.
"Lo disini juga? Sejak kapan?" Langit keluar dari tempatnya membaca dan mendekati Rinai yang mulai berjalan menuju meja bundar berisi beberapa buku.
"Sejak kamu sudah masuk, sampai akhirnya kamu kebentur rak, maybe." Rinai kembali tertawa pelan, supaya ia tak dimarahi penjaga perpustakaan. Ingatkan ia untuk tak tertawa keras-keras ini perpustakaan.
"Astaga...gue malu banget." dengusnya kesal dengan memutar bola matanya.
"Tumben nggak kekantin?" pertanyaan Rinai kembali terlontar saat keduanya sudah duduk. Niatnya lari keperpustakan juga karena tidak mau bertemu Langit. Ternyata, semesta kembali mempertemukannya.
"Gue mau belajar, jadi nggak kekantin." Rinai mengangguk-angguk mengerti. Ia kembali fokus dengan bukunya. Meski pemicu debaran dengan pola teracak ada disampingnya. Sedangkan Langit pura-pura membuka buku. Namun, sesekali curi pandang kearah gadis yang wajahnya sedikit terkena sinar matahari pagi.
***
Rinai memperhatikan jendela kelas. Hujan masih setia menguyur tanpa ampun, ia tak pernah lelah turun. Lapangan futsal yang terletak dibelakang sekolah terlihat lebih segar kala rumput-rumputnya basah menciptakan beberapa genangan. Huft, itu adalah olahraga yang paling Langit sukai.
Letak lapangan futsal yang cukup besar juga tribun yang bisa menampung 500 orang membuat lapangan itu dibangun dibelakang sekolah. Lapangan basket yang juga cukup luas berada disamping lapangan upacara, hanya dibatasi oleh jaring-jaring saja.
Rinai melangkah keluar, melihat sekolah yang mulai lengah karena orang-orang yang memilih pulang dan beberapa lagi masih ada urusan dengan ekstrakurikuler atau dengan jabatannya sebagai OSIS. Setelah UTS selesai semua jabatan yang dipegang oleh kelas 12 akan dipindah tangankan.
"Rinai.." panggilan milik seseorang yang Rinai kenali membuat ia melihat kearah koridor tangga.
"Sorry, gue lama." ia menggaruk tengkuknya. Dan tersenyum memberitahu jika tidak apa-apa.
Mereka berdua berjalan menuruni tangga dan menuju koridor pemisah antara kelas 12 dan 11 lalu menuju koridor utama. Mereka sampai diparkiran, Langit membukakan pintu mobil untuk Rinai.
"Terima kasih, Langit." Langit mengangguk, ia berputar dan duduk di bangku pengemudi.
Mobil sport milik Langit berjalan keluar pekarangan sekolah, bergabung bersama pengendara lain.
Mereka berdua berjalan bersisian diatas jalan setapak, Langit sengaja mengajak Rinai ketaman Angkasa dimana banyak kenangan disini.
"Gue minta maaf banyak ngecewain Lo." Langit memulai percakapannya.
"Nggak ada yang kecewa, Langit." Rinai tersenyum meyakinkan. Lihat, gadis itu masih baik-baik saja meski ia memiliki perasaan untuk Langit, Langit tau jika Rinai memiliki perasaan untuknya tapi ia belum mampu mengungkapkan.
"Tutup mata Lo."
"Harus ya?" Rinai menatap Langit.
"Harus, lo aman sama gue." Rinai mengangguk dan menutup matanya. Dengan langkah perlahan Langit berlari menjauh dari Rinai, lalu kembali lagi dengan sebuket bunga Anyelir ditangannya.
"Lo boleh buka mata." Rinai membuka matanya sesuai instruksi dari Langit. Pipinya kembali bersemu merah kala melihat bunga Anyelir didepan sana.
"Tau dari mana, aku suka Anyelir?" Rinai bertanya dengan tangan mengambil Anyelir yang Langit sodorkan.
"Buku." jawaban singkat Langit membuat Rinai terlempar kembali kemasa dimana keduanya bertemu.
"Kamu masih inget aja." Rinai tersenyum sambil mencium dalam-dalam buket bunga Anyelir ditangannya. Langit menatap Rinai dengan sebuah senyuman yang tercetak dibibirnya. Langit mendekatkan dirinya dengan Rinai, menghapus jarak yang tercipta antara keduanya. Langit memeluk Rinai.
Tanpa keduanya tau debaran jantung yang berdetak ubnormal sama-sama tidak mereka sadari, meski hanya mendengar sendiri. Semesta selalu punya cara mendekatkan, tapi jangan lupakan. Jika, semesta juga bisa menjauhkan.
•••
Untuk hari yang pernah kalian lalui, itu semua adalah bukti. Bahwa, kalian hebat karena bisa sampai dititik ini.
'Dariku, untuk Kalian.'